Aku biasa di pangil Kun. Kedua orang tuaku sudah meninggal,
Ketika itu aku baru kelas 2 SMP, Aku terpaksa ikut Mas Pras. Dia adalah anak
ayah dari isteri pertama. Jadi aku dan Mas Pras lahir dari ibu yang berbeda.
Mas Pras ( 30 tahun ) orangnya baik dan sayang kepadaku, tapi istrinya……… wah
judes, dan galak.
Ketika Ibuku meninggal, yang mengakibatkan aku jadi sebatang
kara di dunia, Mas Pras baru seminggu menikah. Kehadiranku di keluarga baru
itu, tentu sangat mengganggu privasi mereka. Rumah kontrakan sempit hanya ada
tiga ruang. Kamar tidur, kamar tamu dan dapur.
Aku merasakan sikap yang kurang enak ini sejak aku hadir di
situ. “Kun, kamu tidur di kursi tamu dulu, ya…? Atau di karpet juga bisa. Kamu
tau kan, memang tidak ada tempat?” Mas Pras menyapaku dengan lembut.”Sama
Mbak-mu harus nurut.
Bantu dia kalu banyak pekerjaan” Aku hanya mengangguk. Aku
tidak begitu akrab dengan Mas Pras, karena memang jarang bertemu. Aku di Jogja,
Mas Pras kerja di Semarang. Nengok ibu (tiri) paling setengah tahun sekali.
Sambil mengirim uang buat biaya sekolah aku. Kakak lalu berangkat kerja. Dia
adalah sopir truk antar- propinsi. Saat itu aku putus sekolah.
Di Jogja belum keluar, tapi di Semarang belum masuk ke
sekolah baru. Sehari-hari di rumah sempit itu menemani kakak ipar yg baru
seminggu ini kukenal. Rasanya aku tidak krasan tinggal di “neraka” ini. Tapi
mau ke mana dan mau ikut siapa? Pagi itu aku sudah selesai menjemur pakaian
yang dicuci Mbak Narsih. Kulihat dia lagi sibuk di dapur. “Mbak, saya disuruh
bantu apa?” aku mencoba pedekate dengan Mbak Narsih.
“Cah lanang, bisanya apaaa. Sana ambil air, cuci gelas,
piring dan penuhi bak mandi.” Sakit telinga dan hatiku mendengar perintahnya
yang kasar. Tanpa ba-bi-bu semua kulaksanakan. Karena tak ada lagi yang mesti
dikerjakan lagi, iseng-iseng aku nyetel radio kecil di meja tamu (Kakak gak
punya tivi) “E…malah dengerin radio……….sana belanja ke warung” aku diberi
daftar belanjaan. Untungnya aku sudah biasa membantu Ibu ketika beliau masih
ada. Aku hidup bersama Ibu sejak kecil, karena ayah sudah lama meninggal. Agak
jauh warung itu.
Aku tidak malu-malu dan canggung beli sayuran, malah Bu
Salamun, yang jual sayur heran, “Mbok, nyuruh pembantunya, to cah bagus. Kok
belanja sendiri.” Aku cuma senyum saja. “Ini, Mbak, belanjaannya. Ini
susuknya.” Kuserahkan tas kresek dan uang kembalian, tapi Mbak Narsih tetep
sibuk marut kelapa.
Kutaruh saja tas kresek itu di kursi kayu dekat kompor
minyak. Memang kesannya dia baru marah. Padahal aku tidak merasa melakukan
kesalahan apa pun. Tanpa disuruh aku ikut mengupas bawang, memetik sayur dan
menyiapkan bumbu yang tadi kubeli. “Mau bikin sayur lodeh,to Mbak?” “Sok
tau………..” jawabnya ketus. Dia mulai masak. Aku keluar saja.
Ada rasa ngeri deket-deket orang marah. Di luar aku nggak
berani dengerin radio lagi. Ingin rasanya aku menangis dan pergi dari rumah
ini. Aku duduk di teras rumah melihat orang berlalu lalang di depan rumah.
Tiba-tiba aku membaui masakan yang gosong.
Tapi aku tidak berani masuk. Takut dibentak istri Mas Pras
yang cantik tapi guualakke pol itu. “Kuuuuuunnn…………..sini” Mbak Narsih
berteriak memanggil. Aku bergegas masuk. Kulihat dapur berantakan. Panci sayur
di lantai, sayur tumpah. Kursi tempat menaruh bumbu sudah terguling.Bumbu
bertebaran di lantai.
Dan…. kompor menyala besaar sekali. Untung aku tidak ikut
panik dan bisa berpikir cepat. “Mbaaaakk…kenapa tanganmu?” Kulihat tangannya
merah melepuh, Tangan Mbak Narsih sepertinya ketumpahan kuah tapi perhatianku
lebih tertuju pada kompor yang menyala besar sekali,. Cepat kuambil keset di
ruang tamu, kubasahi dengan air cucian dan kututupkan ke kompor yang menyala
itu.
Sesaat kemudian kompor itu padam. Cepat kupetik papaya di
depan rumah ( padahal itu milik tetangga) kubelah pakai pisau. Lalu getahnya
kuusapkan ke tangan Mbak Narsih yang melepuh. “Jangan…nanti
sakit….ngawur….aduuuuh,,,” Mbak Narsih menangis dan aku nekad merawat &
menutup lukanya iu dengan sayatan-sayatan papaya mentah.
Luka itu akhirnya tertutup semua dengan sayatan buah papaya.
Keliatannya usahaku berpengaruh. Mbak Narsih agak tenang sekarang. “Sudah
dingin, Mbak?” aku menatap dengan iba kakak iparku yang malang ini. Air matanya
meleleh.
Dia diam membisu sambil menggigit bibirnya menahan sakit.
Pasti panas dan perih, aku tahu itu. “Kun, kita gak bisa makan siang.” Akhirnya
keluar suara Mbak Narsih, pelan tidak galak lagi.“Wis Mbak, istirahat saja,
masih sakit kan?” kutegakkan kursi yang terguling dan kutuntun Mbak Narsih
duduk. Dapur segera kubersihkan.
Kompor bisa menyala lagi. Sisa-sisa bumbu yg ada kupakai
untuk masak sayur pepaya. Aku sudah terbiasa membantu Ibu, jadi ini hanya suatu
kebiasaan. Mbak Narsih hanya melihat aku sibuk di dapur tanpa komentar. Dia
terus-terusan mengaduh kesakitan.
Tapi aku mendahulukan selesainya pekerjaan di dapur. Sayur
sudah masak. Nasi sudah ada. Semua kuatur di meja tamu yang sekaligus menjadi
meja makan. “Mbak, mau makan? Tak ambilke, ya?” Mbak Narsih hanya memandangku
dengan mata basah.
“Kun, kamu baik, ya? Terimasih, ya Dik, tapi kedua tanganku
melepuh begini, dan ini perutku perih sekali. Kulihat perut Mbak Narsih,
Astaga…. Ternyata daster sebelah kiri sudah terbakar dan perut Mbak Narsih
bengkak kemerah-merahan. Aku cari sisa-sisa irisan papaya tadi. Aku parut
lembut dan kuparamkan di perutnya.
Waktu itu aku tidak berpikir macem-macem, karena perhatianku
pada penderitaannya. Dia agak tenang sekarang. “Ambilkan daster Mbak yang utuh
di lemari, Kun. Yang kupakai ini dibuang saja, sudah separo terbakar.” Aku
ambilkan daster pink di lemari lalu….aku berhenti dan termangu di depan Mbak
Narsih. “Ayo, buka daster yang terbakar ini. Tolong diganti dengan yang kamu
ambilkan tadi.” Mbak Narsih melihat keraguanku tadi.
‘Pelan, pelan…. Ada yang masih lengket di kulit…ssss…
adduuuh” Akhirnya daster itu bisa kulepas. Baru kali ini aku melihat dengan
jelas dan dari dekat, wanita setengah telanjang. Mbak Narsih berkulit putih
bersih. Perutnya rata dan…. yang terbungkus di bra hitam itu bulat putih dan
besaar. Aku terpesona sesaat. “Ayoooo….. dingiiin, Kun. Cepat ambil daster pink
itu” aku tersadar dari pesona keindahan di depanku segera memakaikan daster
itu. Siang itu aku menyuapi Mbak Narsih. “Enak, Kun, masakanmu.
Kamu kok bisa masak, to?” “Halah, aku Cuma liat Ibu masak dan
sering membantu Ibu.” Tapi dalam hati aku bangga memperoleh perhatian seperti
itu. Lik Yanto dan Mbak Saodah, isterinya, datang menengok dan memberi salep
dingin.
Tiap hari, pagi dan sore aku mengolesi luka-lukanya. Kedua
tangan, jari, dan perutnya. Tiga hari aku merawat Mbak Narsih ……. selama
merawat suasana sudah berubah total. Keadaan dia, dua tangannya nyaris nggak
bbisa pegang apapun. Telapak tangan melepuh, membuat dia menyadari bahwa saat
itu, aku diperlukan merawat nya, selama Mas Pras belum pulang.
Karena tiap pagi dan sore, mengepel tubuhnya, aku bisa
melihat dari dekat seperti apa tubuh wanita dewasa itu. Saat aku mengelap
tubuhnya, aku jadi tau, bentuk payudaranya yang bulat dan kenceng, putingnya
yang coklat dipucuk gunung putihnya, Saat kulepas celdamnya, bisa kulihat bibir
bawahnya yang indah berambut tipis. Pangkal pahanya lebih putih daripada
sekitarnya. Memang Mbak Narsih wanita cantik sempurna.
Kakakku tidak salah memilih pasangan hidupnya. Mas Pras
ganteng, Mbak Narsih cantik. Hidungnya mungil tapi tidak pesek. Runcing indah
di atas bibirnya yang mungil. Seperti artis, tapi tubuh kakakku jauh lebih
besar dan lebih tinggi. Tanpa kusadari, aku kok merasa asyik merawat kakakku
ini. Pengen nya hari segera sore atau kalau malam ingin segera pagi.
Ada kerinduan untuk merawat dan melihat keindahan itu. Ah,
berdosakah aku? Sering aku diam melamun diombang-ambingkan perasaan ingin
menikmati tapi juga merasa bersalah kepada Mas Pras. Setelah tiga hari hanya di
lap dan dipel dengan handuk basah., pagi itu dia minta dimandikan dengan air
hangat. Kusiapkan air hangat di baskom. Mbak Narsih duduk di kursi kayu, kamar
mandi kubiarkan terbuka, agar ruangan lebih luas dan aku bisa ikut masuk
mengguyur tibuhnya dan memandikannya.
Aku merasakan kehalusan kulitnya saat aku menyabuni tubuhnya.
Pahanya yang mulus dan bersih, pundak dan lehernya yang jenjang dan putih.
Tadinya aku ragu-ragu untuk menyabuni susunya. Tapi Mbak Narsih dengan “marah”
memaksaku menyabuni bukit kembarnya itu. “Kun, terus saja gosok dan putar-putar
di situ, biar bersih.” perasaan sudah bersih banget, kenapa disuruh menyabuni
terus. Melihat kemontokannya terasa celanaku jadi sempit.
“Nah. Diputar putar gitu, Kun. Terus dari bawah diangkat
sambil digosok.” Mbak Narsih terus member pengarahan. Kusangga payudaranya
naik, lalu sedikit kuremas dan kupijit. Mbak Narti tidak protes, Cuma memandang
ke payudaranya yang semakin menggembung montok itu. Apalagi kedua tangannya
diangkat naik karena takut telapak tangannya yang luka terkena air, sehingga
keteknya yang bermbut tipis itu terbuka lebar.
Payudaranya terangkat naik. “Sekarang, ambil air lagi,
diguyur pelan-pelan. Sambil dihilangkan sabunnya.” Kuguyur merata, dan
sisa-sisa busa larut ke bawah menampakkan kecerahan kulitnya yang semakin
terang. Aku yakin tanpa lampu pun kamar mandi itu akan terang benderang karena
kecerahan kulitnya.“Dikosoki, Kun biar dakinya ilang.” Mbak Narsih mengulang
lagi. Mulutku terkatub rapat sambil menggigit bibir, menahan perasaan aneh di
hati, kugosok-gosok sisa sisa sabun yang terasa licin itu.
Memang enak rasanya menyentuh daging empuk ini. Aku malah
setengah meremas pada ujung-ujungnya. Aku heran kenapa pucuknya keras. kenapa
setiap aku remas ujung susunya, Mbak Narsih memejamkan matanya. “Masih sakit,
Mbak?” Dia Cuma menggeleng tapi tetap mata terpejam.
“Kun, sudah tiga hari ini Mbak nahan untuk tidak ke WC, tapi
perutku sudah sakit banget. Aku mau ke WC, Nanti tolong kamu semprot ya anuku,
pakai toler air. Tanganku masih melepuh.” Mbak Narsih jongkok di WC, pintu
kututup. Wah, baunya sampai juga di luar. Aduuuh, tugas berat nih, keluhku
dalam hati membayangkan kotoran yang baunya saja sudah begitu menyengat.
Kupijit hidungku. “Kun, buka pintu WC dan semprot aku ya” kudengar suaranya
dari dalam.
Sudah kusipkan air yg kuberi sedikit obat pel yang wangi.
Kubuka kran dan kutembakkan “water kanon” itu untuk membersihkan kotoran yang
menempel di sana. Lalu Mbak Narsih membalikkan badan, membelakangiku. Pantatnya
yang besar dan putih itu terpampang di hadapanku,”Semprot, Kun….!” Aku arahkan
dari bawah air itu menyemprot lubang anusnya. “Sudah bersih belum Kun?” Mbak
Narsih nungging, terlihat dua lubang dobel.
Berwarna pink semuanya. Ooo, seperti ini bentuk tempik
perempuan dewasa dari dekat? Celanaku semakin mengggembung. “Sudah belum? Kok
lama sekali lihatnya?” dia protes “SSssuudah…Mbak, jelas sekali…eeehh bersih
sekali” aku jadi salah tingkah dan keseleo lidah. “Sekarang ambil sabun. Tolong
sabunilah biar hilang baunya. Tanganmu gak akan kena kotoranku lagi” Haaaa…. Menyabuni
“ituuu?” Aku kok jadi bersemangat, tapi kusembunyikan kegiranganku itu dengan
bersikap senormal dan setenang mungkin.
Kugosok anusnya dengan sabun, lalu kemaluannya secukupnya,
kemudian kubilas lagi dengan semprotan air wangi tadi.. Pengin-nya aku mau
lama- lama, tapi aku malu. Waktu meraba belahan kemaluan Mbak Narsih tadi,
punyaku berkedut-kedut hebat seperti mau kencing. “Kun, kok cepet-cepet, ya
nggak bersih dong.” Sergah Mbak Narsih dengan raut marah.”Ayo lagi” Aku ambil
sabun lagi. Lubang duburnya kuusap-usap pelan, dari belakang kulihat bokong
putih itu terangkat-angkat saat aku mengusap tadi.
Seluruh permukaan bokongnya kusabuni dengan penuh perasaan.
O, bersihnyaaaa..ooo putihnya…. Lalu kutelusupkan jariku maju ke “garis” di
depan sana. Ternyata jariku “keceplos” ke dalam alur yang basah dan hangat. Di
dalam terasa ada keduta-kedut yg menjepit jariku.
Seperti aliran listrik, menjalar ke celanaku terasa juga
kedutan kedutan liar di yang semakin terasa. “Terus saja, Kun, teruussss…..
nah.. pinter kamu, Kun…” Mbak Narsih menggumam seperti ngomong sendiri. Aku
semakin tak bisa menahan kedutan di celanaku. Tak terasa dan tak kusadari,
jariku bergerak menusuk semakin dalam ke “sana” seiring rasa yg kurasakan.
Ujung jariku terasa menggapai-gapai sesuatu yang menonjol di
dalam “sana” dan Mbak Narsih mendesis ; “Aaaaahhhh.. ssssshhh…” mendengar
rintihan Mbak Narsih, aku semakin “menderita” karena ada semacam gelombang
getaran yang mau menjebol benteng. Jariku bergerak maju-mundur semakin cepat, dan
gelombang itu semakin mendekat.
”Aaaahhhh…Mbak..” Bersamaan dengan itu Mbak Narsih juga
merintih,”Ahh ssshhh,,,, aku keluaarrrr… oooohhhh” Aku merasa ada yang keluar
di celanaku. Aku ngompol! Padahal aku tidak tidur? Tapi kok enaaak sekali?
Tiba-tiba aku merasa malu, takut kalau Mbak Narsih menoleh dan melihat celanaku
basah. Mbak Narsih keliatan lemes tapi wajahnya mengekspresikan kepuasan.
Setelah kulap dengan handuk seluruh tubuhnya, aku kenakan
daster yang bersih. Rambutnya aki sisir rapi. Mbak Narsih diam saja dengan
sikap manis. Pagi ini terlihat dia sangat cantik. Sambil menyisir rambutnya,
kupandangi sepuasnya makhluk cantik di hdapanku sepuas-puasnya. Seminggu
kemudian Mas Pras pulang. Perban sudah dilepas, tapi tangan jadi belang.
“Kenapa, Sih, tanganmu?” Mas Pras terlihat kuwatir. “Kompornya meledak. Untung
ada pahlawan kecilmu.” Mas Pras mengelus kepalaku. dia tersenyum.
Aku jadi bangga campur nalu. Aku khawatir Mbak Narsih cerita
kalau aku menyeboki dia. Aku berdebar- debar terus. Untung Mbak Narsih malah
cerita kalau aku ternyata pinter masak dan merawat. “Dik Narsih, Kuntadi ini
juara masak dalam lomba masak di sekolahnya. Dia juga bintang lapangan basket.”
Pujian Mas Pras membikin aku semakin malu saja. Meskipun itu
memang benar.
No comments:
Post a Comment