Bu Tiara dia adalah atasanku yg masih baru, dia menjabat
sebagai acounting manager baru 3 minggu, biasanya aku sering dipanggil ke
ruangannya untuk menjelaskan budget yg terjadi pada bulan kemarin. Umurnya
kutaksir sekitar 27 tahunan. Sebagai atasan, sebelumnya kupanggil “Bu”, walau
umurku sendiri 5 tahun di atasnya.
Tapi atas permintaanya sendiri, seminggu yg lalu, ia
mengatakan lebih suka jika di panggil “Mbak”. Sejak waktu itu mulai terbina
suasana serta hubungan kerja yg hangat, tak terlalu formal. Terutama sebab
sikapnya yg ramah. Ia sering langsung menyebut namaku, sesekali jika sesertag
bersama teman kerja lainnya, ia menyebut “Pak”.
Serta tanpa kusadari pula, diam-diam aku merasa betah serta
nyaman jika memansertag wajahnya yg cantik serta lembut menawan. Ia memang
menawan sebab sepasang bola matanya sewaktu-waktu bisa bernar-binar, atau
menatap dgn tajam. Tapi di balik itu semua, ternyata ia suka mendikte.
Mungkin telah menduduki jabatan yg cukup tinggi dalem umur yg
relatif muda, kepercayaan dirinya pun cukup tinggi untuk menyuruh seseorang
melaksanakan apa yg diinginkannya. Bu Tiara selalu berpakaian formal. Ia selalu
mengenakan blouse serta rok hitam yg agak menggantung sedikit di atas lutut.
Jika sesertag berada di ruang kerjanya, diam-diam aku pun
sering memansertag lekukan pinggulnya ketika ia bangkit mengambil file dari rak
folder di belakangnya. Walau bagian bawah roknya lebar, tetapi aku bisa melihat
pinggul yg samar-samar tercetak dari baliknya. Sangat menarik, tak besar tetapi
jelas bentuknya membongkah, memaksa mata lelaki menerawang untuk mereka-reka
keindahannya.
Di dalem ruang kerjanya yg besar, persis di samping meja
kerjanya, terbisa seperangkat sofa yg sering dipergunakannya menerima tamu-tamu
perusahaan. Sebagai Accounting Manager, tentu selalu ada
pembicaraan-pembicaraan ‘privacy’ yg lebih nyaman dilakukan di ruang kerjanya
daripada di ruang rapat.
Aku merasa beruntung jika dipanggil Bu Tiara untuk membahas
cash flow keuangan di kursi sofa itu. Aku selalu duduk persis di depannya.
Serta jika kami terlibat dalem pembicaraan yg cukup serius, ia tak menyadari
roknya yg agak tersingkap. Di situlah keberuntunganku. Aku bisa melirik
sebagian kulit paha yg berwarna gading. Kasertag-kasertag lututnya agak sedikit
terbuka sehingga aku berusaha untuk mengintip ujung pahanya.
Tapi mataku selalu terbentur dalem kegelapan. Andai saja
roknya tersingkap lebih tinggi serta kedua lututnya lebih terbuka, tentu akan
bisa kupastikan apakah rambut-rambut halus yg tumbuh di lengannya juga tumbuh
di sepanjang paha hingga ke pangkalnya. Jika kedua lututnya rapat kembali,
lirikanku berpindah ke betisnya. Betis yg indah serta bersih. Terawat.
Ketika aku terlena menatap kakinya, tiba-tiba aku dikejutkan
oleh pertanyaan Bu Tiara..
“Thomas, aku merasa bahwa kamu sering melirik ke arah
betisku. Apakah dugaanku salah?” Aku terdiam sejenak sambil tersenyum untuk
menyembunyikan jantungku yg tiba-tiba berdebar.
“Thomas, salahkah dugaanku?”
“Hmm.., ya, benar Mbak,” jawabku mengaku, jujur. Bu Tiara
tersenyum sambil menatap mataku.
“Mengapa?” Aku membisu. Terasa sangat berat menjawab
pertanyaan sederhana itu. Tapi ketika menengadah menatap wajahnya, kulihat bola
matanya berbinar-binar menunggu jawabanku.
“Aku suka kaki Mbak. Suka betis Mbak. Indah. Serta..,”
setelah menarik nafas panjang, kukatakan alasan sebenarnya.
“Aku juga sering menduga-duga, apakah kaki Mbak juga
ditumbuhi rambut-rambut.”
“Persis seperti yg kuduga, kamu pasti berkata jujur, apa
adanya,” kata Mbak Tiara sambil sedikit mendorong kursi rodanya.
“Agar kamu tak penasaran menduga-duga, bagaimana kalo kuberi
kesempatan memeriksanya sendiri?”
“Sebuah kehormatan besar untukku,” jawabku sambil
membungkukan kepala, sengaja sedikit bercanda untuk mencairkan pembicaraan yg
kaku itu.
“Kompensasinya apa?”
“Sebagai rasa hormat serta tanda terima kasih, akan kuberikan
sebuah ciuman.”
“Bagus, aku suka. Bagian mana yg akan kamu cium?”
“Betis yg indah itu!” “Hanya sebuah ciuman?” “Seribu kali pun
aku bersedia.”
Mbak Tiara tersenyum manis ditahan. Ia berusaha manahan
tawanya.
“Serta aku yg menentukan di bagian mana saja yg harus kamu
cium, OK?”
“Deal, my lady!”
“I like it!” kata Bu Tiara sambil bangkit dari sofa.
Ia melangkah ke mejanya lalu menarik kursinya hingga ke luar
dari kolong mejanya yg besar. Setelah menghempaskan pinggulnya di atas kursi
kursi kerjanya yg besar serta empuk itu, Bu Tiara tersenyum.
Matanya berbinar-binar seolah menaburkan sejuta pesona
birahi. Pesona yg membutuhkan sanjungan serta pujaan.
“Periksalah, Thomas. Berlutut di depanku!” Aku membisu.
Terpana mendengar perintahnya. “Kamu tak ingin memeriksanya, Thomas?” tanya Bu
Tiara sambil sedikit merenggangkan kedua lututnya.
Sejenak, aku berusaha meredakan debar-debar jantungku. Aku
belum pernah diperintah seperti itu. Apalagi diperintah untuk berlutut oleh
seorang wanita. Bibir Bu Tiara masih tetap tersenyum ketika ia lebih
merenggangkan kedua lututnya.
“Thomas, kamu tahu warna apa yg tersembunyi di pangkal
pahaku?” Aku menggeleng lemah, seolah ada kekuatan yg tiba-tiba merampas
sendi-sendi di sekujur tubuhku.
Tatapanku terpaku ke dalem keremangan di antara celah lutut
Bu Tiara yg meregang. Akhirnya aku bangkit menghampirinya, serta berlutut di
depannya. Sebelah lututku menyentuh karpet. Wajahku menengadah. Mbak Tiara
masih tersenyum. Telapak tangannya mengusap pipiku beberapa kali, lalu
berpindah ke rambutku, serta sedikit menekan kepalaku agar menunduk ke arah
kakinya.
“Ingin tahu warnanya?” Aku mengangguk tak berdaya. “Kunci
dulu pintu itu,” katanya sambil menunjuk pintu ruang kerjanya. Serta dgn patuh
aku melaksanakan perintahnya, kemudian berlutut kembali di depannya. Bu Tiara
menopangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Gerakannya lambat seperti
bermalas-malasan. Pada waktu itulah aku menbisa kesempatan memansertag hingga
ke pangkal pahanya.
Kali ini tatapanku terbentur pada secarik kain tipis berwarna
putih. Pasti ia memakai G-String, kataku dalem hati. Sebelum paha kanannya
benar-benar tertopang di atas paha kirinya, aku masih sempat melihat
rambut-rambut ikal yg menyembul dari sisi-sisi celana dalemnya. Segitiga tipis
yg hanya selebar kira-kira dua jari itu terlalu kecil untuk menyembunyikan
semua rambut yg mengitari pangkal pahanya. Bahkan sempat kulirik baygan lipatan
bibir di balik segitiga tipis itu.
“Suka?” Aku mengangguk sambil mengangkat kaki kiri Bu Tiara
ke atas lututku. Ujung hak sepatunya terasa agak menusuk. Kulepaskan klip tali
sepatunya. Lalu aku menengadah. Sambil melepaskan sepatu itu. Mbak Tiara
mengangguk. Tak ada komentar penolakan. Aku menunduk kembali. Mengelus-elus
pergelangan kakinya.
Kakinya mulus tanpa cacat. Ternyata betisnya yg berwarna
gading itu mulus tanpa rambut halus. Tapi di bagian atas lutut kulihat sedikit
ditumbuhi rambut-rambut halus yg agak kehitaman. Sangat kontras dgn warna
kulitnya.
Aku terpana. Mungkinkah mulai dari atas lutut hingga..,
hingga.. Aah, aku menghembuskan nafas. Rongga dadaku mulai terasa sesak.
Wajahku sangat dekat dgn lututnya. Hembusan nafasku ternyata membuat
rambut-rambut itu meremang.
“Indah sekali,” kataku sambil mengelus-elus betisnya. Kenyal.
“Suka, Thomas?” Aku mengangguk.
“Tunjukkan bahwa kamu suka. Tunjukkan bahwa betisku indah!”
Aku mengangkat kaki Bu Tiara dari lututku. Sambil tetap
mengelus betisnya, kuluruskan kaki yg menekuk itu. Aku sedikit membungkuk agar
bisa mengecup pergelangan kakinya. Pada kecupan yg kedua, aku menjulurkan lidah
agar bisa mengecup sambil menjilat, mencicipi kaki indah itu. Akibat kecupanku,
Bu Tiara menurunkan paha kanan dari paha kirinya.
Serta tak sengaja, kembali mataku terpesona melihat bagian
dalem kanannya. Sebab ingin melihat lebih jelas, kugigit bagian bawah roknya
lalu menggerakkan kepalaku ke arah perutnya. Ketika melepaskan gigitanku,
kudengar tawa tertahan, lalu ujung jari-jari tangan Bu Tiara mengangkat daguku.
Aku menengadah.
“Kurang jelas, Thomas?” Aku mengangguk.
Bu Tiara tersenyum nakal sambil mengusap-usap rambutku. Lalu
telapak tangannya menekan bagian belakang kepalaku sehingga aku menunduk
kembali. Di depan mataku kini terpampang keindahan pahanya. Tak pernah aku
melihat paha semulus serta seindah itu. Bagian atas pahanya ditumbuhi
rambut-rambut halus kehitaman. Bagian dalemnya juga ditumbuhi tetapi tak
selebat bagian atasnya, serta warna kehitaman itu agak memudar. Sangat kontras
dgn pahanya yg berwarna gading.
Aku merinding. Sebab ingin melihat paha itu lebih utuh,
kuangkat kaki kanannya lebih tinggi lagi sambil mengecup bagian dalem lututnya.
Serta paha itu semakin jelas. Menawan. Di paha bagian belakang mulus tanpa
rambut. Sebab gemas, kukecup berulang kali. Kecupan-kecupanku semakin lama
semakin tinggi. Serta ketika hanya berjarak kira-kira selebar telapak tangan
dari pangkal pahanya, kecupan-kecupanku berubah menjadi ciuman yg panas serta
basah.
Sekarang hidungku sangat dekat dgn segitiga yg menutupi
pangkal pahanya. Sebab sangat dekat, walau tersembunyi, dgn jelas bisa kulihat
baygan bibir kewanitaannya. Ada segaris kebasahan terselip membayg di bagian
tengah segitiga itu. Kebasahan yg dikelilingi rambut-rambut ikal yg menyelip
dari kiri kanan G-stringnya. Sambil menatap pesona di depan mataku, aku menarik
nafas dalem-dalem. Tercium aroma segar yg membuatku menjadi semakin tak
berdaya.
Aroma yg memaksaku terperangkap di antara kedua belah paha Bu
Tiara. Ingin kusergap aroma itu serta menjilat kemulusannya. Bu Tiara
menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi. Menarik nafas berulang kali. Sambil
mengusap-usap rambutku, diangkatnya kaki kanannya sehingga roknya semakin
tersingkap hingga tertahan di atas pangkal paha.
“Suka Thomas?”
“Hmm.. Hmm..!” jawabku bergumam sambil memindahkan ciuman ke
betis serta lutut kirinya. Lalu kuraih pergelangan kaki kanannya, serta
meletakkan telapaknya di pundakku. Kucium lipatan di belakang lututnya.
Bu Tiara menggelinjang sambil menarik rambutku dgn manja.
Lalu ketika ciuman-ciumanku merambat ke paha bagian dalem serta semakin lama
semakin mendekati pangkal pahanya, terasa tarikan di rambutku semakin keras.
Serta ketika bibirku mulai mengulum rambut-rambut ikal yg menyembul dari balik
G-stringnya, tiba-tiba Bu Tiara mendorong kepalaku.
Aku tertegun. Menengadah. Kami saling menatap. Tak lama
kemudian, sambil tersenyum menggoda, Bu Tiara menarik telapak kakinya dari
pundakku. Ia lalu menekuk serta meletakkan telapak kaki kanannya di permukaan
kursi. Pose yg sangat memabukkan. Sebelah kaki menekuk serta terbuka lebar di
atas kursi, serta yg sebelah lagi menjuntai ke karpet.
“Suka Thomas?”.
“Hmm.. Hmm..!”.
“Jawab!”.
“Suka sekali!”
Pemandangan itu tak lama. Tiba-tiba saja Mbak Tiara
merapatkan kedua pahanya sambil menarik rambutku.
“Nanti ada yg melihat baygan kita dari balik kaca. Masuk ke
dalem, Thomas,” katanya sambil menunjuk kolong mejanya.
Aku terkesima. Mbak Tiara merenggut bagian belakang kepalaku,
serta menariknya perlahan. Aku tak berdaya. Tarikan perlahan itu tak mampu
kutolak. Lalu Bu Tiara tiba-tiba membuka ke dua pahanya serta mendaratkan mulut
serta hidungku di pangkal paha itu.
Kebasahan yg terselip di antara kedua bibir kewanitaan
terlihat semakin jelas. Semakin basah. Serta di situlah hidungku mendarat. Aku
menarik nafas untuk menghirup aroma yg sangat menyegarkan. Aroma yg sedikit
seperti daun pandan tetapi mampu membius saraf-saraf di rongga kepala. “Suka
Thomas?”. “Hmm.. Hmm..!” “Sekarang masuk ke dalem!” ulangnya sambil menunjuk
kolong mejanya.
Aku merangkak ke kolong mejanya. Aku sudah tak bisa berpikir
waras. Tak peduli dgn segala kegilaan yg sesertag terjadi. Tak peduli dgn
etika, dgn norma-norma bercinta, dgn sakral dalem percintaan.
Aku hanya peduli dgn kedua belah paha mulus yg akan menjepit
leherku, jari-jari tangan lentik yg akan menjambak rambutku, telapak tangan yg
akan menekan bagian belakang kepalaku, aroma semerbak yg akan menerobos hidung
serta memenuhi rongga dadaku, kelembutan serta kehangatan dua buah bibir
kewanitaan yg menjepit lidahku, serta tetes-tetes birahi dari bibir kewanitaan
yg harus kujilat berulang kali agar akhirnya dihadiahi segumpal lendir orgasme
yg sudah sangat ingin kucucipi.
Di kolong meja, Bu Tiara membuka kedua belah pahanya
lebar-lebar. Aku mengulurkan tangan untuk meraba celah basah di antara pahanya.
Tapi ia menepis tanganku. “Hanya lidah, Thomas! OK?” Aku mengangguk. Serta dgn
cepat membenamkan wajahku di G-string yg menutupi pangkal pahanya.
Menggosok-gosokkan hidungku sambil menghirup aroma pandan itu sedalem-dalemnya.
Bu Tiara terkejut sejenak, lalu ia tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.
.
“Rupanya kamu sudah tak sabar ya, Thomas?” katanya sambil
melingkarkan pahanya di leherku.
“Hm..!”
“Haus?”
“Hm!”
“Jawab, Thomas!” katanya sambil menyelipkan tangannya untuk
mengangkat daguku. Aku menengadah.
“Haus!” jawabku singkat.
Tangan Bu Tiara bergerak melepaskan tali G-string yg terikat
di kiri serta kanan pinggulnya. Aku terpana menatap keindahan dua buah bibir
berwarna merah yg basah mengkilap. Sepasang bibir yg di bagian atasnya dihiasi
tonjolan daging pembungkus clit yg berwarna pink. Aku termangu menatap
keindahan yg terpampang persis di depan mataku.
“Jangan diam saja. Thomas!” kata Bu Tiara sambil menekan
bagian belakang kepalaku.
“Hirup aromanya!” sambungnya sambil menekan kepalaku sehingga
hidungku terselip di antara bibir kewanitaannya. Pahanya menjepit leherku
sehingga aku tak bisa bergerak. Bibirku terjepit serta tertekan di antara dubur
serta bagian bawah kemaluannya.
Sebab harus bernafas, aku tak mempunyai pilihan kecuali
menghirup udara dari celah bibir kewanitaannya. Hanya sedikit udara yg bisa
kuhirup, sesak tetapi menyenangkan. Aku menghunjamkan hidungku lebih dalem
lagi. Bu Tiara terpekik. Pinggulnya diangkat serta digosok-gosokkannya hingga
hidungku basah berlumuran tetes-tetes birahi yg mulai mengalir dari sumbernya.
Aku mendengus. Bu Tiara menggelinjang serta kembali mengangkat
pinggulnya. Kuhirup aroma kewanitaannya dalem-dalem, seolah kemaluannya adalah
nafas kehidupannku.
“Fantastis!” kata Bu Tiara sambil mendorong kepalaku dgn
lembut. Aku menengadah. Ia tersenyum menatap hidungku yg telah licin serta
basah.
“Enak ‘kan?” sambungnya sambil membelai ujung hidungku.
“Segar!” Bu Tiara tertawa kecil. “Kamu pandai memanjakanku,
Thomas. Sekarang, kecup, jilat, serta hisap sepuas-puasmu. Tunjukkan bahwa kamu
memuja ini,” katanya sambil menyibakkan rambut-rambut ikal yg sebagian menutupi
bibir kewanitaannya.
“Jilat serta hisap dgn rakus. Tunjukkan bahwa kamu memujanya.
Tunjukkan rasa hausmu! Jangan ada setetes pun yg tersisa! Tunjukkan dgn rakus
seolah ini adalah kesempatan pertama serta yg terakhir bagimu!”
Aku terpengaruh dgn kata-katanya. Aku tak peduli walaupun ada
nada perintah di seTiarap kalimat yg diucapkannya. Aku memang merasa sangat
lapar serta haus untuk mereguk kelembutan serta kehangatan kemaluannya.
Kerongkonganku terasa panas serta kering. Aku merasa benar-benar haus serta
ingin segera menbisakan segumpal lendir yg akan dihadiahkannya untuk membasahi
kerongkongannku.
Lalu bibir kewanitaannya kukulum serta kuhisap agar semua
kebasahan yg melekat di situ mengalir ke kerongkonganku. Kedua bibir
kewanitaannya kuhisap-hisap berganTiaran. Kepala Bu Tiara terkulai di sandaran
kursinya. Kaki kanannya melingkar menjepit leherku. Telapak kaki kirinya
menginjak bahuku.
Pinggulnya terangkat serta terhempas di kursi berulang kali.
Sesekali pinggul itu berputar mengejar lidahku yg bergerak amelr di dinding
kewanitaannya. Ia merintih seTiarap kali lidahku menjilat clitnya. Nafasnya
mengebu. Kasertag-kasertag ia memekik sambil menjambak rambutku.
“Ooh, ooh, Thomas! Thomas!” Serta ketika clitnya kujepit di
antara bibirku, lalu kuhisap serta permainkan dgn ujung lidahku, Bu Tiara
merintih menyebut-nyebut namaku..
“Thomasssss, nikmat sekali sayg.. Thomas! Ooh.. Thomas
oooooooooooooooo!”
Telapak kakinya menghentak-hentak di bahu serta kepalaku.
Paha kanannya sudah tak melilit leherku. Kaki itu sekarang diangkat serta
tertekuk di kursinya. Mengangkang. Telapaknya menginjak kursi. Sebagai
gantinya, kedua tangan Bu Tiara menjambak rambutku. Menekan serta menggerak-gerakkan
kepalaku sekehendak hatinya.
“Thomas, julurkan lidahmuu! Hisap! Hisaap!”
Aku menjulurkan lidah sedalem-dalemnya. Membenamkan wajahku
di kemaluannya. Serta mulai kurasakan kedutan-kedutan di bibir kemaluannya,
kedutan yg menghisap lidahku, mengunsertag agar masuk lebih dalem. Beberapa
detik kemudian, lendir mulai terasa di ujung lidahku. Kuhisap seluruh
kemaluannya. Aku tak ingin ada setetes pun yg terbuang.
Inilah hadiah yg kutunggu-tunggu. Hadiah yg bisa menyejukkan
kerongkonganku yg kering. Kedua bibirku kubenamkan sedalem-dalemnya agar bisa
langsung menghisap dari bibir kemaluannya yg mungil.
“Thomaso! Hisap Thomasoooooooooooo!”
Aku tak tahu apakah rintihan Bu Tiara bisa terdengar dari
luar ruang kerjanya. Seandainya rintihan itu terdengar pun, aku tak peduli. Aku
hanya peduli dgn lendir yg bisa kuhisap serta kutelan. Lendir yg hanya segumpal
kecil, hangat, kecut, yg mengalir membasahi kerongkonganku. Lendir yg langsung
ditumpahkan dari kemaluan Bu Tiara, dari pinggul yg terangkat agar lidahku
terhunjam dalem.
“Oh, fantastisssssssssssssssss,” gumam Bu Tiara sambil
menghenyakkan kembali pinggulnya ke atas kursinya.
Ia menunduk serta mengusap-usap kedua belah pipiku. Tak lama
kemudian, jari tangannya menengadahkan daguku. Sejenak aku berhenti
menjilat-jilat sisa-sisa cairan di permukaan kewanitaannya.
“Aku puas sekali, Thomas,” katanya. Kami saling menatap.
Matanya berbinar-binar. Sayu. Ada kelembutan yg memancar dari bola matanya yg
menatap sendu.
“Thomas.”
“Hm..”
“Tatap mataku, Thomas.” Aku menatap bola matanya.
“Jilat cairan yg tersisa sampai bersih”
“Hm..” jawabku sambil mulai menjilati kemaluannya.
“Jangan menunduk, Thomas. Jilat sambil menatap mataku. Aku
ingin melihat erotisme di bola matamu ketika menjilat-jilat kemaluanku.”
Aku menengadah untuk menatap matanya. Sambil melingkarkan
kedua lenganku di pinggulnya, aku mulai menjilat serta menghisap kembali cairan
lendir yg tersisa di lipatan-lipatan bibir kewanitaannya.
“Kamu memujaku, Thomas?”
“Ya, aku memuja betismu, pahamu, serta di atas segalanya, yg
ini.., muuah!” jawabku sambil mencium kewanitaannya dgn mesra sepenuh hati. Bu
Tiara tertawa manja sambil mengusap-usap rambutku.
No comments:
Post a Comment