Minggu lalu di hari sabtu aku dan temanku janjian untuk pergi
ke salon , kita ketemuan di salon saja katanya dan pukul 1 siang janjiannya ,
kulihat jam sudah setengah 1 aku meluncur kesana dengan motorku , ternyata
sampai sana gak sampai setengah jam sudah sampai kulihat motor temanku juga
belum datang dan aku masuk duluan soalnya kalau menunggu di luar panas.
Kubuka pintu dan merasakan udara dingin dari ace, kulihat di
sekitar gak ada istemewanya biasa biasa saja interiornya, aku mendatangi bagian
depan untuk menanyakan kalau aku mau potong rambut .
“mbak mau potong rambut”
“iya mas tunggu saja dulu, pegaiwanya masih sibuk, silahkan
duduk dulu nanti biar di panggil”
Cerita Sex Terbaru – Setelah aku duduk kulihat kanan kiri
memang temanku belum datang datang juga, kulihat para wantia yang bekerja
disini wajahnya cantik cantik kulitnya putih dan tentunya masih pada muda tapi
juga ada yang tua namun sedikit kebanyakan yang bekerja disini muda muda.
Aku jadi teringat dengan omongan temanku, Hanni, bahwa mereka
bisa diajak kencan. Namun aku sendiri masih ragu sebab salon ini benar-benar
seperti salon pada umumnya.
Setelah beberapa menit menunggu, aku ditegur oleh reception
bahwa aku sudah dapat potong rambut sambil menunjuk ke salah satu tempat yang
kosong. Aku pun menuju ke arah yang ditentukan. Beberapa detik kemudian seorang
wanita muda nan cantik menugur sambil memegang rambutku.
“Mas, rambutnya mau dimodel apa?” katanya sambil melihatku
lewat cermin dan tetap memegang rambutku yang sudah agak panjang.
“Mmm… dirapi’in aja Mbak!” kataku pendek.
Lalu seperti halnya di tempat cukur rambut pada umumnya, aku
pun diberi penutup pada seluruh tubuhku untuk menghindari potongan-potongan
rambut. Beberapa menit pertama begitu kaku dan dingin. Aku yang diam saja dan
dia sibuk mulai motong rambutku. Sangat tidak enak rasanya dan aku mencoba untuk
mencairkan suasana.
“Mbak… udah lama kerja di sini?” tanyaku.
“Kira-kira sudah enam bulan, Mas… ngomong-ngomong situ baru
sekali ya potong di sini?” sambungnya sambil tetap memotong rambut.
“Iya… kemarenan saya lewat jalan ini, terus kok ada salon, ya
udah dech, saya potong di sini. Ini juga janjian sama temen, tapi mana ya kok
belum datang?” jawabku sedikit berbohong.
“Ooo..” jawabnya singkat dan berkesan cuek.
“Hei…” terdengar suara temanku sambil menepuk pundak.
“Eh… elo baru dateng?” tanyaku.
“Iya nih… tadi di bawah jembatan macet, mmm… aku potong dulu
yach..” jawabnya sambil berlalu.
Ngobrol punya ngobrol, akhirnya kami dekat, dan belakangan
aku tahu Niken namanya, 22 tahun, dia kost di daerah situ juga, dia orang
Manado, dia enam bersaudara dan dia anak ketiga. Kami pun sepakat untuk janjian
ketemu di luar pada hari Senin.
Untuk pembaca ketahui setiap hari Senin, salon ini tutup.
Setelah aku selesai, sambil memberikan tips sekedarnya, aku menanyakan apakah
ia mau aku ajak makan. Dia menyanggupi dan ia menulis pada selembar secarik
kertas kecil nomor teleponnya. Sambil menunggu Hanni, aku ngobrol dengan Niken,
aku sempat diperkenalkan oleh beberapa temannya yang bernama Susi, Icha dan Yana.
Ketiganya cantik-cantik tapi Niken tidak kalah cantik dengan
mereka baik itu parasnya juga tubuhnya. Susi, ia berambut agak panjang dan pada
beberapa bagian rambutnya dicat kuning. Icha, ia agak pendek, tatapannya agak
misterius, dadanya sebesar Niken namun karena postur tubuhnya yang agak pendek
sehingga toketnya membuat ngiler semua mata laki-laki untuk menikmatinya.
Sedangkan Yana, ia tampak sangat merawat tubuhnya, ia begitu
mempesona, lingkar pinggangnya yang sangat ideal dengan tinggi badannya,
pantatnya dan dadanya-pun sangat proporsional.
Akhirnya kami ketemu pada hari Senin dan di tempat yang sudah
disepakati. Setelah makan siang, kami nonton bioskop, filmnya Jennifer Lopez,
The Cell. Wah, cakep sekali ini orang, batinku mengagumi kecantikan Niken yang
waktu itu mengenakan kaos ketat berwarna biru muda ditambah dengan rompi yang
dikancingkan dan dipadu dengan celana jeans ketat serta sandal yang tebal. Kami
serius mengikuti alur cerita film itu, hingga akhirnya semua penonton dikagetkan
oleh suatu adegan.
Niken tampak kaget, terlihat dari bergetarnya tubuh dia.
Entah ada setan apa, secara reflek aku memegang tangan kanannya. Lama sekali
aku memegang tangannya dengan sesekali meremasnya dan ia diam saja.
Singkat cerita, aku mengantarkan dia pulang ke kostnya, di
tengah jalan Niken memohon kepadaku untuk tidak langsung pulang tapi
putar-putar dulu. Kukabulkan permintaannya karena aku sendiri sedang bebas, dan
kuputuskan untuk naik tol dan putar-putar kota Jakarta. Sambil menikmati musik,
kami saling berdiam diri, hingga akhirnya Niken mengatakan,
“Mmm… Will, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, memang semua
ini terlalu cepat, Will… aku suka sama kamu…” katanya pelan tapi pasti.
Seperti disambar petir mendengar kata-katanya, dan secara
reflek aku menengok ke kiri melihat dia, tampaknya dia serius dengan apa yang
barusan ia katakan. Dia menatap tajam.
“Apa kamu sudah yakin dengan omonganmu yang barusan, Nik?”
tanyaku sambil kembali konsentrasi ke jalan.
“Aku nggak tau kenapa bahwa aku merasa kamu nggak kayak
laki-laki yang pernah aku kenal, kamu baik, dan kayaknya perhatian and care.
Aku nggak mau kalo setelah aku pulang ini, kita nggak bisa ketemu lagi, Will.
Aku nggak mau kehilangan kamu,” jawabnya panjang lebar.
“Mmm… kalo aku boleh jujur sich, aku juga suka sama kamu,
Nik… tapi kamu mau khan kalo kita nggak pacaran dulu?” tegasku.
“Ok, kalo itu mau kamu, mmm… boleh nggak aku ’sun’ kamu,
bukti bahwa aku nggak main-main sama omonganku yang barusan?” tanyanya.
Wah rasanya seperti mau mati, jantungku mau copot, nafas jadi
sesak. Edan ini anak, seperti benar-benar! Sekali lagi, aku menengok ke kiri
melihat wajahnya yang bulat dengan bola mata yang berwarna coklat, dia
menatapku tajam dan serius sekali.
“Sekarang?” tanyaku sambil menatap matanya, dan dia menganguk
pelan.
“OK, kamu boleh ’sun’ aku,” jawabku sambil kembali ke
jalanan.
Beberapa detik kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan
mengambil posisi untuk memberi sebuah “sun” di pipi kiriku. Diberilah sebuah
ciuman di pipi kiriku sambil memeluk. Lama sekali ia mencium dan ditempelkannya
toketnya di lengan kiriku. Ooh, empuk sekali, mantap!Toketnya yang cukup
menantang itu sedang menekan lengan kiriku.
Edan, enak sekali, aku jadi terangsang nih. Secara otomatis
batang kemaluanku pun mengeras. Dengan pelan sekali, Niken berbisik, “Will, aku
suka sama kamu,” dan ia kembali mencium pipiku dan tetap menekan toketnya pada
lengan kiriku.
Konsentrasiku buyar, sepertinya aku benar-benar sudah
terangsang dengan perlakuan Niken, dan beberapa kendaraan yang melaluiku
melihat ke arahku menembus kaca filmku yang hanya 50%.
“Kamu terangsang ya, Will?” tanyanya pelan dan agak lirih.
Aku tidak menjawab. Tangan kirinya mulai mengelus-elus badanku dan mengarah ke
bawah. Aku sudah benar-benar terangsang. Sekali lagi Niken berbisik, “Will, aku
tau kamu terangsang, boleh nggak aku lihat punyamu? punya kamu besar yach!” aku
mengangguk.
Dibukalah celana panjangku dengan tangan kirinya, seperti ia
agak kesulitan pada saat ingin membuka ikat pinggangku sebab dia hanya menggunakan
satu tangan. Aku bantu dia membuka ikat pinggang setelah itu aku kembali
memegang setir mobil.
Dielus-elus batang kemaluanku yang sudah keras dari luar.
Tidak lama kemudian ditelusupkan telapak kirinya ke dalam dan digenggamlah
kemaluanku. “Ooh…” desahku pelan. Sedikit demi sedikit wajahnya bergerak.
Pertama, ia cium bibirku dari sebelah kiri lalu turun ke bawah. Ia cium
leherku, dan ia sempat berhenti di bagian dadaku, mungkin ia menikmati aroma
parfum BULGARI-ku.
Ia makin turun dan turun ke bawah. Beberapa kali Niken
melakukan gerakan mengocok kemaluanku. Pertama-tama dijilatinya pangkal batang
kemaluanku lalu merambat naik ke atas. Ujung lidahnya kini berada pada bagian
biji kejantananku. Salah satu tangannya menyelinap di antara belahan pantatku,
menyentuh anusku, dan merabanya. Niken melanjutkan perjalanan lidahnya, naik
semakin ke atas, perlahan-lahan.
Setiap gerakan nyaris dalam beberapa detik, teramat perlahan.
Melewati bagian tengah, naik lagi. Ke bagian leher batangku. Kedua tanganku tak
kusadari sudah mencengkeram setir mobil. Ujung lidahnya naik lebih ke atas
lagi.
Pelan-pelan setiap jilatannya kurasakan bagaikan kenikmatan
yang tak pernah usai, begitu nikmat, begitu perlahan. Setiap kali kutundukkan
wajahku melihat apa yang dilakukannya setiap kali itu pula kulihat Niken masih
tetap menjilati kemaluanku dengan penuh nafsu.
Sesaat Niken kulihat melepaskan tangannya dari kemaluanku, ia
menyibakkan rambutnya ke samping tiga jarinya kembali menarik bagian bawah
batang kemaluanku dengan sedikit memiringkan kepalanya. Niken kemudian mulai
menurunkan wajahnya mendekati kepala kejantananku. Ia mulai merekahkan kedua
bibirnya, dengan berhati-hati ia memasukkan kepala kemaluanku ke dalam mulutnya
tanpa tersentuh sedikitpun oleh giginya.
Kemudian bergerak perlahan-lahan semakin jauh hingga di
bagian tengah batang kemaluanku. Saat itulah kurasakan kepala kejantananku
menyentuh bagian lidahnya. Tubuhku bergetar sesaat dan terdengar suara khas
dari mulut Niken. Kedua bibirnya sesaat kemudian merapat. Kurasakan kehangatan
yang luar biasa nikmatnya mengguyur sekujur tubuhku.
Perlahan-lahan kemudian kepala Niken mulai naik. Bersamaan
dengan itu pula kurasakan tangannya menarik turun bagian bawah batang tubuh
kejantananku hingga ketika bibir dan lidahnya mencapai di bagian kepala,
kurasakan bagian kepala itu semakin sensitif. Begitu sensitifnya hingga bisa
kurasakan kenikmatan hisapan dan jilatan Niken begitu merasuk dan menggelitik
seluruh urat-urat syaraf yang ada di sana.
Kuraba punggungnya dengan tangan kiriku, kuelus dengan lembut
lalu mengarah ke bawah. Kudapatkan toket sebelah kanan. Kubuka telapak tanganku
mengikuti bentuk toketnya yang bulat. Kuremas dengan lembut. Kubuka satu
persatu kancing rompinya, dan kembali aku membuka tepak tangan mengikuti bentuk
toketnya.
Sambil tetap mengulum, tangan kanannya bergerak menyentuh
tanganku, ia tarik baju ketatnya dari selipan celana panjangnya. Dipegangnya
tanganku dan diarahkannya ke dalam. Di balik baju ketatnya, aku meremas-remas
toketnya yang masih terbungkus BH. Kuremas satu persatu toketnya sambil
mendesah menikmati kuluman pada kemaluanku.
Kuremas agak kuat dan Niken pun berhenti mengulum sekian
detik lamanya. Kuelus-elus kulit dadanya yang agak menyembul dari BH-nya dengan
sesekali menyelipkan salah satu jariku di antara toketnya yang kenyal.
“Agh…” desahku menikmati kuluman Niken yang makin cepat. Aku
turunkan BH-nya yang menutupi toket sebelah kanan, aku dapat meraih putingnya
yang sudah mengeras. Kupilin dengan lembut.
“Ooh… esst…” desahnya melepas kuluman dan terdengar suara
akibat melepaskan bibirnya dari kemaluanku.
Menjilat, menghisap, naik turun. Ia begitu menikmatinya.
Begitu seterusnya berulang-ulang. Aku tak mampu lagi melihat ke bawah. Tubuhku
semakin lama semakin melengkung ke belakang kepalaku sudah terdongak ke atas.
Kupejamkan mataku. Niken begitu luar biasa melakukannya. Tak sekalipun kurasakan
giginya menyentuh kulit kejantananku.
Gila, belum pernah aku dihisap seperti ini, pikirku.
Pikiranku sudah melayang-layang jauh entah ke mana. Tak kusadari lagi
sekelilingku oleh gelombang kenikmatan yang mendera seluruh urat syaraf di
tubuhku yang semakin tinggi. Aku berhenti sejenak meraba toketnya. Kutengok ke
bawah, tangan kanannya menggenggam dengan erat persis di bagian leher batang
kemaluanku, dan ia terlihat tersenyum kepadaku.
“Kamu luar biasa, Nik,” bisikku sambil menggeleng-gelengkan
kepala terkagum-kagum oleh kehebatannya. Niken tersenyum manis dan berkesan
manja.
“Eh, bisa keluar aku kalo kamu kayak gini terus,” bisikku
lagi merasakan genggaman tangannya yang tak kunjung mengendur pada kemaluanku.
Niken tersenyum.
“Kalo kamu udah nggak pengen keluar, keluarin aja, nggak usah
ditahan-tahan,” jawabnya dan setelah itu menjulurkan lidahnya keluar dan
mengenai ujung batang kemaluanku. Rupanya ia mengerti aku sedang berjuang untuk
menahan ejakulasiku.
“Aaghhh…” desahku agak keras menahan rasa ngilu. Bukan
kepalang nikmat yang kurasakan, tubuhnya bergerak tidak karuan, seiring dengan
gerakan kepalanya yang naik turun, kedua tangannya tak henti-henti meraba
dadaku, terkadang ia memilin kedua puting susuku dengan jarinya, terkadang ia
melepaskan kuluman untuk mengambil nafas sejenak lalu melanjutkannya lagi.
Semakin lama gerakannya makin cepat. Aku sudah berusaha
semaksimal untuk menahan ejakulasi. Kualihkan perhatianku dari toketnya. Aku
meraba ke arah bawah. Kubuka kancing celananya. Agak lama kucoba membuka dan
akhirnya terlepas juga. Pelan-pelan kuselipkan tangan kiriku di balik celana
dalamnya.
Aku dapat rasakan rambut kemaluannya tipis. Mungkin
dipelihara, pikirku dalam hati. Kuteruskan agak ke bawah. Niken mengubah
posisinya. Tadinya ia yang hanya bersangga pada satu sisi pantatnya saja,
sekarang ia renggangkan kedua kakinya. Dengan mudah aku dapat menyentuh
kemaluannya. Beberapa saat telunjukku bermain-main di bagian atas kemaluannya.
Aku naik-turunkan jari telunjukku. Ugh, nikmat sekali nih
rasanya, pikirku. Sesekali kumasukkan telunjukku ke dalam lubang kemaluannya.
Aku jelajahi setiap milimeter ruangan di dalam kemaluan Niken. Aku temukan
sebuah kelentit di dalamnya.
Kumainkan klitoris itu dengan telunjukku. Ugh, pegal juga
rasanya tangan kiriku. Sejenak kukeluarkan jariku dari dalam. Lalu aku
menikmati setiap kuluman Niken. Rasanya sudah beberapa tetes spermaku keluar.
Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang olehnya.
Kembali kumasukkan jariku, kali ini dua jari, jari telunjuk
dan jari tengahku. Pada saat aku memasukkan kedua jariku, Niken tampak
melengkuh dan mendesah pelan. Semakin lama semakin cepat aku mengeluar-masukkan
kedua jariku di lubang kemaluannya dan Niken beberapa menghentikan kuluman pada
batang kemaluanku sambil tetap memegang batang kemaluanku.
Entah sudah berapa orang yang melihat kegiatan kami terutama
para supir atau kenek truk yang kami lewati, namun aku tidak peduli. Kenikmatan
yang kurasakan saat itu benar-benar membiusku sehingga aku sudah melupakan
segala sesuatu. Kembali Niken menjilat, menghisap dan mengulum batang
kemaluanku dan entah sudah berapa lama kami melakukan ini.
Kutundukkan kepalaku untuk melihat yang sedang dikerjakan
Niken pada kemaluanku. Kali ini Niken melakukan dengan penuh kelembutan, ia
julurkan lidahnya hingga mengenai ujung kepala kemaluanku lagi. Ia
memutar-mutarkan lidahnya tepat di ujung lubang kemaluanku. Sungguh dashyat
kenikmatan yang kurasakan. Beberapa kali tubuhku bergetar namun ia tetap pada
sikapnya.
Sesekali ia masukkan semua batang kemaluanku di dalam
mulutnya dan ia mainkan lidahnya di dalam. “Ooh.. Nik… enakk…” desahku sambil
melepaskan tangan kiriku dari lubang kemaluannya. Kupegang kepalanya mengikuti
gerakan naik turun.
“Niken, aku sudah nggak tahannn…” kataku agak lirih menahan
ejakulasi. Namun gerakan Niken makin cepat dan beberapa kali ia buka matanya
namun tetap mengulum dan terdengar suara-suara dari dalam mulutnya.
“Aaaagghhh…” desahku keras diiringi dengan keluarnya sperma
dari dalam batang kemaluanku di dalam mulutnya. Keadaan mobil kami saat itu
sedikit tersentak oleh pijakan kaki kananku. Aku menikmati setiap sperma yang
keluar dari dalam kemaluanku hingga akhirnya habis. Niken tetap menjilati
kemaluanku dengan lidahnya.
Dapat kurasakan lidahnya menyapu seluruh bagian kepala
kemaluanku. Ugh, nikmat sekali rasanya. Setelah membersihkan seluruh spermaku
dengan lidahnya, Niken bergerak ke atas. Kulihat dia, tampak ada beberapa
spermaku menempel di sebelah kanan bibirnya dan pipi kirinya. Aku mulai
bergerak memperbaiki posisi dudukku, perlahan-lahan.
Sambil tetap digenggamnya batang kemaluanku yang sudah lemas,
Niken beranjak ke atas melumat bibirku, masih terasa spermaku. Sekian detik
kami bercumbu dan aku memejamkan mata. Akhirnya ia merapikan posisinya, ia
duduk dan merapikan pakaiannya. Aku pun merapikan pakaianku sekedarnya. Aku
kenakan celana panjangku namun tidak kumasukkan kemejaku.
Beberapa hari setelah itu, aku main ke kost Niken dan pada
saat itu pula kami mengikat tali kasih. Awal bulan Maret lalu Niken kembali
dari Manado setelah 2 minggu ia berada di sana dan ia tidak kembali lagi
bekerja di salon itu. Sekarang kami hidup bersama di sebuah tempat di daerah
Grogol, sekarang ia diterima sebagai operator di salah satu perusahaan penyedia
jasa komunikasi handphone.
Sedangkan aku tetap sebagai animator yang bekerja di sebuah
perusahaan di daerah Kedoya tapi aku harus meninggalkan kostku. Setelah kami
hidup seatap, Niken mengakui padaku bahwa selama enam bulan ia bekerja di salon
itu, ia pernah melayani pelanggannya dan ia mengatakan bahwa semua pekerja yang
bekerja di salon itu juga pekerja seks. Niken tidak mengetahui bagaimana asal
mulanya. Niken sendiri tidak tahu apakah salon merupakan sebuah kedok atau seks
adalah sebuah tambahan.
Dia mengatakan bahwa untuk mengajak keluar salah satu
karyawati di situ, seseorang harus membayar di muka sebesar Rp 500.000. Rasanya
Jakarta hanya milik kami berdua, tiap malam setelah mandi sepulang dari kerja
atau setelah makan malam, kami melakukan hubungan seks. Entah sampai kapan
semua ini akan berakhir dan entah kapan kami akan resmi menikah.
Kami sungguh menikmati setiap hari yang akan kami lalui dan
telah kami lalui bersama. Aku sungguh tidak peduli dengan asal-usulnya
pekerjaan Niken sebab makin hari aku makin terbius oleh kenikmatan seks dan
mataku seolah-seolah tertutup oleh rasa sayangku pada dia.
No comments:
Post a Comment