Malam itu aku hanya dapat tidur nyenyak tiga jam saja.
Kulihat waktu masih menunjukkan pukul 3 pagi lebih sedikit. Usahaku yg kuat
untuk kembali tidur tak membuahkan hasil. Kulihat Indah masih tergeletak dalam
keadaan tidur nyenyak di ranjangnya.
Pikiranku berkecamuk soal pekerjaan yg akan kuhadapi sehari
lagi dan sama sekali belum kusiapkan. Kuputuskan untuk bangun dan duduk
termenung di kursi didalam kamar penginapan. Kupandangi meja disebelahku yg
penuh dengan botol-botol aqua, beberapa makanan kecil, dan kantung-kantung
plastik yg tak ada isinya.
Kupindahkan semua barang diatas meja keatas laci, lalu
kubersihkan meja itu. Kemudian aku mengambil semua berkas dan catatan tentang
pekerjaanku dari dalam tas dan meletakkannya diatas meja. Kubaca satu persatu
berkas tersebut dan memilah-milahnya menjadi beberapa bagian.
Bagian-bagian yg telah terpilah-pilah itu kubaca lagi dengan
lebih teliti dan menguraikan isinya didalam otakku sehingga terbentuklah sebuah
bahan informasi yg berhubung-hubungan satu sama lainnya. Beberapa data yg masih
kurang demi kelengkapan data kucatat dalam jurnal kerjaku.
Kemungkinan-kemungkinan tdk kuperoleh data yg kuperlukan juga
kucatat. Beberapa langkah alternatif untuk mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan terburuk muncul dan ikut kucatat. Dengan berusaha
secermat mungkin berdasarkan data yg ada dan catatanku, aku mulai membuat
rencana kerja. Setiap baris rencana yg kucatat kubayangkan pula langkah-langkah
kerja yg akan kulakukan.
Setiap hal penting yg muncul dari bayanganku kutulis dalam
jurnal. Kubaca lagi rencana kerja yg telah selesai kucatat, lalu kurangkai
hubungan setiap langkah rencana kerja dan kubuat skemanya. Seusai mengulang dan
merubahnya hingga kurasa cukup, kuhentikan kegiatanku tersebut. Tak terasa
waktu telah menunjukkan pukul 5.42 pagi. Konsentrasi tinggi serta posisi duduk
dan letak meja didalam penginapan yg sebenarnya tdk ideal untuk dipakai kerja
membuat leherku terasa pegal. Selesai mengemasi semua berkas dan catatan,
kucoba berdiri dan memutar-mutar kepala untuk melemaskan otot leher dan
punggung.
Kukenakan jaketku dan keluar dari kamar mencari hawa segar.
Di teras kamar aku melakukan stretching selama beberapa menit. Kucoba
berputar-putar di sekitar teras. Merasa bosan, kuambil rokokku yg selalu
tersedia dalam saku jaket dan kusulut sebatang rokok. Setengah dari rokoknya
telah habis ketika kulihat Indah keluar dari pintu kamar dengan menggunakan
kaos oblong besar dan celana pendek sebatas paha.
“Sudah ngopi, Joe?”, tanyanya.
Aku menggelengkan kepala saja dan meneruskan merokok.
“Tumben Joe tidurmu sebentar, bangunmu pagi sekali ya, aku
sempat melihatmu sibuk tapi karena masih ngantuk jadi aku pilih tidur lagi aja
daripada membantumu”, komentarnya.
“Mbak sudah benar, kalau Mbak bangun dan membantuku,
bisa-bisa tambah kacau”, kataku sambil memikirkan pekerjaan yg akan kuhadapi
besok.
“Mmm.. gitu ya, jangan harap aku mau membatumu lagi ya”,
katanya dengan nada bergurau.
“Ke kafetaria yuk”, ajakku dengan tak menghiraukan
gurauannya.
Beberapa tamu penginapan yg ada di kafetaria menoleh ke arah
Indah ketika kami memasuki kafetaria penginapan. Pura-pura tdk tahu gelagat
para pria yg sedang menaksirnya, Indah mengajakku duduk di meja paling pojok.
Aku masih cuek dengan keadaan sekelilingku tapi Indah agak gelisah dan
mengeluhkan ajakanku ke kafetaria. Setelah memesan sarapan, Indah mulai membuka
percakapan, tapi karena pikiranku masih di pekerjaan maka aku hanya berbicara
sedikit.
“Kenapa sih Joe kamu kok banyak diam? nggak seperti
biasanya”, tanya Indah.
“Nggak apa-apa Mbak, cuma mikir kerjaan besok”, jawabku
santai.
“Buat apa dipikir sekarang, kan masih besok?”, tanyanya lagi.
“Daripada nggak ada yg kupikir”, jawabku.
“Kenapa nggak mikir aku saja?”, tanyanya dengan senyum genit.
“Rugi!”, jawabku singkat dengan bergurau tanpa kupikir akibatnya.
Sebuah cubitan langsung menancap di tangan kiriku.
“Aduh Mbak, sakit!”, keluhku agak keras sehingga agak
terdengar dan menarik perhatian orang-orang disekitar kami.
Mungkin karena malu Indah segera melepaskan cubitannya.
“Tadi malam tangan kiri, sekarang kanan, Mbak kok suka sekali
nyubit sih!”, keluhku.
“Aku nggak rugi, kok”, jawabnya santai.
“Enak saja, aku yg rugi Mbak, perusahaan tdk
mengasuransikanku dari cubitan”, kataku serius.
Tak lama kemudian pesanan kami datang.
“Joe, katamu kamu belum pernah punya pacar, benarkah?”,
tanyanya yg langsung kujawab dengan anggukan sambil meniup kopi panasku agar
agak dingin.
“Itu karena pikiranmu belum dewasa. Caramu berbicara dengan
wanita asal saja tanpa pernah kamu pikirkan akibatnya.
Kamu tdk akan bisa membuat wanita senang dengan cara
ngobrolmu yg seperti itu.”, nasihat Indah padaku.
“Lha terus kenapa Mbak mau nginap denganku padahal aku kan
nggak ngajak”, tanyaku dengan suara berbisik.
“Karena aku tahu bahwa kamu tipe pemuda gila kerja yg cuek
dan jujur bukan tipe playboy perayu. Aku suka pemuda seperti itu, cuman
terkadang cuekmu sangat keterlaluan. Kamu sendiri kenapa mau?”, jawabnya yg
dilanjutkannya dengan pertanyaan.
“Mana bisa aku menolak dibawah ancaman cubitannya Mbak”,
jawabku bergurau.
“Uhh.. kamu nggak pernah bisa diajak serius”, keluhnya dengan
muka masam.
“Aku duarius Mbak, bukan serius lagi”, kataku ngotot yg hanya
dibalas dengan senyumannya.
“Mbak, pria yg duduk disana ada yg ngelihatin Mbak terus,
sepertinya naksir, mau kukenalkan Mbak”, kataku sambil menghabiskan roti
bakarku.
“Memangnya kamu sudah kenal, Joe?”, tanyanya.
“Nanti setelah Mbak kukenalkan, ganti Mbak kenalkan saya”,
jawabku sambil meneguk kopiku yg masih panas dengan hati-hati.
“Kamu jangan macam-macam, Joe!”, ancamnya padaku yg lagi
menikmati rokok.
“Tampangnya sih oke tapi pria seperti itu hanya mau menangnya
sendiri seperti bekas suamiku yg pertama”, sambungnya.
“Terus yg mengantar Mbak ke bus di Balikpapan, suami yg ke
berapa?”, tanyaku halus.
“Dia yg kedua, tapi aku juga cuma istri keduanya, istri
pertamanya ada di Jakarta dan mungkin tak tahu mengenai aku. Aku ke Banjarmasin
ini juga karena dia mau mengunjungi istri dan anaknya di Jakarta”, jawabnya
pelan.
“Kenapa Mbak mau dimadu?”, tanyaku tambah penasaran.
“Daripada hidup menjanda, jadi istri muda yg sering ditinggal
suami saja seperti ini saja sudah susah apalagi jadi janda kembang”, jawabnya
mengeluh.
“Eh Mbak, jangan besar kepala dulu, iya kalau kembang mawar
atau melati, kalau kembang kamboja yg seperti di makam-makam, bagaimana? Pasti
yg tertarik adalah golongan hantu-hantu, hehehe..”, gurauku merubah raut muka
sedihnya menjadi kemarahan.
“Iya, terus akan kusuruh hantu-hantu itu nyubitin seluruh
tubuhmu tak tersisa”, balasnya dengan senyum kemenangan. “Sudah Joe, ayo
kembali ke kamar!”, ajaknya.
Sesampai di kamar aku duduk termenung oleh pikiran pekerjaan
diatas ranjang Indah yg lebih dekat dengan pintu kamar dibanding ranjangku.
Sementara itu Indah melepas pakaiannya hingga tinggal ber-BH dan celana sambil
mengambil handuk kering dari tasnya.
“Melamun apa Joe”, tanya Indah.
Berusaha menyembunyikan pikiranku kujawab seadanya,
“Ah nggak melamun kok, cuma membayangkan rasanya dicubit
hantu seperti yg Mbak tadi bilang”.
“Pingin tahu rasanya?”, tanyanya dengan senyum menggoda dan
menuju ke arahku.
Duduk tepat didepan tangan Indah sudah mulai merapat dengan
tubuhku. Mengantisipasi cubitannya yg menyakitkan, kedua tangannya kutangkap
dengan cepat.
“Mbak, jangan nyubit lagi Mbak, ampun Mbak..”, katau meminta
belas kasihannya.
“Tdk Joe, yg ini pasti kamu suka, percaya deh..”, katanya
meyakinkan.
Meski masih ragu tapi pegangan tanganku sudah mengendor dan
tangan Indah telah mencapai bagian depan celanaku, usapan-usapannya yg halus diatas
permukaan celana terasa sampai permukaan kulit kemaluanku. Raguku benar-benar
hilang dan tangannya semakin bebas bergerak. Dengan mata terpejam kurasakan
usapan tangannya berubah menjadi remasan yg menghanyutkan dan membuat batang
kemaluanku semakin tegak mengeras hingga tampak sangat menonjol. Dengan serta
merta ditariknya celana pendek dan celana dalamku sekaligus disertai hembusan
nafas beratnya yg makin menggebu.
Indah membungkukkan badan dan mendekatkan bibirnya pada ujung
batang kemaluanku. Kubelalakkan mataku ketika merasakan bibirnya benar-benar
menyentuh ujung batang kemaluanku. Ciuman basah berimbuh kuluman yg
dilakukannya pada ujung batang kemaluanku membuatku mendesah, seksigo
“Ah.. Mbak.. Mbak..”. Dalam hitungan menit aku mengalami
shock kenikmatan.
Seusai kesadaranku berangsur pulih tanganku segera beraksi
dengan membuka BHnya dan mengusap-usap punggungnya. Dengan membungkukkan badan
kuraih kedua pantatnya yg masih dilindungi celana dalam, lalu kuremas dengan
kedua tanganku.
Merasa kerepotan membungkukkan badan, tubuhku kembali
kuluruskan. Kemudian tempurung lutut kananku dengan sengaja kugesekkan pada
selakangannya. Gesekkan tempurung lutut pada bagian depan celana dalamnya
ternyata sangat merangsangnya hingga melepas kuluman pada ujung batang
kemaluanku. Sibuk mengimbangi gesekkan tempurung lutut, Indah hanya memegang
erat batang kemaluanku. Karena tak sabar lagi menahan keinginan untuk menikmati
rangsangan yg lebih dari gesekkan tempurung kakiku pada daerah kemaluannya yg
masih dibalut celana dalam, ia menegakkan badannya kembali. Dalam posisi
berjongkok didepanku ia berusaha melepas celana dalamnya.
Ketika celana dalamnya yg berusaha dilepaskannya sampai pada
lutut, masih pada posisinya jongkok yg hampir tak berubah, aku segera membuat
gerakan menyelam kebawah selakangannya, membalikkan tubuhku dan mendongkak
keatas untuk menempelkan bibirku pada daerah kemaluannya. Kedua tanganku turut
andil dengan segera menarik kedua pinggulnya agar liang kenikmatannya dapat
segera kuterobos dengan juluran lidahku. Rupanya Indah punya pikiran yg sama
denganku.
Kedua kakinya mulai ditarik kebelakang, selakangannya
menindih mulutku, bibir dan lidahkupun makin berpolah diseluruh bagian
kemaluannya. Posisi Indah yg berada diatas tubuhku segera dimanfaatkannya untuk
kembali bermain dengan batang kemaluanku. Mengimbangi rangsangan yg kuberikan
pada daerah kemaluannya, Indah mengulum batang kemaluanku. Selama beberapa
menit kami berdua saling memberi dan menerima rangsangan dengan aksi 69 seperti
yg pernah kuingat dalam beberapa cerita temanku sebelumnya.
Indah menghentikan babak pemanasan dengan menarik tubuhnya,
berbaring terlentang sambil menarik tanganku memberi tanda untuk segera
menindihnya dan memasukkan batang kemaluanku pada liang kenikmatannya. Tapi kali
ini aku ingin bereksperimen. Kubaringkan badanku disebelah kirinya dan
kuhadapkan tubuhku kearahnya. Kaki kirinya kuangkat sedikit keatas dan
kuletakkan diata pinggulku sehingga batang kemaluanku yg telah mengeras dapat
masuk dengan posisi miring. Setelah agak nyaman, kuberi pinggulku dorongan
maju-mundur yg semakin cepat. Tangan kiriku yg bebas meremas kedua payudaranya
bergantian. Berbaring nyaman, tubuh Indah mulai bergoyang seirama dengan
gerakanku.
Seiring dengan goyangan tubuhnya, Indah mendesah-desah,
“Ssh.. ssh.. Joe, mmh..”. Kuperlambat gerakanku untuk
memperpanjang babak ini. Kudorong sisi kiri tubuh Indah sehingga membelakangiku
dan sama-sama menghadap kesamping kanan. Kurapatkan dadaku pada punggunya
hingga bergesek. Kudorong lebih dalam batang kemaluanku dalam liang
kenikmatannya, lalu kugerakkan pinggulku maju mundur. Kedua tanganku memegang
kedua payudaranya dari belakang badannya. Kucumbu tengkuk kirinya dan sesekali
kukulum telinga kirinya. Beberapa saat kemudian tubuh Indah bergetar seiring
dengan klimkaksnya. Getaran klimaksnya seakan menghanyutkan pertahananku hingga
akhirnya puncak ledakanku tak dapat kutahan lagi.
Kepuasan yg kuperoleh mengantarkanku pada dunia mimpi.
Tertidur pulas selama beberapa jam akhirnya aku terbangun oleh suara ketukan
pintu. Setelah kukenakan celana pendek kubuka pintu, ternyata yg ada
dihadapanku adalah Indah yg telah kembali balik kekamar setelah keluar entah
kemana dan berapa lama.
“Ya ampun Joe, kamu baru bangun!”, teriak Indah.
“Hmm.. emangnya kenapa Mbak?”, tanyaku
“Sudah jam berapa ini? Hampir jam 3 sore tahu!”, tanyanya yg
kemudian dijawabnya sendiri dengan menunjuk jam tangannya.
Tanpa komentar sedikitpun aku meninggalkannya menuju kamar
mandi sambil membawa pakaian ganti yg telah kuambil dari dalam tasku. Seusai
mandi dan mengenakan pakaian aku keluar dari kamar mandi. Kulihat Indah duduk
didepan meja dan mengeluarkan bungkusan yg berisi beberapa roti basah diatas
meja.
“Kamu sudah makan Joe? pasti belum, kalau tidur kamu kok kuat
sekali!”, omelnya.
“Mbak, boleh minta rotinya!”, kataku dengan halus.
“Makan aja, kalau tahu kamu baru bangun sudah kubelikan makan
tadi”, katanya.
Setelah melahap 3 potong roti, aku bertanya padanya,
“Dari mana saja Mbak kok dapat roti enak?”
“Tadi aku silaturahmi ke tempat saudara-saudara dan pulangnya
dibawain ini”, jawabnya.
“Oh ya Joe, karena besok kamu sudah mulai bekerja, nanti
malam aku akan menginap di Banjar Baru agar tdk mengganggumu. Sekalian saja aku
pamitan padamu jika dalam beberapa hari kedepan kita tak bisa ketemu lagi. Ini
notanya kamar sudah aku bayar sampai malam ini, jadi besok kalau kamu keluar
dari sini jangan kamu bayar lagi tapi kalau melanjutkan silakan bayar sendiri
ya. Terima kasih banyak ya mau menemanin aku.”, kata Indah dan mencium pipiku.
Terkejut oleh ucapannya yg panjang dan mengagetkan aku hanya
mengucapkan “Terima kasih banyak, Mbak”.
Kemudian Indah meninggalkan penginapan sementara aku hanya
dapat termenung.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah rasa kesepian menyelinap masuk
dalam hatiku padahal sejak lama aku terbiasa bepergian jauh seorang diri bahkan
dengan jangka waktu yg lebih lama dari ini, tapi kali ini beda. Rasanya ada sesuatu
yg hilang, tapi entah apa itu.
No comments:
Post a Comment