Kamar itu gelap. Sinar bulan tampak menyentuh kisi-kisi
jendela kamar kecil itu. Membayangkan silhouette tubuh yang meringkuk di sudut
kamar. Rena menenggelamkan kepalanya ke dalam lipatan lengannya yang memeluk
lutut-lututnya.
Bahunya yang bergerak-gerak menandakan bahwa gadis kecil itu
sedang menangis. Rena mengangkat kepalanya, mengutuk sinar bulan yang menerpa
wajahnya yang ternoda jejak-jejak air mata dalam hatinya. ‘Bagaimana aku bisa
memaafkan dia..’
“Rene.. ah.. Rene..” mulutnya berbisik setengah terbuka.
Buliran air mata jatuh melewati pipinya menetesi lengannya. Gagang telepon di
sebelahnya memperdengarkan nada sibuk. Rena memasukkan lagi kepalanya dalam
dekapan kakinya, dan bahunya kembali bergerak-gerak.
Sepuluh kilometer jauhnya, waktu yang sama.
Rene membanting C35-nya ke lantai, memandangi sejenak
serpihan- serpihan mesin itu berpencaran ke segala arah. Rene menjambak
rambutnya dengan kesepuluh jemarinya. Gila.. semua gila, batinnya dalam hati.
‘Rena.. bangsat! Cintaku.. aku..’
Rene menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, matanya
merawang menatap langit- langit kamarnya. Melamunkan wajah gadis kecil itu
dalam dekapannya.. yang beralih menjadi bayangan api kemarahan dan kesedihan
yang terpancar dari nada suara gadis yang beberapa menit lalu masih
bercakap-cakap dengannya. Rene menutup matanya dengan lengan kanannya, bahkan
ia masih memiliki sedikit rasa malu kepada kamar kesayangannya, untuk
melihatnya meneteskan air mata.
Somewhere, lantai dua, waktu yang sama.
Amanda mengeraskan suara walkman-nya. Membiarkan lantunan
musik kesayangannya memenuhi rongga telinganya. Tangannya bergerak membuka
lembaran-lembaran literatur dihadapannya.
‘Ah, aku harus belajar giat supaya cepat lulus.. lalu..’
Matanya memandang ke bingkai foto di atas meja disamping
tempat tidurnya. Tangannya mengambil bingkai foto itu, dan bibirnya mencium
wajah cowok yang sedang tersenyum kepadanya lewat foto di hadapannya. Cup..
cup.. Amanda mencium foto itu berulang-ulang, membayangkan kehangatan cowok itu
saat memeluknya, menciumnya, mencumbunya.. belajar.. belajar.. Amanda
mengingatkan dirinya sendiri sebelum tangannya mulai gatal.
Dua purnama yang lalu.
Cowok yang hanya mengenakan kaus oblong itu terlihat sibuk
membersihkan mobilnya. Tangannya menggosok permukaan mobil itu dengan cermat,
sesekali menyeka peluh yang keluar dari dahi dan pelipisnya.
‘Ah.. panas sekali’, umpatnya dalam hati.
Rene meraih selang yang tergolek di sebelah kakinya, bangkit
berdiri dan menekan knob penyemprot di tangannya. Dicobanya untuk mengarahkan
air itu ke wajahnya, ahh.. segarnya. Dibilasnya mobil itu dengan hati-hati,
memastikan semua kotorannya luluh ke jalan.
Mendadak telinganya menangkap suara bertubruknya sesuatu.
Matanya mencari-cari, sementara tangannya yang memegang selang tetap mengarahkan
semprotan air ke mobilnya.
Setengah jam sebelumnya.
“Kaak.. mana.. katanya mau ngajak aku jalan-jalan?”, suara
gadis ABG itu terdengar manja dan memaksa.
Gadis yang lebih tua berkata dangan malas, “Sekarang?
Tanggung nih..”.
Remote TV itu masih dalam genggamannya.
“Kaakk..!!” Rena memegang pundak kakaknya, merayu-rayu supaya
kakaknya bersedia mengatakan janjinya.
“Iyaa.. udah sono!” Amanda tertawa geli melihat kelakuan
adiknya yang manja.
‘Yah beginilah’, pikirnya, jika hanya punya adik semata
wayang, yang sangat kebetulan manja dan pemaksa.
Amanda menyusuri jalanan kecil itu melewati rumah-rumah yang
terlihat sepi. Adiknya yang duduk di belakang seakan menikmati suasana panas di
siang hari itu, sementara kakaknya sesekali mengelap keningnya yang basah oleh
keringat. Amanda merasakan sebutir keringat mengenai matanya.. aduh..
Rene melihat seekor kucing lari terpincang-pincang dan
menghilang dibalik pagar sebuah rumah. Rene tertawa, bukan pada tingkah gugup
kucing itu, tapi pada kedua gadis di seberang jalan yang saling menyalahkan
satu dengan lainnya.
“Makanya kalau jalan hati-hati..”
Amanda kaget mendengar suara itu dan menghentikan
pertikaiannya dengan adiknya yang masih cemberut.
“Rene..” matanya hampir tak berkedip memandang sosok cowok
yang cengar-cengir di hadapannya, yang kemudian membungkuk untuk membantu
menegakkan sepeda motornya.
“Reneehh..”, Amanda menahan desahan nafasnya ketika bibir
Rene mengecup mesra bibirnya.
“Ada adikku loh.”
“Biar saja, biar cari pacar.. hehehe.. mm..”, Rene meneruskan
ciumannya, sementara tangannya bergerak meremas-remas payudara Amanda.
“Akhh.. Rene!” Amanda menyingkirkan telapak tangan Rene dari
dadanya, meninggalkan ruang tamu dan Rene yang tertawa-tawa, menghampiri
adiknya yang mengomel panjang lebar di luar rumah.
“Nih.. awas.. sakit.” Amanda mengusapkan kapas yang basah
oleh Betadine itu ke luka di lutut adiknya.
Rena mengerutkan alisnya, menahan nyeri dari reaksi Betadine
yang menyapu pori-porinya. Rene keluar membawa segelas air.
“Nih, minumnya..”. Rena meraih gelas itu dari tangan Rene dan
meminumnya, tak sempat melihat tangan Rene yang menyusup masuk ke dalam baju
kakaknya, sempat meremas sejenak, sebelum Amanda menggerakkan sikutnya.
Rene tersenyum-senyum ketika melihat kakak beradik itu
melambaikan tangan kepadanya, sebelum sepeda motor mereka oleng lagi dan kali
ini hampir saja naik ke trotoar. Rene masih sempat mendengar erangan si adik
yang memaki panjang lebar sebelum sepeda motor itu akhirnya menghilang di
kejauhan.
Dua minggu kemudian, di sebuah malam minggu.
“Aduhh..”, Amanda memegangi perutnya yang terasa nyeri.
Otot-otot keningnya menegang. Amanda dapat merasakan pegangan
tangan Rene di bahunya.
“Amanda, tahan dong.” Rene berkata panik.
“Apotik.. obat.. hhggnn..” Amanda mengerang-erang kesakitan.
“Hah? Apotik mana? Obat apa?”
“Rena..”, telunjuk Amanda mengarah ke ruang tengah.
Rene langsung berlari, mendapati Rena yang sedang tiduran di
depan TV.
“Ren, kakakmu kumat tuh..”.
Rena langsung berlari dan memegangi perut kakaknya yang masih
meringis.
“Duhh.. mana Papa Mama nggak ada, lagi..” nada suaranya
terdengar panik.
“Beli.. uang.. di atas meja..” Amanda berkata terengah-engah.
Rena langsung berlari ke dapur, mengambil segepok uang yang
terletak di atas meja makan.
“Ayo..” Rene mendahului keluar
“Bangsat!” Rene melayangkan tinjunya ke rahang salah seorang
anak muda yang berdiri paling dekat dengannya, membuat anak muda itu terjatuh.
Orang banyak segera berkerumun di sekeliling mereka.
Teman-teman si anak muda menjadi reseh dan ngeloyor pergi sambil membawa teman
mereka. Rene tak menghiraukan pertanyaan orang-orang di sekitarnya, memegangi
bahu Rena yang terguncang dan membuka pintu mobil.
“Kamu sih, keluar duluan. Makanya.. lain kali..” Rene tidak
meneruskan omelannya, merasa iba melihat tangis gadis kecil di sebelahnya.
Rene menghentikan mobilnya.
“Sudah.. jangan nangis lagi. Jelek.”, Rene mengulurkan
tangannya memegang pundak Rena, dan menekan tubuh gadis kecil itu ke dadanya.
Rena menangis sejadi-jadinya, merasakan ketakutan yang
membuka pori-porinya saat tangan-tangan iseng tadi mendadak memegang buah
dadanya. Rene membiarkan gadis itu membasahi bajunya, sebelum ingatan tentang
Amanda memaksanya untuk melepaskan pelukannya dan melajukan mobilnya secepat
mungkin.
Seminggu setelahnya.
Rene membelokkan mobilnya dengan gerakan seminimal mungkin,
berusaha tidak mengubah posisi kepala Amanda yang berada di pangkuannya.
“Ahh..” Rene mendesah saat ujung penisnya masuk semakin dalam
ke rongga mulut gadisnya.
Tangan kirinya menindah perseneling ke gigi dua, membiarkan
laju mobil tetap stabil. Rena menghisap penis di mulutnya, menikmati rasa anyir
dan asin itu bercampur di lidahnya.
Dikeluarkannya sejenak penis itu dari mulutnya, memandangi
dan menikmati air liurnya yang membasahi batang penis di depan matanya.
Bibirnya turun dan mencium ujung penis itu dan kemudian menelannya lagi ke
dalam mulutnya.
“Mmmhh..” Rene menikmati gerakan lidah gadisnya yang menyapu
kulit batang penisnya dengan gerakan liar.
“Yang..keluar nih..” Rene berkata lirih.
Amanda mengulurkan tangannya ke kotak tissue yang ada di jok
belakang, mengambil segenggam tissue, menghisap penis Rene sekuat tenaga,
mengeluarkannya dari mulutnya, dan menutup bibir penis itu dengan tissue.
“Aarrgghh..” Rene mengerang saat spermanya keluar membasahi
tissue yang menutupi ujung penisnya.
Amanda tersenyum melihat ekspresi kekasihnya. Rene merasa
sakunya bergetar. Diambilnya HP dari sakunya, membiarkan Amanda sibuk
membersihkan cairan sperma yang tersisa, dengan tissue.. dengan kecupan
bibirnya.. dengan lidahnya..
‘Sial, jangan sekarang.’
Rene menekan tombol merah di HP-nya.
“Siapa?”
“Ah.. anak-anak, pasti deh ngajak jalan.”
“Ya udah, kita pulang saja, aku ngerti kok.” Rene tersenyum
dan merasakan kancing celananya terpasang kembali.
“Oke.. thanks, love you so much”, Rene mengecup bibir Amanda
dan merasakan sisa-sisa sperma di ujung bibir gadisnya.
“Ada apa?”
“Ngga pa-pa.. aku sedih saja..”
Rene tertawa kecil, “Hahaha.. ada apa sih?”
“Ntar.. ada kakak..” Rena menutup speaker telpon dengan
telapak tangannya, menunggu sosok Amanda yang bersiul-siul menghilang dari
hadapannya.
“Halo?”
“Iya.. ada apa adik kecil?”
“Aku ngga kecil lagi!”
Rene tertawa, matanya menatap ke depan, menghindari sebuah
sepeda motor yang melaju kencang.
“Iya deh, adik besar..”
“Ngga mau besar.. tua..” Susah.
“Ada apa sih..?”
“Ngga pa-pa, pingin aja ngobrol ama kamu..”
“Hahahaha.. masih ngga berani keluar?”
Rena merasa wajahnya merona, “Iya..”
“Besok kujemput pulang sekolah?”
“Iya.. eh.. kutunggu loh.. bener ya!”
Rene merasakan ketidak sabaran yang lazim dari seorang gadis
ABG, tertawa kecil dan berkata, “Oke, tungguin aja.”
Rene tertawa melihat tubuh Rena yang tenggelam dalam baju
yang kebesaran itu. Rena mengerang dari balik baju, “Jahat. Masa aku disuruh
pakai yang begini..” Rene tertawa lagi. Kali ini lebih keras.
Rena kembali masuk ke dalam kamar pas, dan keluar beberapa
saat kemudian sambil cemberut, mengembalikan baju hip-hop itu ke gantungan,
tanpa memperdulikan pandangan Mbak penjaga stan yang mencemooh. Rene mengusap
kepala Rena dengan buku jarinya. Membiarkan Rena menggelengkan kepalanya dengan
sebal. “Makan yuk.”
Rene memperhatikan Rena menyantap paha ayam itu dengan penuh
perhatian.
‘Ah, desahnya dalam hati’, ini sudah yang kedua kalinya, tapi
getaran ini.. sejenak Rene terngiang sebuah pepatah Jawa ‘tresno jalaran soko
kulino’.. dan bibirnya tersenyum.
“Apa liat-liat?” Rena menyerang bertanya.
“Ge-er deh.. aku ngeliatin ayammu, kalo ngga abis..” Keduanya
tertawa dan menghabiskan makanan mereka.
Seminggu setelah kejadian terakhir.. di tengah hujan lebat..
“Mmmhh..” Rena mengeluh lirih, “Rene.. hh..” Rene mengecup
bibir gadis kecil itu dengan perlahan, membiarkan gadis itu mengeluh.
“Rena.. aku sayang kamu..” Tangannya menyingkap baju si
gadis, memegang buah dada si gadis yang terasa kencang di telapak tangannya.
“Ahh..”, Rena memejamkan matanya, merasakan untuk pertama
kalinya disentuh oleh seorang lelaki, seorang lelaki yang menjadi idolanya
sejak kejadian di depan apotik tempo hari.
Rene menempelkan bibirnya lebih keras.. menenggelamkan
lidahnya ke dalam rongga mulut si gadis kecil.. memaksa lidah si gadis untuk
bergerak mengiringinya.
“Mmmhh..” Rena mengeluh lagi saat tangan Rene masuk ke dalam
bra-nya, memainkan puting buah dadanya, mengangkat lengannya untuk merangkul
leher pahlawannya.
Rene memainkan puting si gadis dengan gerakan yang lembut,
menahan gejolak nafsunya sendiri, menundukkan kepalanya, dan mengecup puting
itu dengan perlahan, merasakan lengkungan tulang punggung si gadis seiring dengan
desahannya.
“Rene.. sudah dong.. ahh.. hh..” Rene menghentikan
hisapannya, memandang mata Rena yang mulai berkaca-kaca, mengembalikan bra si
gadis ke posisi semula.
Rena membiarkan Rene mengecup bibirnya, menikmati kasih
sayangnya yang menggebu, dan memeluk kepala Rene yang tenggelam di dadanya.
Kehangatan yang mereka rasakan saat itu membuat kaca mobil mengembun, dan
mengingatkan mereka akan seseorang yang dengan sabar menunggu kedatangan
McDonalds pesanannya di rumah tanpa curiga.
Dua hari kemudian, di sebuah hotel kelas menengah.
“Ahh.. ah.. Rene.. hh..”, Amanda mengerang, menggigit bibir
bawahnya, merasakan keperihan yang ditimbulkan oleh tekanan penis kekasihnya
yang semakin dalam ke kemaluannya.
Rene merasakan nafasnya mulai memburu. Ia mengangkat tubuhnya
dan melihat batang penisnya yang sudah setengah tenggelam dalam kemaluan
gadisnya, digerak-gerakkannya pinggulnya, menekan penisnya lebih dalam, untuk
kemudian menariknya keluar supaya dapat mendengar gadisnya mengerang di
bawahnya.
“Ahh..” Rene mengeluh penuh kenikmatan.
Amanda mengulurkan tangannya, merangkul leher Rene,
menempelkan bibir kekasihnya ke ujung buah dadanya, menggerakkan pinggulnya
untuk menikmati penetrasi kekasihnya, sementara rasa perih yang semula
dirasakannya perlahan menghilang, berganti dengan kegelian dan kenikmatan yang
luar biasa, yang memaksanya mengeluh dan mengerang dalam nafsu yang membara di
benaknya.
“Ahh.. Amanda.. ah.. hh” Rene merasakan nafsunya yang mulai
beranjak ke ubun-ubun.
Pinggulnya bergerak semakin cepat, menggesek dan menusuk
kemaluan gadisnya. Amanda menjerit tertahan, memeluk dan mencakar punggung
Rene, merasakan sedikit sakit saat liang vaginanya menelan seluruh batang penis
kekasihnya, gesekan-gesekan itu menambah rasa geli dan nikmat di seluruh
tubuhnya.
“Rene.. ahh.. ahh.. hh..” Rene mencabut keluar penisnya,
mengeluarkan spermanya yang berwarna kemerahan di atas permukaan perut
gadisnya.
Amanda mengulurkan tangannya, menggenggam dan meremas batang
penis yang menempel di perutnya, menikmati ciuman kelelahan Rene di bibirnya
dan dadanya, dan menggunakan tangannya yang bebas untuk menyeka air matanya.
Awal minggu kedua, purnama kedua, di dalam mobil.
“Trus.. diapain?” Rene tertawa melihat kepolosan gadis kecil
ini.
“Nih.. digini’in..”
“Oke.” Rene mendesah lirih saat jemari Rena memainkan batang
penisnya yang menegang.
Tangannya terjulur meremas buah dada si gadis yang
menggantung saat si gadis kembali membungkuk. Rena menikmati desahan
pahlawannya, memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu bentuk batang penis
dalam genggamannya, ujungnya yang kemerahan, uratnya yang menonjol dari
kulitnya..
‘Ah.. jadi begini wujudnya.’ Amanda menggerak- gerakkan
tangannya sesuai yang dicontohkan Rene kepadanya, sedikit terhanyut oleh
sentuhan-sentuhan Rene pada payudaranya.
“Awww.. ihh..” Rena menarik kepalanya ke belakang ketika
semburan sperma itu nyaris mengenai wajahnya.
“Ahhkk.. sori.. sori.. maaf..” Rene sempat kikuk setelah
sadar dari buaian kenikmatan ejakulasinya.
Menatap mata Rena yang bertanya-tanya, mengambil tissue dari
jok belakang, dan menyeka ujung kemaluannya, sedikit geli melihat ceceran
sperma yang mengenai permukaan tombol klakson mobilnya.
“Lengket..”, Rena bergumam sambil memainkan sperma yang
terselip di jemarinya.
Rene tertawa lirih dan membersihkan jemari gadis kecilnya
dengan tissue.
“Itu yang namanya sperma..”, Rene nyaris terbahak melihat
mulut Rena yang meringis dan alisnya yang berkerut.
‘Aku sayang kamu gadis polos..’, ucapnya dalam hati.
Rena mengamati Rene membersihkan tangannya, dan melihat penis
pahlawannya perlahan mengecil.
Tanpa dapat ditahannya, Rena tertawa, “Ihh.. kecil.. cuman
segitu rupanya..”, Rene tersipu dan bergegas membenahi celananya
Akhir minggu kedua, purnama kedua.
Rena mengeluh panjang lebar. Menunggu di tepian jalan seperti
perek bukanlah tipe pekerjaan yang disenanginya. Dilihatnya matahari yang sudah
naik tinggi di atas kepalanya. Sial. Dihampirinya box telepon di belakangnya,
dan setelah memasukkan koin seratus terakhirnya, jarinya memencet-mencet nomor
telepon rumahnya.
‘Brengsek’, umpatnya dalam hati mendengar suara penjawab
telpon, “Disini rumah keluarga Ta..”, Rena membanting gagang telpon itu,
membiarkan beberapa pasang mata pengunjung warung menatap heran ke arahnya.
Rena melangkah ke pinggir trotoar dan melambaikan tangannya.
“Awas.. yah! Jalan melulu.. lupa sama adiknya! Kuberitahu
Mama dan Papa kalau sudah pulang!”, Rena menggeram dan mengomel selama
perjalanan.
Sopir taksi itu menatapnya geli dari balik kaca spion. Rena
melengos dan mengalihkan pandangannya keluar jendela
Sementara itu, sepuluh menit setelah Rena menyetop taksi.
“Ahh.. ahh.. ahh.. ahh..” Rene memegang kedua payudara
kekasihnya, menciumi punggung kekasihnya yang putih dan mulus.
Pinggulnya bergoyang-goyang ke depan ke belakang dengan irama
yang penuh nafsu. Amanda mengangkat pinggulnya, merasakan gerakan pinggul Rene
yang agresif, menikmati batang penis yang keluar masuk di liang vaginanya.
“Ahh.. ah..”, Rene mengerang dan mengeluh penuh kenikmatan,
merasakan setiap himpitan liang kemaluan kekasihnya.
Amanda merasakan kulit dada kekasihnya menempel di
punggungnya, gerakan pinggul Rene semakin cepat, Rene melepaskan pegangannya
pada buah dada Amanda dan memeluk pinggangnya dengan kencang, merasakan
kepalanya yang terangkat dan peluhnya yang mengucur saat menekan penisnya lebih
dalam dan mempercepat gerakan pinggulnya.
“Ahh.. ah.. ah.. ah.. ah..”, Amanda mengeluh seiring irama
pergerakan pinggul Rene.
Rene melepaskan rangkulannya, membiarkan tubuh kekasihnya
jatuh menelungkup di pinggir tempat tidur, menggunakan tangannya menarik keluar
penisnya dan menyemburkan spermanya ke permukaan pinggul kekasihnya.
“Ahh..”, Rene menyeka peluhnya, menindih tubuh Amanda yang
tertelungkup, membiarkan penisnya menempel di celah pinggul si gadis, dan
menciumi belakang kuping dan leher gadisnya yang kelelahan.
“I love you.. honey-bunny..” Amanda tertawa lirih.
Dan betapa sepasang mata yang berurai air mata itu
menyaksikan setiap adegan tanpa berkedip.
No comments:
Post a Comment