Hampir 3 jam lebih Retno menunggu angkutan umum bus yang
biasanya dia berangkat sekolah melalui jasa tersebut, hanya angkuta tersebut
yang bisa mengahantarkan dia menuju ke sekolahnya karena tidak ada ojek, sudah
lama seklai dia menunggu sampai kakinya pegal menunggu. Retno yang kelas satu
dan belum sebulan ini masuk sekolah barunya, melirik sekali lagi jam tangannya hadiah
dari kakaknya yang kerja di Batam.
Pukul lima siang lewat sepuluh menit. Inilah arloji hadiahnya
jika masuk SMP favorit. Gadis 12 tahun bertubuh imut tapi tampak subur itu
memang pintar dan cerdas. Tak heran jika ia mampu menembus bangku sekolah
idamannya.
Cuaca di atas langit sana benar-benar sedang mendung. Angin
bertiup kencang, sehingga membuat rambut panjang sepinggangnya yang lebat tapi
agak kemerahan itu berkibar-kibar. Hembusannya yang dingin membuat gadis
berkulit kuning langsat dan berwajah ayu seperti artis Paramitha Rusady itu
memeluk tas barunya erat-erat untuk mengusir hawa dinginnya. Berulang kali
bus-bus kota lewat, tapi jalur yang ditunggu-tunggunya tak kunjung lewat juga.
Sejenak Retno menghela nafasnya sambil menebarkan
pandangannya ke seluruh calon penumpang yang berjejalan senasib dengannya. Lalu
menengok ke belakang, memperhatikan pagar seng bergelombang yang membatasi
dengan lokasi pembangunan proyek tersebut.
Tampak puluhan pekerjanya yang tengah meneruskan kegiatannya,
walaupun cuaca sedang jelas hendak hujan deras. Hilir mudik kendaraan yang
padat kian membuat kegelisahannya memuncak.
Mendadak hujan turun dengan derasnya. Spontan saja, Retno dan
tiga orang calon penumpang bus kota yang di antaranya dua pasang anak SMA dan
seorang bapak-bapak secara bersamaan numpang berteduh masuk ke lokasi proyek
yang pintunya memang terbuka dan di sana terdapat bangku kayu serta teduh oleh
tritisan beton.
Sedangkan belasan orang lainnya memilih berteduh di depan
toko fotocopy yang berada di sebelah bangunan proyek itu. “Numpang berteduh ya,
Pak!” pinta ijin bapak-bapak itu disahuti teriakan “iya” dari beberapa kuli
bangunan yang turut pula menghentikan kerjanya lalu berteduh di dalam bangunan
proyek. Tapi dalam beberapa menit saja, bapak tua itu telah berlari keluar sambil
berterima kasih pada para kuli bangunan setelah melihat bus kota yang
ditunggunya lewat.
Tak sampai lima menit kedua anak SMA itupun mendapatkan bus
mereka. Kini Retno sendirian duduk menggigil kedinginan.
“Aduh..!” kaget Retno yang tersadar dari lamunannya itu
tatkala sebuah bus yang ditunggunya lewat dan berlalu kencang. Tampak wajah
gelisah dan menyesalnya karena melamun.
“Mau pakai 6A, ya Dik?” tanya seorang kuli yang masih muda
belia telah berdiri di sampingnya Retno yang tengah mondar-mandir di depan
bangku.
Retno sempat kaget, lalu tersenyum manis sekali.
“Iya Mas. Duh, busnya malah bablas. Gimana nih?!”
“Tenang saja, jalur 6A-kan sampai jam tujuh malam. Tunggu
saja di sini, ya!” ujarnya sambil masuk ke dalam.
Retno hanya mengangguk ramah, lalu duduk kembali di
bangkunya, yang sesekali waktu dia menengok ke arah timur, kalau-kalau terlihat
bus jalur 6A lewat. Setengah jam lewat. Tak ada tanda-tanda bus itu lewat.
Retno melihat ke dalam gedung yang gelap itu, tampak sekitar
lima puluh kuli sedang istirahat. Sebagian asyik ngobrol, lainnya merokok atau
mandi di bawah siraman air hujan. Lainnya terlihat terus-menerus memperhatikan
Retno. Perasaan tak enak mulai menyelimuti hatinya.
Belum sempat otaknya berpikir keras untuk dapat keluar dari
lokasi proyek, mendadak sepasang tangan yang kuat dan kokoh telah mendekap
mulut dan memiting lehernya. Retno kaget dan berontak. Tapi tenaga kuli kasar
itu sangatlah kuat, apalagi kuli lainnya mengangkat kedua kaki Retno untuk
segera dibawanya masuk ke dalam bangunan proyek.
“Diam anak manis! Atau kami gorok lehermu ini, hmm!” ancam
kuli yang telanjang dada yang menyekapnya itu sambil menempelkan sebilah belati
tajam di lehernya, sedangkan puluhan kuli lainnya tertawa-tawa senang penuh
nafsu birahi memandangi kemolekan tubuh Retno yang sintal padat berisi itu.
Retno hanya mengagguk-angguk diam penuh suasana takut yang
mencekam. Tak berapa lama gadis cantik itu sesenggukan. Tapi apalah daya, suara
hujan deras telah meredam tangis sesenggukannya. Sedangkan tawa-tawa lima puluh
enam kuli usia 16 sampai yang tertua 45 tahun itu kian girang dan bergema
sembari mereka menanggalkan pakaiannya masing-masing.
Retno melotot melihatnya.
“Jangan macam-macam kamu, ya. Hih!” ancamnya lagi sambil
membanting tubuh Retno di atas hamparan tenda deklit oranye yang sengaja
digelar untuk Retno. Tas sekolahnya diserobot dan dilempar ke pojok. Retno
tampak menggigil ketakutan. Wajahnya pucat pasi menyaksikan puluhan kuli itu
berdiri mengelilingi dirinya membentuk formasi lingkaran yang rapat.
“Tolong.. tolong ampuni saya Pak.. jangan sakiti aku..
kumohon.. toloong, ouh.. jangan sakiti aku..” pinta Retno merengek-rengek
histeris sambil berlutut menyembah-nyembah mereka.
Tapi puluhan kuli itu hanya tertawa ngakak sambil
menuding-nuding ke arah Retno, sedangkan lainnya mulai menyocok-ngocok batang
zakarnya masing-masing.
“Buka semua bajumu, anak manis! Ayo buka semua dan menarilah
dengan erotisnya. Ayo lakukan, cepaat!” perintah yang berbadan paling kekar dan
usia sekitar 30 tahun itu yang tampaknya adalah mandornya sambil mencambuk
tubuh Retno dengan ikat pinggang kulitnya.
“Cter!”
“Akhh.. aduh! Sakit, Pak.. akhh..!” jerit kesakitan
punggungnya yang kena cambuk sabuk.
Tiga kali lagi mandor itu mencabuk dada, paha dan betisnya.
Sakit sungguh minta ampun. Retno menjerit-jerit sejadinya sambil meraung-raung
minta ampun dan menangis keras. Tapi toh suaranya tak dapat mengalahkan suara
hujan.
“Cepat lakukan perintahku, anak manja! Hih!” sahut mandor
sambil melecutkan sabuknya lagi ke arah dada Retno yang memang tumbuhnya belum
seberapa besarnya, bisa dikatakan, buah dadanya Retno baru sebesar tutup teko
poci. Retno kembali meraung-raung.
“Iya.. iya Pak.. tolong, jangan dicambuki.. sakiit.. ouh..
ooh.. huk.. huuh..” ucap Retno yang telah basah wajahnya dengan air mata.
Ucapannya itu disahuti oleh gelak tawa para kuli yang sudah
tak sabar lagi ingin menikmati makan sore mereka.
“Aduuh, udah ngaceng nih, buruan deh lepas bajunya.”
“Iya, nggak tahan lagi nih, mau kumuntahkan kemananya yaa?”
Perlahan Retno beranjak berdiri dengan isak tangisnya.
“Sambil menari, ayo cepat.. atau kucambuk lagi?” desak mandor
mengancam.
Retno hanya mengangguk sambil menyadari bahwa batang-batang
zakar mereka telah ereksi semua dengan kencangnya.
Retno perlahan mulai menari sekenanya sambil satu persatu
memreteli kancing seragam SMP-nya, sedangkan para kuli memberikan ilustrasi
musik lewat mulut dan memukul-mukulkan ember atau besi. Riuh tapi berirama
dangdut.
Sorak-sorai mewarnai jatuhnya bajunya. Retno kian pucat. Kini
gadis itu mulai melepas rok birunya. Kain itu pun jatuh ke bawah dengan
sendirinya. Kini Retno tinggal hanya memakai BH dan CD serta sepatu. Sepatu
dilepas. Retno lama sekali tak melepas-lepas BH dan CD-nya. Dengan galak,
mandor mencabuk punggungnya.
“Cter!”
“Auukhh.. ouhk..!” jerit Retno melepas BH dan CD-nya dengan
buru-buru.
Tentu saja dia melakukannya dengan menari erotis sekenanya.
Terlihat jelas bahwa Retno belum memiliki rambut kemaluan. Masih halus mulus
serta rapat. Tepuk tangan riuh sekali memberikan aplaus.
Sedetik kemudian, rambut Retno dijambak untuk dipaksa
berlutut di depan mandor. Retno nurut saja.
“Ayo dikulum, dilumat-lumat di disedoot.. kencang sekali,
lakukan!” perintahnya menyodorkan batang zakarnya ke arah mulut Retno.
Retno dengan sesenggukan melakukan perintahnya dengan wajah
jijik.
“Asyik.. terus, lebih kuat dan kencang..!” perintahnya
mengajari juga untuk mengocok-ngocok batang zakar mandor.
Retno dengan lahap terus menerus menyedot-nyedot batang
zakarnya mandor yang sangat keasyikan. Seketika zakar itu memang kian ereksi
tegangnya. Bahkan mandor menyodok-nyodokkan batang zakarnya ke dalam mulut
Retno hingga gadis itu nyaris muntah-muntah karena batang zakar itu masuk
sampai ke kerongkongannya.
Di belakang Retno dua kuli mendekat sambil jongkok dan
masing-masing meremas-remas kedua belah buah dadanya Retno sembari pula mempintir-plintir
dan menarik-narik kencang puting-puting susunya itu.
“Ouuhk.. hmmk.. aauuhk.. hmmk..!” menggerinjal-gerinjal mulut
Retno yang masih menyedot-nyedot zakar mandor.
Tak berapa lama spermanya muncrat di dalam mulut Retno.
“Creeot.. cret.. croot..!”
“Telan semua spermanya, bersihkan zakarku sampai tak
tersisa!” perintah galak sambil menjambak rambut Retno.
Gadis itu menurut pasrah. Sperma ditelannya habis sambil
menjilati lepotan air mani itu di ukung zakar mandor sampai bersih.
Mandor mundur. Kini Retno kembali melakukan oral seks
terhadap zakar kuli kedua. Dalam sejam Retno telah menelan sperma lima puluh
enam kuli! Tampak sekali Retno yang kekenyangkan sperma itu muntah-muntah
sejadinya.
Tapi dengan galak mandor kembali mencambuknya. Tubuh bugil
Retno berguling-guling di atas deklit sambil dicambuki omandor. Kini dengan
ganas, mereka mulai menusuk-nusukkan zakarnya ke dalam vagina sempit Retno.
Gadis itu terlihat menjerit-jerit kesakitan saat tubuhnya digilir untuk
diperkosa bergantian.
Sperma-sperma berlepotan di vagina dan anusnya yang oleh
sebagian mereka juga melakukan sodomi dan selebihnya membuang spermanya di
sekujur tubuhnya Retno. Retno benar-benar tak tahan lagi. Tiga jam kemudian
gadis itu pingsan. Dasar kuli rakus, mereka masih menggagahinya. Rata-rata
memang melakukan persetubuhan itu sebanyak tiga kali. Darah mengucur deras dari
vagina Retno yang malang.
No comments:
Post a Comment