Aku percepat sepeda motorku agar cepat sampai di rumah Kak
Tias. Sudah 2 tahun aku tak bertemu dengannya, sejak aku ditempatkan di
Kalimantan setelah aku menyelesaikan kuliahku. Rasa rinduku pada kakakku yg
sangat manja kpadaku dan sangat memanjakanku tak kepalang. Walau dia sudah
menikah dan sudah punya seorang anak, aku tetap merindukannya.
Aku teringat semasa kami kecil, aku selalu menjadi ayah dan
dia menjadi ibu dan kami bermain di samping rumah di bawah pohon manggis. Kami
pun masuk ke pondok di pinggiran kali kecil, lalu ami membuka baju kami,
mempraktekkan bagaimana tetangga kami bersetubuh yg kami intip. Oh… kenangan
itu.
Bermain sampai kami lepas SD, kemudian kami masuk SMP. Usia
kami terpaut hanya 2 tahun. Kami pernah sama-sama di SD dan kami sama-sama di
SMP, kemudian kami sama-sama di SMA, kemudian kami sama-sama kuliah dan saat
kuliah, aku dan kakaku Tias sama-sama diwisuda. Saat aku ke Kalimantan aku tak
bisa menghadiri pernikahakannya. Dia adalah korban kawin paksa oleh ayah kami.
Begitu aku tiba di depan rumahnya, dia langsung menghambur
dan memeluk diriku dan kami berpelukan. Kami ingat bagaimana kami sama-sama
sekolah boncengan naik sepeda sampai tamat SMA dan kemudia sama-sama mahasiswa.
Sejak SMP dan SMA kami sudah pacaran. Pacaran dimana kami saling berkirim
surat. Aku menulis surat padanya, kemudian dia tulis surat padaku lalu
diberikannya untuk aku baca.
Setelah mahasiswa, kami membeli sebuah buku catatan harian
dan kami isi bersama-sama. AKu menulis di buku itu kemudian kakakku akan
membalasnya. Dalam keseharian kami, kami tdk pernah membicarakan tentang cinta
kami. Kami hanya membicarakan tentang cinta kami di dalam buku catatan harian
kami (Diary) saja.
Setiap akhir tahun, kami membuat acara pembakaran buku
catatan harian kami. Terkadang kami melakukannya di gunung, karean kami
samapsama suka mendaki gunung, atau di puncak di sebuah hotel kecil. Kami sudah
terlalu sering tidur bersama. Kami berciuman saling mengelus. Paling indah
bagiku, saat pertama kali aku dibenarkan mengulum buah dadanya dan pertama kali
dia mengulum penisku. Indah sekali.
Perbuatan itu tak sampai lebih dari sana. Aku harus taat pada
perjanjian kami di buku diary. Kalau aku trak boleh merusak kegadisannya. Aku
hanya diberikan kesempatan untuk melihatnya, kemudian diizinka untuk mengelus
rambut-rambut halus di vaginanya.
Terakhir aku diizinkan mencium vaginanya. Saat aku meminta
untuk menjilatnya, aku hanya diizinkan dengan pengawasannya yg ketat. Duh…
aroma vagina Kak Tias masih terngiang dalam kenanganku dan aku masih mampu
merasakan aroma mesum vagina-nya. Apakah pertemuan kami kali ini, aku masih
mendapatkan it7u. Apakah aromanya tetap sama, setelah dia menikah dan sudah
punya seorang anak yg kini hampir berusia dua tahun itu?
Aku terkejut saat mengetahui kalau ternyata anak yg
dilahirkannya hanya berusia empat bulan kemudian meninggal. Katanya dia sengaja
tdk memberitahukanku, agar aku tdk bersedih. Linangan airmatanya membuatku
mengelusnya dan menciumnya. Saat itulah aku mengerti, kenapa Kak Tias sangat
merindukanku, karean suaminya jarang di rumah, karena lebih banyak di rumah
isteri tuanya. Aku geram mendengarnya.
Tak berapa lama, suami kak Tias datang dan kami berkenalan.
Saat itu aku mengemukakan, agar Kak Tias mau menemani aku ke rumah orangtua
kami, karena akui sudah kangen pada kedua orangtua dan kangen juga kepada Kak
Tias. Dengan senang hati, suami Kak Tias menyetujuinya bahkan mengatakan dia
akan berangkan ke Ambon selama sebulan lebih untuk sebuah proyek. Dia
memberikan sejumlah uang kepada kami untuk biaya selama sebulan di rumah
orangtua dan perjalanan. Hanay itu, tanpa basa-basi dia langsung pergi. Aku jadi
mengerti kenapa Kak Tias selalu mengeluh pada suaminya itu.
Dengan mengendarai sepeda motor kami hanya membawa dua buah
ransel. Ransel Kak Tias di punggungnya dan ranselku tergantung di bahuku dan
berada di dadaku. Dengan senang dan bahagia sekali Kak Tias memelukku erat dari
belakang. Teteknya menempel erat di punggungku. Aku juga bahagia.
“Kak aku jadi horny, tetek kakak nempel di pungungku,”
kataku.
“Lantas bagaimana?”
“Bagaimana kalau malam ini kita menginap di hotel saja dan
besok pagi kita lanjutkan perjalanan,” kataku.
“SIapa takut…” Kak Tias menjawab dengan sangat bahagia
sekali.
20 menit kemudian aku membelokkan sepeda motorku ke sebuah
hotel melati yg bersih dan sepi. Kami memesan sebuah kamar dan emmasukinya. Aku
mengajaknya mandi bersama. Kak Tias tersenyum dan langsung mengangguk kepalanya
tanda setuju.
“Sekarang kamu bebas. Bukalah pakaianku sampai aku bugil,”
katanya.
Aku melakukannya dan aku menatap tubuhnya yg indah. Saat itu
juga Kak Tias melepas satu persatu kancing bajuku, hingga semuanya sudah
terlepas dari tubuhku. Kami berdua sudah bugil. Kami berlepukan dan saling
berpagutan. Tubuh kami tanpa sehela benang pun demikian rapat. Aku membopongnya
memasuki kamar mandi.
Tentu saja kami tdk langsung mengguyur tubuh kami dengan air
sejuk itu. Kami melanjutkan pagutan kami. Dengan aroa keringat selama dua jam
naik sepeda motor, ternyata membuat kenangan indah kami kembali terngiang.
Aroma tubuh kami, masing-masing membuat kami merindukannya.
Setelah puas berpagutan kami pun mengguyur tubuh kami dengan
air sejuk dan kami saling menyabuni. Setelah bersih kami mengeringkan tubuh
kami dengan handuk empuk dan bersama kami kembali ke ruang kamar tidur. Saat
itu Kak Tias langsung membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dann aku tak
tahan melihat keindahan tubuh Kak Tias. Aku kembali meniumnya dan kami pun…
Entah bagaimana mulanya, aku pun tak mengerti. Jelasnya, kami
sudah sama-sama bugil di atas ranjang. Lampu temaram di dalam kamar, membuat
kami semakin asyik saja. Nafsu semakin menggebu. Lidah kami salingb ertautan
dengan buas. Kak Tias tak mau diam. Dia terus memelukku dan meremas-remas
rambutku. Nafasnya semakin memburu dan…
“Ayo naik ke atas tubuhku…” pintanya. Aku menaiki tubuhnya
dan menindihnya dari atas.
“Tolong jangan siksa aku. Masukin cepat…” katanya dengan
nafas terengah-engah. Kutusuk lubang nikmatnya.
Memek yg sudah sangat basah itu, dengan cepat dimasuki oleh
kontolku yg mengheras dan tegang.
“Oh… nikmat sekali. Hangat dik,” katanya dan terus meremas
rambutku sembari lidahnya terus menerus mempermainkan lidahku.
Tanpa kuasa, Kak Tias langsung menjepitkan kedua kakinya ke
pinggangku. Dengan buasnya dia mempermainkan tubuhnya dari bawah sampai aku
terayaun-ayun di atas tubuhnya.
Aku kehilangan keseimbangan. Aku terbuai oleh nafsu yg menggebu-gebu.
Dan aku berteriak tertahan.
“Aku sudah mau sampaiiii” kataku.
“Ya. Keluarin sebanyaknya,” desis Kak Tias.
Aku melepaskan spermaku beberapa kali ke lam lubang nimmat
itu. Banyak sekali perasaanku. Kak Tias terus memelyukku dengan kuat sembari
histeris kecil dan menjepit kedua kakinya semakin kuat dan memeluk tubuhku
dengan kuat pula. Aku merasakan kehangatan lendir yg membasahi dari dalam tubuh
Kak Tias.
Ada 1 menit dia masih memeluk tubuhku dan nafasnya
mendesah-desah di telinagku. Nafas yg hangat di lubang telingaku membuatku
bergidik. Lama kelamaan pelukan Kak Tias seemakin melemah dan jepitan kakinya
juga demikian. Kami berkeringat dan mengeluarkan aroma tubu kami masing-masing.
“Terima kasih dik. Aku kembali terasa seperti hidup setelah
sekian lama aku mati dalam rasa,” katany perlahan dengan nafas yg belum
teratur.
“Aku juga sangat merindukanmu, Kak,” kataku. Kami bertatapan
dn tersenyum.
Berdua kami ke kaqmar mandi membersihkan diri setelah kami
mampu mengatur nafas kami menjadi normal kembali. Siraman air sejuk membuat
kami semakin tenang. Aku mencuci kontolku dan Kak Tias menyabuni memeknya. Kami
keluar kamar mandi. Saat Kak Tias mau membalut tubuhnya pakai handuk aku
melarangnya. Aku ingin sepanjang malam ini, kami tdk tertutupi sehelai benangpun
kami aku ingin bertelanjang bulat bersama sampai besok pagi.
Kembali kami naik ke atas ranjang dengan ditutupi oleh
selimut tipis milik hotel. KIpas angin masih terus mengipas-ngpaskan angin
dalam ruangan 4 x 4 meter itu. Keringat kami berangsur hilang dan tanpa kami
sadari kami tertidur pulas. Kami tdk bermimpi apa-apa.
Kami melanjuutkan perjalanan dengan sepeda motor. Sampai
akhirnya kami sampai di rumah kedua orangtua kami yg menyambut kami dengan
senang. Mereka mengetahui, kalau kanmi sejak kecil adalah adik beradik yg
sangat akrab dan saling memanjakan. Mereka menangapi biasa saja saat kami
berdua tiba dengan sepeda motor.
TIga hari di rumah orangtua kami, kami kembali lagi ke kota.
Kami sengaja pergi saat matahari mau muncul ke bumi. Perlahan lahan kami
mengedarainya. Toh kami akan menginap lagi di hotel barang semalam baru kami
tiba di rumah Kak Tias. Saat itulah kami membicarakan segala sesuatunya,
termasuk tuntutan Kak Tias mau bercerai dari suaminya. Dia akan menuntut sebuah
rumah dan sebagainya. Nampaknya menurut telangkai, suaminya bakal memberikan
sebuah rumah dan sebidang tanah untuk Kak Tias. Kak Tias ingin memberikan sawah
itu kepada orangtua kami dan rumah itu akan dijual. Kak Tias akan ikut aku ke
seberang pulau. Aku senang sekali.
“Aku berharap, kamu mau menikahi aku, Dik,” katanya.
Ucapannya membuatku terbelalak.
“Bahaya, Kak,” kataku.
“Tolong aku, kalau kamu sayang padaku. Aku tak mau berpiosah
denganmu. Bagaimana caranya, kamu harus menikahiku. Jadikan aku isterimu,”
katanya.
Rasanya pusing juga aku memenuhi permintaannya itu. Tapi dia
mengancam, kalau aku tdak menikahinya, dia akan bunuh diri, karena dia tak mau
menikah dengan laki-laki lain yg pasti tdk akan menyayginya seperti aku
menyayginya. Kami putar otak agar kami bisa menikah. Dengan seorang calo nikah,
akhirnya kami mendapatkan apa saja yg dibutuhkan. Semua surat sudah terpenuhi,
kemudian kami m enikah, padahal perceraian belum juga terlaksana.
Begitu surat nikah sudah ditangan kami, perceraianpun
terlaksana. Kakak menerima putusan mahkamah Syariah, dia mendapat sebuah rumah
yg mereka tinggali dan sepetak sawah di akmpung yg tdk luas. Kak Tias tak
memikirkan apa-apa lagi pokoknya putusan hakim dia terima. Demikian gampangnya.
Akhirnya setelah negosiasi, rumah yg seharusnya milik Kak Tias diuangkan saja.
Dengan cepat suaminya membayar rumah itu dan sekaligus uang tenggang idhah-nya
selama 100 hari.
Dengan izin orangtua, aku me bawa Kak Tias ke seberang pulau.
Kami tingal di sebuah desa dan melapor kepada kepala desa dengan surat nikah
kami. Akhirnya Kak Tias menjadi sisteri resmiku. Rumah mungilku aku perbaiki
dan Kak Tias membuka usaha kecil-kecilan di depan rumah dan aku bekerja
sebagaimana biasanya.
5 bulan kemudian, Kak Tias hamil. Kami senang sekali. Rezeki
kami pun membaik. Rumah meungil sudah diperbesar sedikit dan kami sudah
memiliki sebuah truk pengangkut kebutuhan pekerjaanku. Kamio juga memiliki 10
hektar lahan sawit.
Ketiga aku memiliki tiga orang anak. kedua orangtuaku ingin
sekali datang untuk melihat anakku dan katanya dia ingin melihat anak Kak Tias
yg kami katakan Kak Tias juga sudah memiliki anak. Akhirnya aku poutuskan aku
kembali ke desa untuk menjelaskan kepda mereka, apa yg terjadi.
Mulanya kedua orangtua kami tdk bisa menerima apa yg aku
sampaikan. Dengan berbagai alasan, kalau aku tdk menikahi Kak Tias, dia akan
bunuh diri dan tak mau lagi jadi korban kawin paksa dan setrusnya dengan
berbagai bujuk rayu, akhirnya ibu kami mulanya dapat menerima, kemudian ayah
kami menyerah.
Aku membawa merek anaik pesawat terbang ke ibukota provinsi,
kemudian nyambung naik bus dan sampailah di rumah kami. Meloihat tiga cucunya,
kedua orangtua kami tdk bisa berbuat apa-apa dan hanya mampu menimang cucu
mereka. Seminggu kemudian mereka aku antar sampai lapangan terbang. Aku tak
mengetahui apa yg ada di dalam pikiran mereka.
Sejak itu, antara kami tdk ada lagi komunikasi. Anak-anak
kami tumbuh dewasa dan sehat. Kami bahagia.
No comments:
Post a Comment