Kring kring kring suara handphoneku berbunyi begitu bunyinya
hehe..”halllo” dengan nada yang rendah dan merdu aku sudah bisa menebak kalau
dia adalah Rica.
“hai men kamu berangkat saja dulu, aku masih di kantor nih
malah ada rapat segala, nanti aku susul langsung habis selesai rapatnya” cerita
orang ngentot, kumpulan cerita ngentot, ngentot cerita, cerita hot ngentot,
cerita nyata ngentot 2017
“yess tak masalah aku menuju rumahmu sekarang aja ya , lha
kira kira kamu selesaianya jam berapa nih??
“belum tau men mungkin sore, ya kamu nunggu aja lah
dirumahku”
Cerita Sex Mesum Terbaru – Perlu di ketahui Rica adalah
pacarku yang mana dia sekarang baru naik naiknya pangkatnya di kantor maka dari
itu dia akhri akhir ini sering melakukan rapat kantor, kalau aku juga bekerja
di kantoran namun untuk posisi mah lumayan juga, aku bekerja di salah satu
periklanan diamana aku juga sering di kejar deadline.
Karena di ibukota sudah terkenal macetnya aku kalau pergi
kekantor sering menggunakan motor , rica pun tak masalah aku pakai motor malah
dia suka karena sering aku menghantarkan dia lewat jalan jalan tikus, tapi
kadang pula rica sudah mendapat jaminan antar jemput dari kantor.
Jadi, aku bisa tenang saja pergi ke rumahnya tanpa perlu
menjemputnya terlebih dulu. Sesampai di rumahnya, pagar rumah masih tertutup
walau tidak terkunci. Aku mengetok pagar, dan keluarlah Vina, kakak Rica, untuk
membuka pintu.
“Loh, enggak kerja?” tanyaku.
“Nggak, aku izin dari kantor mau ngurus paspor,” jawabnya
sambil membuka pintu pagarnya yang berbentuk rolling door lebar-lebar agar
motorku masuk ke dalam.
“Nyokap ke mana?” tanyaku lagi.
“Oh, dia lagi ke rumah temannya tuh, ngurusin arisan,” kata
Vina,
“Kamu mau duduk di mana Dodi? Di dalam nonton TV juga boleh,
atau kalau mau di teras ya enggak apa juga. Bentar yah, saya ambilin minum.”
Setelah motor parkir di dalam pekarangan rumah, kututup pagar
rumahnya.
Aku memang akrab dengan kakak Rica ini, umurnya hanya selisih
dua tahun dari umurku. Yah, aku menunggu di teras sajalah, canggung juga
rasanya duduk nonton TV bersama Vina, apalagi dia sedang pakai celana pendek
dan kaos oblong.
Setelah beberapa lama menunggu Rica di teras rumah, aku
celingukan juga tak tahu mau bikin apa.
Iseng, aku melongok ke ruang tamu, hendak melihat acara
televisi. Wah, ternyata mataku malah terpana pada paha yang putih mulus dengan
kaki menjulur ke depan. Kaki Vina ternyata sangat mulus, kulitnya putih
menguning. Vina memang sedang menonton TV di lantai dengan kaki berjelonjor ke
depan. Kadang dia duduk bersila.
Baju kaosnya yang tipis khas kaos rumah menampakkan tali-tali
BH yang bisa kutebak berwarna putih. Aku hanya berani sekali-kali mengintip
dari pintu yang membatasi teras depan dengan ruang tamu, setelah itu barulah
ruang nonton TV. Kalau aku melongokkan kepalaku semua, yah langsung terlihatlah
wajahku.
Tapi rasanya ada keinginan untuk melihat dari dekat paha itu,
biar hanya sepintas. Aku berdiri.
“Vin, ada koran enggak yah,” kataku sambil berdiri memasuki
ruang tamu.
“Lihat aja di bawah meja,” katanya sambil lalu. Saat
mencari-cari koran itulah kugunakan waktu untuk melihat paha dan postur tubuhnya
dari dekat.
Ahhh, putih mulus semua. Buah dada yang pas dengan tubuhnya.
Tingginya sekitar 160 cm dengan tubuh langsing terawat, dan buah dadanya kukuh
melekat di tubuh dengan pasnya.
“Aku ingin dada itu,” kataku membatin. Aku membayangkan Vina
dalam keadaan telanjang.
Ah, ‘adikku’ bergerak melawan arah graricasi. “Heh! Kok kamu
ngeliatin saya kayak gitu?! Saya bilangin Rica lho!,” Vina menghardik dan aku
hanya terbengong-bengong mendengar hardikannya.
Aku tak sanggup berucap walau hanya untuk membantah. Bibirku
membeku, malu, takut Vina akan mengatakan ini semua ke Rica.
“Apa kamu melotot begitu, mau ngancem?! Hah!”
“Astaga, Vina, kamu.. kamu salah sangka,” kataku tergagap.
Jawabanku yang penuh kegamangan itu malah membuat Vina makin naik pitam.
“Saya bilangin kamu ke Rica, pasti saya bilangin!” katanya
setengah berteriak.
Tiba-tiba saja Vina berubah menjadi sangar. Kekalemannya
seperti hilang dan barangkali dia merasa harga dirinya dilecehkan. Perasaan
yang wajar kupikir-pikir. “Vina, maaf, maaf. Benar-benar enggak sengaja saya.
saya enggak bermaksud apa-apa,” aku sedikit memohon.
“Vin, tolong dong, jangan bilang Rica, kan cuma ngeliatin
doang, itu juga enggak sengaja. Pas saya lagi mau ngambil koran di bawah meja,
baru saya liat elu,” kataku mengiba sambil mendekatinya.
Vina malah tambah marah bercampur panik saat aku
mendekatinya.
“Kamu ngapain nyamperin saya?! Mau ngancem? Keluar kamu!,”
katanya garang. Situasi yang mencekam ini rupanya membuatku secara tidak
sengaja mendekatinya ke ruang tamu, dan itu malah membuatnya panik.
“Duh,Vin, maaf banget nih. Saya enggak ada maksud apa-apa,
beneran,” kataku.
Namun, situasi telah berubah, Vina malah menganggapku sedang
mengancamnya. Ia mendorong dadaku dengan keras. Aku kehilangan keseimbangan,
aku tak ingin terjatuh ke belakang, kuraih tangannya yang masih tergapai saat
mendorongku. Raihan tangan kananku rupanya mencengkeram erat di pergelangan
tangan kirinya.
Tubuhnya terbawa ke arahku tapi tak sampai terjatuh, aku pun
berhasil menjaga keseimbangan. Namun, keadaan makin runyam.
“Eh! kamu kok malah tangkep tangan saya! Mau ngapain kamu?
Lepasin enggak!!,” kata Vina.
Entah mengapa, tangan kananku tidak melepaskan tangan
kirinya. Mungkin aku belum sempat menyadari situasinya.
Merasa terancam, Vina malah sekuat tenaga melayangkan tangan
kanannya ke arah mukaku, hendak menampar. Aku lebih cekatan.
Kutangkap tangan kanan itu, kedua tangannya sudah kupegang
tanpa sengaja. Kudorong dia dengan tubuhku ke arah sofa di belakangnya,
maksudku hanya berusaha untuk menenangkan dia agar tak mengasariku lagi.
Tak sengaja, aku justru menindih tubuh halus itu. Vina
terduduk di sofa, sementara aku terjerembab di atasnya. Untung saja lututku
masih mampu menahan pinggulku, namun tanganku tak bisa menahan bagian atas
tubuhku karena masih mencengkeram dan menekan kedua tangannya ke sofa. Jadilah
aku menindihnya dengan mukaku menempel di pipinya.
Tercium aroma wangi dari wajahnya, dan tak tertahankan,
sepersekian detik bibirku mengecup pipinya dengan lembut. Tak ayal, sepersekian
detik itu pula Vina meronta-ronta. Vina berteriak,
“Lepasin! Lepasin!” dengan paraunya.
Waduh, runyam banget kalau terdengar tetangga. Yang aku
lakukan hanya refleks menutup mulutnya dengan tangan kananku.
Vina berusaha memekik, namun tak bisa. Yang terdengar hanya,
“Hmm!” saja. Namun, tangannya sebelah kiri yang terbebas dari cengkeramanku
justru bergerak liar, ingin menggapai wajahku.
Hah! Tak terpikir, posisiku ini benar-benar seperti berniat
memperkosa Vina. Dan, Vina sepertinya pantas untuk diperkosa.
Separuh tubuhnya telah kutindih. Dia terduduk di sofa, aku di
atasnya dengan posisi mendudukinya namun berhadapan. Kakinya hanya bisa meronta
namun tak akan bisa mengusir tubuhku dari pinggangnya yang telah kududuki.
Tangan kanannya masih dalam kondisi tercengkeram dan ditekan
ke sofa, tangan kirinya hanya mampu menggapai-gapai wajahku tanpa bisa
mengenainya, mulutnya tersekap.
Tubuh yang putih itu dengan lehernya yang jenjang dan sedikit
muncul urat-urat karena usaha Vina untuk memekik, benar-benar membuatku dilanda
nafsu tak kepalang. Aku berpikir bagaimana memperkosanya tanpa harus melakukan
berbagai kekerasan seperti memukul atau merobek-robek bajunya. Dasar otak
keparat, diserang nafsu, dua tiga detik kemudian aku mendapatkan caranya.
Tanpa diduga oleh Vina, secepat kilat kulepas cengkeraman
tanganku dari tangan dan mulutnya, namun belum sempat Vina bereaksi, kedua
tanganku sudah mencengkeram erat lingkaran celana pendeknya dari sisi kiri dan
kanan, tubuhku meloncat mundur ke belakang.
Kaki Vina yang meronta-ronta terus ternyata mempermudah
usahaku, kutarik sekeras-kerasnya dan secepat-cepatnya celana pendek itu
beserta celana dalam pinknya.
Karena kakinya meronta terus, tak sengaja dia telah
mengangkat pantatnya saat aku meloncat mundur. Celana pendek dan celana dalam
pink itu pun lolos dengan mudahnya sampai melewat dengkul Vina. Astaga!
Berhasil! Vina jadi setengah bugil. Satu dua detik Vina pun sempat terkejut dan
terdiam melihat situasi ini.
Ku gunakan kelengahan itu untuk meloloskan sekalian celana
pendek dan celana dalamnya dari kakinya, dan kulempar jauh-jauh. Vina sadar,
dia hendak memekik dan meronta lagi, namun aku telah siap. Kali ini kubekap
lagi mulutnya, dan kususupkan tubuhku di antara kakinya.
Posisi kaki Vina jadi menjepit tubuhku, karena dia sudah tak
bercelana, aku bisa melihat memeknya dengan kelentit yang cukup jelas.
Jembutnya hanya menutupi bagian atas memek. Vina ternyata
rajin merawat alat genitalnya. Pekikan Vina berhasil kutahan. Sambil kutekan
kepalanya di sandaran sofa, aku berbisik,
“Vina, kamu sudah kayak gini, kalau kamu teriak-teriak dan
orang-orang dateng, percaya enggak orang-orang kalau kamu lagi saya perkosa?”
Vina tiba-tiba melemas.
Dia menyadari keadaan yang saat ini berbalik tak
menguntungkan buatnya. Kemudian dia hanya menangis terisak. Kubuka bekapanku di
mulutnya, Vina cuma berujar sambil mengisak, “Dodi, please.. Jangan diapa-apain
saya.
Ampun, Di. saya enggak akan bilang Rica. Beneran.” Namun,
keadaan sudah kepalang basah, syahwatku pun sudah di ujung tanduk rasanya.
Aku menjawabnya dengan berusaha mencium bibirnya, namun dia
memalingkan mukanya. Tangan kananku langsung saja menelusup ke selangkangannya.
Vina tak bisa mengelak. Ketika tanganku menyentuh halus permukaan memeknya,
saat itulah titik balik segalanya.
Vina seperti terhipnotis, tak lagi bergerak, hanya menegang
kaku, kemudian mendesis halus tertahan. Dia pun pasti tak sengaja mendesah.
Seperti mendapat angin, aku permainkan jari tengah dan telunjukku di memeknya.
Aku permainkan kelentitnya dengan ujung-ujung jari tengahku.
Vina berusaha berontak, namun setiap jariku bergerak dia mendesah. Desahannya
makin sulit ditutupi saat jari tengahku masuk untuk pertama kali ke dalam
memeknya.
Kukocokkan perlahan memeknya dengan jari tengahku, sambil
kucoba untuk mencumbu lehernya. “Jangan Dod,” pintanya, namun dia tetap
mendesah, lalu memejamkan mata, dan menengadahkan kepalanya ke langit-langit,
membuatku leluasa mencumbui lehernya.
Sekarang dia tak meronta lagi, tangannya hanya terkulai
lemas. Sambil kukocok memeknya dan mencumbui lehernya, aku membuka resleting
celanaku.
“Adik”-ku ini memang sudah menegang sempurna sedari tadi,
namun tak sempat kuperlakukan dengan selayaknya. Karena tubuhku telah berada di
antara kakinya, mudah bagiku untuk mengarahkan kontolku ke memeknya.
Vina sebetulnya masih dalam pergulatan batin. Dia tak bisa
mengelak terjangan-terjangan nafsunya saat memeknya dipermainkan, namun ia juga
tak ingin kehilangan harga diri. Jadilah dia sedikit meronta, menangis, namun
juga mendesah-desah tak karuan.
Aku bisa membaca situasi ini karena dia tetap berusaha memberontak,
namun memeknya malah makin basah. Ini tanda dia tak mampu mengalahkan
rangsangan.
Kontolku mengarah ke memeknya yang telah becek, saat kepala
kontol bersentuhan dengan memek, Vina masih sempat berusaha berkelit. Namun,
itu semua sia-sia karena tanganku langsung memegangi pinggulnya. Dan, kepala
kontolku pun masuk perlahan. Memek Vina seperti berkontraksi. Vina tersadar,
“Jangan..” teriaknya atau terdengar seperti rintihan.
Rasa hangat langsung menyusupi kepala kontolku. Kutekan
sedikit lebih keras, Vina sedikit menjerit, setengah kontolku telah masuk. Dan
satu sentakan berikutnya, seluruh kontolku telah ada di dalam memeknya. Vina
hanya memejamkan mata dan menengadahkan muka saja. Ia sedang mengalami
kenikmatan tiada tara sekaligus perlawanan batin tak berujung.
Ku goyangkan perlahan pinggulku, kontolku keluar masuk dengan
lancarnya. Terasa memek Vina mengencang beberapa saat lalu mengendur lagi.
Tanganku mulai bergerilya ke arah buah dadanya. Vina masih mengenakan kaos
rumah.
Tak apa, toh tanganku bisa menyusup ke dalam kaosnya dan
menyelinap di balik BH dan mendapati onggokan daging yang begitu kenyal dengan
kulit yang terasa begitu halus.
Payudara Vina begitu pas di tanganku, tidak terlalu besar
tapi tidak juga bisa dibilang kecil. Kuremas perlahan, seirama dengan genjotan
kontolku di memeknya. Vina hanya menoleh ke kanan dan ke kiri, tak mampu
melakukan perlawanan. Pinggulnya ternyata mulai mengikuti goyangan pinggulku.
Aku buka kaos Vina, kemudian BH-nya, Vina menurut.
Pemandangan setelah itu begitu indah. Kulit Vina putih menguning langsat dengan
payudara yang kencang dan lingkaran di sekitar pentilnya berwarna merah jambu
Pentil itu sendiri berwarna merah kecokelatan. Tak menunggu lama, kubuka
kemejaku.
Aktiricas ini kulakukan sambil tetap menggoyang lembut
pinggulku, membiarkan kontolku merasai seluruh relung memek Vina. Sambil aku
bergoyang, aku mengulum pentil di payudaranya dengan lembut.
Kumainkan pentil payudara sebelah kanannya dengan lidahku,
namun seluruh permukaan bibirku membentuk huruf O dan melekat di payudaranya.
Ini semua membuat Vina mendesah lepas, tak tertahan lagi. Aku mulai
mengencangkan goyanganku.
Vina mulai makin sering menegang, dan mengeluarkan rintihan,
“Ah.. ah..” Dalam goyangan yang begitu cepat dan intens, tiba-tiba kedua tangan
Vina yang sedang mencengkeram jok kursi malah menjambak kepalaku.
”Aaahh,” lenguhan panjang dan dalam keluar dari mulut mungil
Vina. Ia sampai pada puncaknya. Lalu tangan-tangan yang menjambak rambutku itu
pun terkulai lemas di pundakku. Aku makin intens menggoyang pinggulku.
Kurasakan kontolku berdenyut makin keras dan sering.
Bibir Vina yang tak bisa menutup karena menahan kenikmatan
itu pun kulumat, dan tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Vina
membalasnya dengan lumatan juga. Kami saling berpagut mesra sambil bergoyang.
Tangan kananku tetap berada di payudaranya, meremas-remas,
dan sesekali mempermainkan putingnya.
Memek Vina kali ini cukup terasa mencengkeram kontolku,
sementara denyut di kontolku pun semakin hebat. “Uhh,” aku mengejang. Satu
pelukan erat, dan sentakan keras, kontolku menghujam keras ke dalam memeknya,
mengiringi muncratnya spermaku ke dalam liang rahimnya.
Tepat saat itu juga Vina memelukku erat sekali, mengejang,
dan menjerit, “Aahh”. Kemudian pelukannya melemas. Dia mengalami ejakulasi
untuk kedua kalinya, namun kali ini berbarengan dengan ejakulasiku.
Vina terkulai di sofa, dan aku pun tidur telentang di karpet.
Aku telah memperkosanya. Vina awalnya tak terima, namun sisi sensitif yang
membangkitkan libidonya tak sengaja kudapatkan, yaitu usapan di memeknya.
Ternyata, dia sudah pernah bercinta dengan kekasihnya
terdahulu. Dia hanya tak menyangka, aku-pacar adiknya malah menjadi orang kedua
yang menyetubuhinya. Grreekk. Suara pagar dibuka. Rica datang! Astaga! aku dan
Vina masih bugil di ruang tamu, dengan baju dan celana yang terlempar
berserakan.
No comments:
Post a Comment