Aku anak tunggal dari keluarga broken home dimana ayah dan
ibuku berpisah saat aku menginjak masuk ke perkuliahan, ayah dan ibuku sering
bertengkar merasa sudah tidak ada kecocokan, keluargaku hidup dalam bercukupan
diman ayahku bekerja sebgai pejabat di apatermen yang selalu member nafkah aku
dan ibuku.
Dari segi materi, memang aku tidak memiliki masalah, begitu
pula dari segi fisikku. Kuakui, wajahku terbilang cantik, mata indah, hidung
bangir, serta dada yang membusung walau tidak terlalu besar ukurannya.
Semua itu ditambah dengan tubuhku yang tinggi semampai,
sedikit lebih tinggi dari rata-rata gadis seusiaku, memang membuatku lebih
menonjol dibandingkan yang lain. Bahkan aku menjadi mahasiswi baru primadona di
kampus.
Akan tetapi karena pengawasan orang tuaku yang ketat, di
samping pendidikan agamaku yang cukup kuat, aku menjadi seperti anak mama.
Tidak seperti remaja-remaja pada umumnya, aku tidak pernah pergi keluyuran ke
luar rumah tanpa ditemani ayah atau ibu.
Namun setelah perceraian itu terjadi, dan aku ikut ibuku yang
menikah lagi dua bulan kemudian dengan duda berputra satu, seorang pengusaha
restoran yang cukup sukses, aku mulai berani pergi keluar rumah tanpa
didampingi salah satu dari orang tuaku. Itupun masih jarang sekali. Bahkan ke
diskotik pun aku hanya pernah satu kali.
Itu juga setelah dibujuk rayu oleh seorang laki-laki teman
kuliahku. Setelah itu aku kapok. Mungkin karena baru pertama kali ini aku pergi
ke diskotik, baru saja duduk sepuluh menit, aku sudah merasakan pusing, tidak
tahan dengan suara musik disko yang bising berdentam-dentam, ditambah dengan
bau asap rokok yang memenuhi ruangan diskotik tersebut.
“Don, kepala gue pusing. Kita pulang aja yuk.”
“Alaa, Mer. Kita kan baru sampai di sini. Masa belum apa-apa
udah mau pulang. Rugi kan. Lagian kan masih sore.”
“Tapi gue udah tidak tahan lagi.”
“Gini deh, Mer. Gue kasih elu obat penghilang pusing.”
Temanku itu memberikanku tablet yang berwarna putih. Aku pun
langsung menelan obat sakit kepala yang diberikannya.
“Gimana sekarang rasanya? Enak kan?”
Aku mengangguk. Memang rasanya kepalaku sudah mulai tidak
sakit lagi. Tapi sekonyong-konyong mataku berkunang-kunang. Semacam aliran aneh
menjalari sekujur tubuhku. Antara sadar dan tidak sadar, kulihat temanku itu
tersenyum.
Kurasakan ia memapahku keluar diskotik. “Ini cewek lagi
mabuk”, katanya kepada petugas keamanan diskotik yang menanyainya. Lalu ia
menjalankan mobilnya ke sebuah motel yang tidak begitu jauh dari tempat itu.
Setiba di motel, temanku memapahku yang terhuyung-huyung
masuk ke dalam sebuah kamar. Ia membaringkan tubuhku yang tampak
menggeliat-geliat di atas ranjang. Kemudian ia menindih tubuhku yang tergeletak
tak berdaya di kasur.
Temanku dengan gemas mencium bibirku yang merekah mengundang.
Kedua belah buah dadaku yang ranum dan kenyal merapat pada dadanya. Darah
kelaki-lakiannya dengan cepat semakin tergugah untuk menggagahiku. “Ouuhhh…
Don!” desahku.
Temanku meraih tubuhku yang ramping. Ia segera mendekapku dan
mengulum bibirku yang ranum. Lalu diciuminya bagian telinga dan leherku. Aku
mulai menggerinjal-gerinjal. Sementara itu tangannya mulai membuka satu persatu
kancing blus yang kupakai.
Kemudian dengan sekali sentakan kasar, ia menarik lepas tali
BH-ku, sehingga tubuh bagian atasku terbuka lebar, siap untuk dijelajahi.
Tangannya mulai meraba-raba buah dadaku yang berukuran cukup
besar itu. Terasa suatu kenikmatan tersendiri pada syarafku ketika buah dadaku
dipermainkan olehnya. “Don… Ouuhhh… Ouuhhh…” rintihku saat tangan temanku
sedang asyik menjamah buah dadaku.
Tak lama kemudian tangannya setelah puas berpetualang di buah
dadaku sebelah kiri, kini berpindah ke buah dadaku yang satu lagi, sedangkan
lidahnya masih menggumuli lidahku dalam ciuman-ciumannya yang penuh desakan
nafsu yang semakin menjadi-jadi. Lalu ia menanggalkan celana panjangku.
Tampaklah pahaku yang putih dan mulus itu. Matanya terbelalak
melihatnya. Temanku itu mulai menyelusupkan tangannya ke balik celana dalamku
yang berwarna kuning muda. Dia mulai meremas-remas kedua belah gumpalan
pantatku yang memang montok itu.
“Ouh… Ouuh… Jangan, Don! Jangan! Ouuhhh…” jeritku ketika
jari-jemari temanku mulai menyentuh bibir kewanitaanku. Namun jeritanku itu tak
diindahkannya, sebaliknya ia menjadi semakin bergairah. Ibu jarinya
mengurut-urut klitorisku dari atas ke bawah berulang-ulang. Aku semakin
menggerinjal-gerinjal dan berulang kali menjerit.
Kepala temanku turun ke arah dadaku. Ia menciumi belahan buah
dadaku yang laksana lembah di antara dua buah gunung yang menjulang tinggi. Aku
yang seperti tersihir, semakin menggerinjal-gerinjal dan merintih tatkala ia
menciumi ujung buah dadaku yang kemerahan.
Tiba-tiba aku seperti terkejut ketika lidahnya mulai
menjilati ujung puting susuku yang tidak terlalu tinggi tapi mulai mengeras dan
tampak menggiurkan. Seperti mendapat kekuatanku kembali, segera kutampar
wajahnya. Temanku itu yang kaget terlempar ke lantai.
Aku segera mengenakan pakaianku kembali dan berlari ke luar
kamar. Ia hanya terpana memandangiku. Sejak saat itu aku bersumpah tidak akan
pernah mau ke tempat-tempat seperti itu lagi.
Sudah dua tahun berlalu aku dan ibuku hidup bersama dengan
ayah dan adik tiriku, Rio, yang umurnya tiga tahun lebih muda dariku. Kehidupan
kami berjalan normal seperti layaknya keluarga bahagia.
Aku pun yang saat itu sudah di semester enam kuliahku,
diterima bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta nasional papan atas.
Meskipun aku belum selesai kuliah, namun berkat penampilanku yang menarik dan
keramah-tamahanku, aku bisa diterima di situ, sehingga aku pun berhak
mengenakan pakaian seragam baju atas berwarna putih agak krem, dengan blazer
merah yang sewarna dengan rokku yang ujungnya sedikit di atas lutut.
Sampai suatu saat, tiba-tiba ibuku terkena serangan jantung.
Setelah diopname selama dua hari, ibuku wafat meninggalkan aku. Rasanya seperti
langit runtuh menimpaku saat itu. Sejak itu, aku hanya tinggal bertiga dengan
ayah tiriku dan Rio.
Sepeninggal ibuku, sikap Rio dan ayahnya mulai berubah.
Mereka berdua beberapa kali mulai bersikap kurang ajar terhadapku, terutama
Rio. Bahkan suatu hari saat aku ketiduran di sofa karena kecapaian bekerja di
kantor, tanpa kusadari ia memasukkan tangannya ke dalam rok yang kupakai dan
meraba paha dan selangkanganku.
Ketika aku terjaga dan memarahinya, Rio malah mengancamku.
Kemudian ia bahkan melepaskan celana dalamku. Tetapi untung saja, setelah itu
ia tidak berbuat lebih jauh. Ia hanya memandangi kewanitaanku yang belum banyak
ditumbuhi bulu sambil menelan air liurnya.
Lalu ia pergi begitu saja meninggalkanku yang langsung saja
merapikan pakaianku kembali. Selain itu, Rio sering kutangkap basah mengintip
tubuhku yang bugil sedang mandi melalui lubang angin kamar mandi. Aku masih
berlapang dada menerima segala perlakuan itu. Pada saat itu aku baru saja
pulang kerja dari kantor.
Ah, rasanya hari ini lelah sekali. Tadi di kantor seharian
aku sibuk melayani nasabah-nasabah bank tempatku bekerja yang menarik uang
secara besar-besaran. Entah karena apa, hari ini bank tempatku bekerja terkena
rush.
Ingin rasanya aku langsung mandi. Tetapi kulihat pintu kamar
mandi tertutup dan sedang ada orang yang mandi di dalamnya. Kubatalkan niatku
untuk mandi. Kupikir sambil menunggu kamar mandi kosong, lebih baik aku
berbaring dulu melepaskan penat di kamar. Akhirnya setelah melepas sepatu dan
menanggalkan blazer yang kukenakan, aku pun langsung membaringkan tubuhku
tengkurap di atas kasur di kamar tidurnya.
Ah, terasa nikmatnya tidur di kasur yang demikian empuknya.
Tak terasa, karena rasa kantuk yang tak tertahankan lagi, aku pun tertidur
tanpa sempat berubah posisi.
Aku tak menyadari ada seseorang membuka pintu kamarku dengan
perlahan-lahan, hampir tak menimbulkan suara. Orang itu lalu dengan
mengendap-endap menghampiriku yang masih terlelap. Kemudian ia naik ke atas
tempat tidur.
Tiba-tiba ia menindih tubuhku yang masih tengkurap, sementara
tangannya meremas-remas belahan pantatku. Aku seketika itu juga bangun dan
meronta-ronta sekuat tenaga. Namun orang itu lebih kuat, ia melepaskan rok yang
kukenakan. Kemudian dengan secepat kilat, ia menyelipkan tangannya ke dalam
celana dalamku.
Dengan ganasnya, ia meremas-remas gumpalan pantatku yang
montok. Aku semakin memberontak sewaktu tangan orang itu mulai mempermainkan
bibir kewanitaanku dengan ahlinya. Sekali-sekali aku mendelik-delik saat jari
telunjuknya dengan sengaja berulang kali menyentil-nyentil klitorisku.
“Aahh! Jangaann! Aaahh…!” aku berteriak-teriak keras ketika
orang itu menyodokkan jari telunjuk dan jari tengahnya sekaligus ke dalam
kewanitaanku yang masih sempit itu, setelah celana dalamku ditanggalkannya.
Akan tetapi ia mengacuhkanku. Tanpa mempedulikan aku yang
terus meronta-ronta sambil menjerit-jerit kesakitan, jari-jarinya terus-menerus
merambahi lubang kenikmatanku itu, semakin lama semakin tinggi intensitasnya.
Aku bersyukur dalam hati waktu orang itu menghentikan
perbuatan gilanya. Akan tetapi tampaknya itu tidak bertahan lama. Dengan
hentakan kasar, orang itu membalikkan tubuhku sehingga tertelentang
menghadapnya. Aku terperanjat sekali mengetahui siapa orang itu sebenarnya.
“Rio… Kamu…” Rio hanya menyeringai buas.
“Eh, Mer. Sekarang elu boleh berteriak-teriak sepuasnya,
tidak ada lagi orang yang bakalan menolong elu. Apalagi si nenek tua itu sudah
mampus!”
Astaga Rio menyebut ibuku, ibu tirinya sendiri, sebagai nenek
tua. Keparat.
“Rio! Jangan, Rio! Jangan lakukan ini! Gue kan kakak elu
sendiri! Jangan!”
“Kakak? Denger, Mer. Gue tidak pernah nganggap elu kakak gue.
Siapa suruh elu jadi kakak gue. Yang gue tau cuma papa gue kimpoi sama nenek
tua, mama elu!”
“Rio!”
“Elu kan cewek, Mer. Papa udah ngebiayain elu hidup dan
kuliah. Kan tidak ada salahnya gue sebagai anaknya ngewakilin dia untuk meminta
imbalan dari elu. Bales budi dong!”
“Iya, Rio. Tapi bukan begini caranya!”
“Heh, yang gue butuhin cuman tubuh molek elu, tidak mau yang
lain. Gue tidak mau tau, elu mau kasih apa tidak!”
“Errgh…”
Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mulut Rio secepat kilat
memagut mulutku. Dengan memaksa ia melumat bibirku yang merekah itu, membuatku
hampir tidak bisa bernafas. Aku mencoba meronta-ronta melepaskan diri.
Tapi cekalan tangan Rio jauh lebih kuat, membuatku tak
berdaya. “Akh!” Rio kesakitan sewaktu kugigit lidahnya dengan cukup keras.
Tapi, “Plak!” Ia menampar pipiku dengan keras, membuat mataku berkunang-kunang.
Kugeleng-gelengkan kepalaku yang terasa seperti berputar-putar.
Tanpa mau membuang-buang waktu lagi, Rio mengeluarkan
beberapa utas tali sepatu dari dalam saku celananya. Kemudian ia membentangkan
kedua tanganku, dan mengikatnya masing-masing di ujung kiri dan kanan tempat
tidur.
Demikian juga kedua kakiku, tak luput diikatnya, sehingga
tubuhku menjadi terpentang tak berdaya diikat di keempat arah. Oleh karena
kencangnya ikatannya itu, tubuhku tertarik cukup kencang, membuat dadaku tambah
tegak membusung. Melihat pemandangan yang indah ini membuat mata Rio tambah
menyalang-nyalang bernafsu.
Tangan Rio mencengkeram kerah blus yang kukenakan. Satu
persatu dibukanya kancing penutup blusku. Setelah kancing-kancing blusku
terbuka semua, ditariknya blusku itu ke atas. Kemudian dengan sekali sentakan,
ditariknya lepas tali pengikat BH-ku, sehingga buah dadaku yang membusung itu
terhampar bebas di depannya.
“Wow! Elu punya toket bagus gini kok tidak bilang-bilang,
Mer! Auum!” Rio langsung melahap buah dadaku yang ranum itu.
Gelitikan-gelitikan lidahnya pada ujung puting susuku membuatku
menggerinjal-gerinjal kegelian.
Tapi aku tidak mampu berbuat apa-apa. Semakin keras aku
meronta-ronta tampaknya ikatan tanganku semakin kencang. Sakit sekali rasanya
tanganku ini. Jadi aku hanya membiarkan buah dada dan puting susuku dilumat Rio
sebebas yang ia suka. Aku hanya bisa menengadahkan kepalaku menghadap
langit-langit, memikirkan nasibku yang sial ini.
“Aaarrghh… Rio! Jangaannn..!” Lamunanku buyar ketika terasa
sakit di selangkanganku. Ternyata Rio mulai menghujamkan kemaluannya ke dalam
kewanitaanku. Tambah lama bertambah cepat, membuat tubuhku tersentak-sentak ke
atas.
Melihat aku yang sudah tergeletak pasrah, memberikan
rangsangan yang lebih hebat lagi pada Rio. Dengan sekuat tenaga ia menambah
dorongan kemaluannya masuk-keluar dalam kewanitaanku. Membuatku meronta-ronta
tak karuan.
“Urrgh…” Akhirnya Rio sudah tidak dapat menahan lagi gejolak
nafsu di dalam tubuhnya. Kemaluannya menyemprotkan cairan-cairan putih kental
di dalam kewanitaanku. Sebagian berceceran di atas sprei sewaktu ia
mengeluarkan kemaluannya, bercampur dengan darah yang mengalir dari dalam
kewanitaanku, menandakan selaput daraku sudah robek olehnya.
Karena kelelahan, tubuh Rio langsung tergolek di samping
tubuhku yang bermandikan keringat dengan nafas terengah-engah.
“Braak!” Aku dan Rio terkejut mendengar pintu kamar terbuka
ditendang cukup keras. Lega hatiku melihat siapa yang melakukannya.
“Papa!”
“Rio! Apa-apa sih kamu ini?! Cepat kamu bebaskan Merry!”
Ah, akhirnya neraka jahanam ini berakhir juga, pikirku. Rio
mematuhi perintah ayahnya. Segera dibukanya seluruh ikatan di tangan dan
kakiku. Aku bangkit dan segera berlari menghambur ke arah ayah tiriku.
“Sudahlah, Mer. Maafin Rio ya. Itu kan sudah terjadi”, kata
ayah tiriku menenangkan aku yang terus menangis dalam dekapannya.
“Tapi, Pa. Gimana nasib Meriska? Gimana, Pa? Aaahh… Papaa!”
tangisanku berubah menjadi jeritan seketika itu juga tatkala ayah tiriku
mengangkat tubuhku sedikit ke atas kemudian ia menghujamkan kemaluannya yang
sudah dikeluarkannya dari dalam celananya ke dalam kewanitaanku.
“Aaahh… Papaa… Jangaaan!” Aku meronta-ronta keras. Namun
dekapan ayah tiriku yang begitu kencang membuat rontaanku itu tidak berarti
apa-apa bagi dirinya. Ayah tiriku semakin ganas menyodok-nyodokkan kemaluannya
ke dalam kewanitaanku. Ah! Ayah dan anak sama saja, pikirku, begitu teganya
mereka menyetubuhi anak dan kakak tiri mereka sendiri.
Aku menjerit panjang kesakitan sewaktu Rio yang sudah bangkit
dari tempat tidur memasukkan kemaluannya ke dalam lubang anusku. Aku merasakan
rasa sakit yang hampir tak tertahankan lagi. Ayah dan kakak tiriku itu
sama-sama menghunjam tubuhku yang tak berdaya dari kedua arah, depan dan
belakang.
Akibat kelelahan bercampur dengan kesakitan yang tak
terhingga akhirnya aku tidak merasakan apa-apa lagi, tak sadarkan diri. Aku
sudah tidak ingat lagi apakah Rio dan ayahnya masih mengagahiku atau tidak
setelah itu.
Beberapa bulan telah berlalu. Aku merasa mual dan
berkali-kali muntah di kamar mandi. Akhirnya aku memeriksakan diriku ke dokter.
Ternyata aku dinyatakan positif hamil. Hasil diagnosa dokter ini bagaikan gada
raksasa yang menghantam wajahku. Aku mengandung? Kebingungan-kebingungan
terus-menerus menyelimuti benakku.
Aku tidak tahu secara pasti, siapa ayah dari anak yang
sekarang ada di kandunganku ini. Ayah tiriku atau Rio. Hanya mereka berdua yang
pernah menyetubuhiku. Aku bingung, apa status anak dalam kandunganku ini. Yang pasti
ia adalah anakku. Lalu apakah ia juga sekaligus adikku alias anak ayah tiriku?
Ataukah ia juga sekaligus keponakanku sebab ia adalah anak adik tiriku sendiri?
No comments:
Post a Comment