Aku pulang kampung dari majikanku di kota, kurang lebih 7 bulan
aku menganggur di desa, dan aku hanya bisa membantu ibuku masak dan pergi ke
lading, aku juga disuruh untuk segera menikah , tapi pemuda pemuda yang ada di
desaku gak menarik hati, kalau terpaksa menikah dengan pemuda yang ada di
desaku, sama saja tak jauh beda dengan ibuku nasibku.
Maka aku segera cari lowongan kerja di koran. Namun dengan
ijazahku yang hanya SLTP lowongan yang sesuai hanya prt (pembantu rumah
tangga). Setelah pamit dan berbekal tekad menggebu akupun menuju ke alamat
salah satu pemasang iklan yang tinggalnya di kota terdekat dengan desaku.
Rumah itu besar. Kupijit bel di gerbang dan keluarlah wanita
40 tahunan. Yang membuatku agak terkejut, ternyata ia berwajah seperti bintang
film india yang sering kulihat di teve. Ada tanda titik di dahinya.
"Benar di sini cari PRT, bu?" tanyaku.
"Benar, dik."
"Saya mau melamar, bu," sambungku. Ia mengamatiku
sebentar.
"Mari masuk dulu, dik," ajaknya.
"Namamu siapa? Kamu dari mana?" tanyanya. Akupun
menjelaskan diriku apa adanya, kecuali tentu saja pengalamanku dua tahun
menjadi prt Pak S.
"Baik, kamu saya terima, Nul. Dengan gaji 300 ribu
sebulan, tapi kamu harus menjalani masa percobaan sebulan. Kalau tidak ada
masalah akan saya pakai terus. Bagaimana?" katanya. Akupun langsung
mengangguk, soalnya gaji 300 ribu buat seorang prt sangat tinggi menurutku.
Dulu dengan Pak S pun aku hanya digaji 200 ribu, tentu saja
di luar "tips (baik berupa uang maupun barang)" yang kuterima karena
pelayanan seksku.
Kamarku di bagian belakang. Setelah istirahat sejenak, akupun
mulai membantu pekerjaan ibu tadi yang namanya ternyata Zahra, seorang
keturunan India. Menurutnya ia tinggal di situ bersama suami dan 2 anak
laki-lakinya yang buka toko konveksi.
Seminggu bekerja di situ, aku mulai mengenal anggota
keluarganya. Suami Bu Zahra bernama Pak Ropik, dan dua anaknya laki-laki Ardha
dan Kumar. Kalau melihat mereka sekilas aku jadi ingat artis Syahrukh Khan.
Ganteng dengan tubuh tinggi tegap atletis dengan bulu-bulu di
dadanya. Orang India memang terkenal cantik dan ganteng. Akupun semakin suka
pada keluarga itu karena mereka ternyata ramah. Bahkan tak jarang aku diajaknya
makan malam bersama semeja.
"Minumlah ini madu India, supaya kamu gak gampang
cape," ajak Bu Zahra pada suatu acara makan malam bersama sambil memberiku
segelas minuman berwarna kuning emas. Aku ragu-ragu menerimanya. Sementara
anggota keluarga lain sudah mengambil segelas masing-masing.
"Ini memang minuman simpanan kami, Nul. Tidak boleh
terlalu sering diminum, malah tidak baik. Dua minggu sekali cukuplah soalnya
pengaruhnya luar biasa.. ha.. ha.. ha..!" Sahut Pak Ropik disambut tawa
Ardha dan Kumar.
"Kamu akan rasakan khasiatnya nanti malam, Nul,"
sambung Ardha tanpa kuketahui maksudnya. Lagi-lagi disambut tawa mereka sambil
masing-masing mulai minum, kecuali Bu Zahra. Akupun pelan-pelan mencicipnya.
Ada rasa manis dan masamnya. Memang seperti madu, tapi
setelah minum beberapa teguk aku juga merasakan badanku hangat malah agak
panas. Semua menghabiskan minumannya, maka akupun juga berbuat demikian. Baru
setelah itu kami makan malam.
"Tidurlah kalau kau cape, Nul," perintah Bu Zahra
setelah kami selesai cuci piring jam 8 malam. Tidak biasanya aku tidur sepagi
itu, tapi entah kenapa aku merasa mataku berat dan perutku panas. Aku masuk
kamar dan rebahkan diri.
Tapi rasa panas di perutku ternyata malah menjadi-jadi dan
menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tak tahan untuk tidak meremas payudaraku
mengurangi rasa panas itu. Kemudian juga meremas-remas seluruh tubuh sampai
seputar bawah pusar dan pahaku. Ingatanku segera melayang pada remasan-remasan
Pak S.
Sudah cukup lama aku tak bersetubuh dengan laki-laki itu,
apakah sekarang ini tubuhku sedang menuntut? Gawat, pikirku, kalau benar itu
terjadi. Selama ini aku hanya melakukan hubungan seks aman dengan Pak S. Belum
pernah dengan pria lain. Belum habis pikiranku berkecamuk mendadak pintu
kamarku terbuka dan masuklah Pak Ropik. Buru-buru aku menghentikan kegiatan
tanganku.
"Kamu kelihatan sakit, Nul?" tanyanya sambil duduk
di tepi ranjangku.
"Eng.. eng.. tidak, pak," sahutku pelan. Tapi Pak
Ropik segera tempelkan telapak tangan di dahiku.
"Benar, Nul, tubuhmu panas sekali. Kamu harus segera
diobati. Cepat telungkup, biar kupijat sebentar untuk menurunkan panasmu.
Jelek-jelek begini aku pintar mijat lo.." perintahnya.
Dan, mungkin karena aku merasa perlakuannya seperti ortu pada anaknya maka aku
menurut. Aku tengkurap dan sebentar kemudian kurasakan pantatku dinaikinya dan
punggungku mulai dipijat-pijatnya.
Tidak sebatas punggung, tapi tangannya juga ke arah pundak,
leher, pinggang malah bergeser-geser ke kiri-kanan hingga kadang menyenggol
sisi luar payudaraku. Aku diam saja, namun setelah aku merasa pantatku juga
ditekan-tekan oleh pantatnya, mulailah aku tak tenang.
Pengalaman seksku dengan Pak S membuatku dapat merasakan
manakala pria sedang naik nafsu syahwatnya. Demikian pula Pak Ropik saat itu.
Pijatannya tambah berani. Dia mulai meremasi tetekku dan pantatnya menekanku
keras-keras. Aku berontak namun tak berdaya.
"Pak! Jangan, pak!" seruku sambil berupaya
menyingkirkan tubuhnya. Tapi mana mampu aku melawan tubuh besar kekar itu.
Selain itu entah kenapa aku malah mulai ikut terangsang. Di antara perlakukan
Pak Ropik sekilas-sekilas aku juga ingat perlakukan seks Pak S padaku. Uugghh..
aakk.. aakkuu.. malah jadi terangsang.
Aku tak berontak lagi ketika dasterku ditariknya ke atas
hingga tinggal beha dan CDku. Aku ditelentangkannya dengan posisi dia tetap
mengangkangiku. Dibukanya t-shirt yang dipakainya juga piyama tidurnya.
Dan.. gila aku melihat tonjolan besar di balik CD nya dan
sejurus kemudian nampaklah si tongkat penggadanya yang panjang besar sekitar 20
cm dengan diameter 4 cm! Behaku direnggutnya kasar demikian pula CDku. Tubuhku
tak melakukan perlawanan apapun ketika ia menggumuliku habis-habisan.
Dan.. bless langsung aku disodok dan digenjotnya. Aku ingat
pengalamanku dengan Pak S. Ingat bagaimana dia memerawaniku. Persis sama
perlakuannya dengan Pak Ropik. Aku tak habis pikir sewaktu pahaku malah menjepit
paha Pak Ropik dan.. menyambut gejokannya dengan putaran pinggulku. Syahwatku
ikut terbakar!
Entah berapa lama Pak Ropik terus menggenjotku keluar masuk
naik turun sambil mulutnya mengenyut-ngenyut tetekku. Aku hanya bisa
menggeleng-geleng kenikmatan dan kelojotan merasai badai hempasannya sampai aku
tak tahan lagi untuk menahan orgasme. Aku merinding lalu.. Cruut.. suur..
suur.. tubuhku berkejat-kejat menumpahkan mani.
Pak Ropik menggasakku lebih keras, tak peduli cairanku
memperlicin jalannya. Mungkin hampir tak terasa karena besar dan panjangnya
tetap mampu memenuhi liang V-ku. Sleebb slebb jlebb jleebb.. bunyi
tusukan-tusukannya.
Mungkin sekitar 30 menit telah berlalu ketika aku orgasme yg
kedua kali.. seerr.. seerr.. serr.. klenyer.. kembali aku terkejat-kejat sampai
belasan kali. Sejurus kemudian hentakan Pak Ropik sedemikian keras menekanku.
Dalam-dalam gadanya dibenamkan di V-ku lalu pantatnya berkejut-kejut sampai
belasan detik. Lalu diam terbenam. Dia ejakulasi. Nafas kami tersengal-sengal.
"Kamu hebat, Nul," bisiknya sambil mencium bibirku,
"Nanti lagi, ya," katanya tak kumengerti. Ia bangkit, mengenakan
pakaiannya lalu keluar membiarkanku telentang telanjang di ranjang. Belum habis
capeku digenjot Pak Ropik, masuklah Ardha ke kamarku.
"Permainanmu hebat banget, Nul. Aku juga mau
dong.." katanya sambil mulai melepasi pakaiannya sampai bugil. Aku segera
menutup tubuhku dengan selimut, tapi tak berguna karena sesaat kemudian ia
sudah menarik selimutku juga tubuhku ke pelukannya.
"Jangan, Mas Ardha," protesku tak berdaya.
"Tak apa, Nul. Papa bilang kamu sudah tak perawan lagi
kan? He he he.."
"Jangan, mas.." tapi suaraku hilang ditelan
bibirnya yang melumat ganas bibirku. Tangannya liar merayapiku sambil
mendorongku kembali terjelepak di ranjang. Ciumannya menjalar menjulur dari
bibir semakin turun.
Ke tetekku, putingku, perut, pusar, pubis sampai akhirnya
sampai di V-ku. Menelusup lincah memasuki gua garbaku. Mengobok-obok dalamnya.
Aku kembali teringat permainan Pak S. Namun yang ini lebih gila lagi.
Syahwatku jadi menggelegak mengikuti irama lidah Ardha. Dia
memutar tubuh sampai kami 69, mengangsurkan zakarnya ke mulutku. Gila! Lebih
panjang dan besar dibanding bapaknya. Tanganku tak mampu menggenggamnya dan
mulutku tak mampu menampung seluruhnya. Paling hanya separuh yang masuk.
Maka perlombaan menjilat dan menghisap pun dimulai. Kami
saling memuasi. Rasanya sampai berjam-jam waktu aku merasa harus menumpahkan
maniku dan dijilatinya sampai tandas tuntas. Sementara milik Ardha masih tegar
tegang meski licin oleh ludahku.
Kemudian ia memutar tubuhnya lagi dan menusukkan pentungannya
ke memekku yang sudah agak kering. Preett.. "Iiih sakit, mas..,"
desisku menggigit bibir dan memeluk punggungnya karena terasa batangnya masuk
begitu dalam sampai aku kesakitan.
"Sabar, Nul. Sebentar lagi juga nikmat," bisiknya.
Kupeluk punggungnya erat-erat ketika tubuhku terangkat karena sodokannya.
Shlleeb shleeb shleebb.. batang besar itu menumbukku bagaikan alu menumbuk
lesung.
Keluar masuk, naik turun, sampai cairan nikmatku mengalir
lagi sehingga rasa sakit pun berkurang. Dan kenikmatanku bertambah manakala
bulu dadanya menggesek-gesek putingku. Pahaku semakin menganga lebar. Mataku
terpejam-pejam menikmati remasan dan belaian tangan kekarnya di sekujur tubuh.
"Akh.. akhu mau keluar, Nul.." Lalu jreet.. jreet..
jroot.. jrot.. jrut.. pantatnya menyentak-nyentak. Tubuhnya kaku menegang
ketika spermanya menyemprot rahimku sampai basah kuyup. Semprotannya kuat
sekali.
"Akk.. aku bisa hamil, mas," desisku puas karena
aku juga orgasme lagi.
"Jangan kuatir, Nul, kami punya obat pencegah
hamil," jawabnya sambil menggulirkan tubuhnya ke sisi. Dan.. belum Ardha
turun dari ranjang, si Kumar sudah ganti menaikiku. Tubuhnya sama atletis
dengan Ardha. Tapi gayanya lebih liar.
Begitu Ardha keluar kamar, akupun diangkatnya supaya
menduduki batangnya lalu disuruh menungganginya kencang-kencang. Tangannya ikut
memegangi pinggangku dan melontarkanku naik turun. Zakarnya juga menyodok ke
atas setiap pantatku turun.
Gila! Tubuhku seperti mainan. Tangannya berpindah ke tetekku
dan meremasinya sampai aku mendesis-desis, antara sakit dan nikmat. Hancur
rasanya memekku digempur bapak dan dua anaknya yang batangnya berukuran luar
biasa. Dan.. aku kembali orgasme justru saat tubuhku dilontar ke atas, sehingga
punggungku agak meliuk ke bawah merasakan tersalurnya syahwatku untuk kesekian
kali.
"Sudah, mas, cukup.." pintaku karena kelelahan.
Namun Kumar tak menggubris.
"Aku belum cukup, Nul. Kau harus bisa mengeluarkan
spermaku baru aku puas.." Dan lemparannya masih terus berlangsung hingga
setengah jam lagi. Sampai akhirnya dia berhenti lalu tangannya menekan
pinggangku lekat-lekat ke zakarnya, kemudian terasa pantatnya melonjak-lonjak
menyemburkan cairan hangat. Lagi-lagi rahimku disemprot sperma hasil ejakulasi.
Tak terasa sperma bapak dan dua anaknya memenuhi lubang memekku.
Pintu kamarku terbuka dan masuklah Pak Ropik dan Ardha sambil
membawa segelas minuman. Keduanya telanjang.
"Minumlah ini, Nul, biar kamu nggak hamil," Pak
Ropik menyerahkan gelasnya padaku. Akupun meminumnya tanpa pikir panjang,
karena aku benar-benar takut hamil dan haus sekali setelah melayani tiga
majikan ini berjam-jam.
Rasanya seperti minuman kuning yang tadi kuminum. Badanku
jadi hangat lagi dan.. gairahku bangkit lagi. Aku jadi sadar pasti minuman ini
dibubuhi obat perangsang. Tapi kesadaranku segera hilang ketika merasa tubuhku
ditunggingkan oleh Ardha. Kemudian..
Ya, malam itu secara brutal ketiga orang itu mengerjaiku
semalam suntuk tanpa istirahat sejenakpun. Mereka bergantian menyemprotkan
sperma di rahimku, di perut, wajah, mulut sampai telinga dan rambutku juga. Aku
mandi sperma.
Dan entah berapa kali akupun mengalami orgasme yang selalu
mereka telan bergantian. Tak jarang ketiga lubangku mereka masuki bersama-sama.
Lubang mulut, memek dan anusku. Tubuhku jadi ajang pesta mereka hampir 10 jam
lamanya, toh selama itu aku tak merasa capai. Mungkin gara-gara minuman
berkhasiat itu?
Pagi hari Bu Zahra datang dan menyeka tubuhku yang lemas
lunglai tak mampu bangun.
"Maaf, Nul. Aku sudah tak mampu melayani suamiku yang
hiperseks sehingga aku mencari orang pengganti," ceritanya. Mataku masih
terkantuk-kantuk karena pengaruh obat perangsang. "Moga-moga kamu betah
disini, dan kami akan bayar berapapun yang kamu minta.." lanjutnya.
"Aa.. apa sudah pernah ada pembantu yang dibeginikan,
bu?" tanyaku lirih.
"Sudah, Nul. Tapi kebanyakan hanya bertahan dua hari..
lalu minta pulang. Aku harap kamu kuat, YNul. Aku akan sediakan obat-obatan
untukmu.. Ini minumlah obat untuk menguatkan dan membersihkan rahimmu,"
dia mengangsurkan sebotol obat yang namanya tak kumengerti karena berbahasa
asing. "Hari ini kamu boleh istirahat seharian," lalu dia keluar
kamar.
Aku pun tertidur lelap. Baru siang hari bangun untuk mandi
dan makan. Bu Zahra melayaniku seperti anaknya sendiri.
Kami tak banyak berbicara. Selesai makan aku kembali ke
kamar. Membersihkan ranjang, mengganti sepreinya yang penuh bercak sperma dan
mani. Lalu aku tidur lagi. Sampai jam makan malam tiba dan aku diundang untuk
makan bersama lagi, dan minum cairan kuning emas itu lagi. Dan..
"Nul, kamu sudah kuat untuk melayani kami lagi nanti
malam kan?" Tanya Pak Ropik sambil senyum kepadaku. Aku bingung dan memilih
diam.
"Kamu jangan kuatir hamil, Nul. Obat kami sangat
mujarab," lanjut Ardha.
"Pokoknya selama di sini, kita mencari kenikmatan
bersama Nul," sambung Kumar sambil menyeringai nakal.
Jadilah, akhirnya hampir setiap malam sampai pagi aku
melayani ketiga ayah beranak yang gila seks itu. Untung staminaku, dibantu
obat-obatan pemberian Bu Zahra, cukup kuat untuk menanggung kenikmatan demi
kenikmatan itu.
Hingga dua bulan lamanya aku "dikontrak" mereka,
sampai akhirnya mereka mulai bosan dan ingin mencari wanita lain. Aku diberi
banyak uang ketika meninggalkan rumah mereka.
No comments:
Post a Comment