Semuanya ingin merasakan bercumbu
dgnku.Semuanya ingin merasakan bercumbu dgnku. Dari Rendra, kemudian beralih ke
Boim dan Wendhy, kemudian Basri petugas Satpam yg suka mengantar Mas Graha
suamiku. Aqu tak bisa mengelak, sebab aqu taqut kalau di antara mereka ada yg
kecewa dan kemudian melaporkanku pada suamiku. Tetapi kuaqui bahwa semua hal yg
berlangsung itu kulaqukan dgn penuh kesadaran dan bahkan kunikmati.
Pada malam setelah Basri si
Satpam yg terpaksa kuterima untuk menyebadaniku di atas ranjang pengantinku,
aqu akhirnya jatuh tertidur pulas kelelahan. Pukul 9 pagi esoknya, terdengar
tukang koran membangunkanku. Dia menagih rekening bulanan koranku. Dgn daster
tidur, aqu keluar menemuinya dan kusodorkan bayarannya. Kemudian aqu mandi dgn
air panas sampai kesegaranku pulih kembali.
Mas Graha akan pulang ke Jakarta
2 hari lagi. Mudah-mudahan aqu telah sepenuhnya segar dan tak ada sisa-sisa
apapun yg bisa dibaca pada badanku atau mengundang kecurigaan akan
penyelewenganku. Pukul 10.30 setelah sarapan pagi, aqu menyempatkan diri
menyiangi dan menyiram tanaman kembangku. Ini merupakan acara rutinku dalam
rangka mengisi kegiatan di rumah. Sekitar pukul 12 siang, setelah mengurus
tanaman, terasa perutku sangat lapar. Dari lemari es kuambil persediaan sirloin
steak 200 gram di chiller. Dalam 20 menit aqu telah menghadapi seporsi besar
steak lengkap dgn tumis buncis dan kentang goreng. Dgn penutup orange juice dan
segelas besar air mineral, aqu makan besar siang ini sampai kekenygan. Kubaca
koran pagi yg belum sempat kubuka lembaran-lembarannya.
Pukul 3 siang, tetanggaqu, Bu
Tommy mampir ke rumahku untuk meminjam alat pemotong bunga. Di halaman, kami
mengobrol ttg berbagai tanaman yg kurawat sampai selalu nampak sehat dan
berbunga indah. Pada pukul 4 sore terdengar dering teleponku. Bu Tommy pamit,
kemudian aqu masuk mengangkat telepon itu.
“Selamat sore, Bu Graha”,
kudengar suara bariton di ujung telepon.
“Masih ingat saya..,?”
Aqu ingat, itu Pak Dwi, boss di
kantor suamiku. Ada apa ini? Pikiranku dipenuhi tanda tanya.
“Selamat sore Pak Dwi, apa
kabar?”.
“Baik, Bu. To the point saja ya.
Ada dua hal yg ingin saya sampaikan, Bu”.
Aqu langsung jadi deg-degan nih,
ada apa. Tumben-tumbenan seorang boss besar seperti Pak Dwi meneleponku, kok
langsung berbicara serius seperti ini.
“Pertama, saya dapat laporan dari
Pak Samin penjaga villa saya di Bogor”. Degg, rupanya rahasiaqu petualanganku
dgn teman-teman suamiku terbongkar. Matilah aqu, pikirku.
“Kedua, saya barusan menelepon
Pak Graha”.
Wah, benar-benar celaka, kiamat,
pikirku.
“Saya minta Pak Graha
menyelesaikan tugasnya sampai mendapatkan Surat Ijin Prinsip dari Pak Bupati
Kalimantan. Itu artinya Bu, Pak Graha baru bisa sampai Jakarta hari Rabu, 2
hari mundur dari rencananya yg harusnya Senin besok telah pulang”.
Aqu mencoba mencari kaitannya
antara hal pertama dgn hal yg kedua. Ah, aqu mulai curiga. Aqu membaca ada
tanda-tanda yg tak benar dari Pak Dwi. Rupanya serigala-serigala kelaparan
terus berkeliaran mencari mangsanya.
“O iya Pak. Ya bagaimana lagi,
khan Mas Graha memang harus menyelesaikan tugasnya”, aqu berusaha menanggapinya
dgn ringan dan tenang.
“Benar Bu, dan saya telah
merencanakannya, apabila Pak Graha berhasil menyelesaikan tugasnya, akan
mendapatkan surprise dari perusahaan, kami telah sepakat untuk mengangkatnya
jadi Wakil Direktur. Itu artinya dia akan mendapat loncatan promosi 2 kali. Hal
tersebut belum pernah kami berikan kepada karyawan lain sebelumnya. Tetapi
tolong untuk hal ini menjadi rahasia kita dulu ya Bu, biar Pak Graha merasakan
surprisenya itu”.
“Ooo, baik, Pak. Terimakasih,
Pak”.
Wah, Pak Dwi berusaha memamerkan
kebaikan hatinya.
“Tt.., tte.., tapi.., B.., Bbu..,
ini berkaitan dgn hal yg pertama tadi. Saya rasa kita perlu membicarakannya
berdua, Bu”.
“Maksud Bapak?”, aqu menempatkan
diri seakan aqu tak tahu apa-apa dgn yg dimaksudkannya laporan Samin.
“Begini Bu Graha, Ibu telah
tahulah. Samin bilang bahwa selama 2 hari berturut-turut karyawan saya yg
teman-teman Pak Graha datang bersama Ibu di villaqu. Jadi.., yy.., ya.., inilah
yg saya maksud dgn kita perlu membicarakan berdua, agar Pak Graha tak tersendat
promosinya di kantor”.
“Saya telah booking President
Suite Grand Hyatt di jalan Thamrin, jam 5.30 sore ini. Bu Graha saya tunggu di
Dome Coffee Shop. Jangan dilewatkan ya Bu.
Saya tunggu lho”, nadanya
memerintah, seakan aqu bawahannya dan dia bisa seenaknya memerintahku.
Aqu masih bengong saat Pak Dwi
menutup teleponnya tanpa memberikan kesempatan padaqu untuk berbicara. Dara
serigala kelaparan bermental pemeras, umpatku dalam hati. Yg satu ini adalah
serigala tua yg sangat kelaparan sesampai begitu mendengar kasusku saat berada
di villanya di Bogor, dia merasa mendapat kesempatan. Dia pikir bisa seenaknya
memilih dan menetapkanku sebagai mangsanya. Pak Dwi itu adalah boss suamiku yg
walaupun fisiknya masih gagah, sehat dan segar tetapi usianya telah gaek,
mendekati 60 tahun.
Bagaimana lagi ini. Gara-gara
Rendra, aqu dibuatnya super sibuk selama beberapa hari ini. Tetapi kalau
masalah ini sampai pada Pak Dwi, terus terang sama sekali tak pernah
kuperhitungkan sebelumnya. Dgn mendengar pembicaraannya di telepon tadi, kalau
kuabaikan akan bisa mengancam posisi suamiku di kantor. Apa yg sesungguhnya
telah terjadi? Dgn penuh tanda tanya, ragu, taqut, khawatir, kesal sebab
orang-orang mendekatiku dgn cara memeras, akhirnya aqu pergi mandi dan
bersiap-siap memenuhi panggilan Pak Dwi.
Di atas taksi yg menuju ke Grand
Hyatt Hotel di Thamrin, aqu mencoba membaygkan sosok Pak Dwi. Menurut Mas
Graha, walaupun lahir di Jawa dan Bapaknya orang kraton Solo, tetapi dia masih
memiliki darah keturunan dari timur tengah. Memang dari profil wajahnya, cukup
nampak garis-garis Semitnya. Kalau sedang berkumpul, Ibu-ibu para istri
teman-teman Mas Graha sering berbisik-bisik bahwa Pak Dwi mirip Omar Syarif,
bintang film Mesir yg memang tampan. Dalam beberapa kali kesempatan mendampingi
Mas Graha, kuperhatikan mata Pak Dwi yg tak lepas-lepasnya memandangiku
walaupun istrinya, Bu Retno yg terkenal cantik pula di masa mudanya, yg katanya
juga masih keturunan raja Solo itu selalu berada di sampingnya. Aqu telah tahu
dan terbiasa akan hal seseperti itu. Para lelaki memang selalu haus. Apa lagi
kalau mendengar perkataan Rendra, menurut istri-istri teman sekantor Mas Graha,
aqulah yg paling cantik dan sensual. Bibirku mengingatkan para lelaki itu pada
bibir Sarah Ashari. Demikian pula rambutku yg panjang yg lebih suka kulepas
terurai.
Dgn kepalaqu yg hanya setinggi
dadanya, aqu perkirakan tingginya mendekati 180 cm. Tetapi dgn badannya yg
cukup gemuk, aqu kira bobotnya tak kurang dari 75 kg, dgn tangan-tangannya
berbulu lebat. Seperti lebatnya orang timur tengah pada umumnya. Kulitnya yg
putih, membuat bulu-bulu itu nampak kontras tumbuh di atas kulitnya. Aqu sering
tergetar kalau melihat lelaki berbulu seperti itu. Aqu tak bisa membaygkan
seperti apa bulu-bulu yg ada di bagian badan lainnya. Suaranya yg bariton,
menambah wibawa kepemimpinannya selaqu Direktur Utama perusahaan tempat Mas
Graha bekerja. Dia juga nampak sangat matang, baik sebagai pimpinan, maupun
sebagai pribadi. Pak Dwi, orangnya nampak sangat “gentleman”. Beberapa kali dia
membukakan pintu mobilku saat aqu sedang bertandang ke rumahnya dalam rangka
kegiatan antar para istri karyawan perusahaannya, di mana Ibu Dwi selaqu
ketuanya.
Sedikit banyak aqu juga tahu,
“booking” President Suite Grand Hyatt itu, setaknya sekitar US$ 2.500 yg harus
dia keluarkan dari koceknya. Itu artinya tak kurang dari Rp. 20 juta semalam
atau 4 bulan gaji Mas Graha yg penuh kerja keras itu. Dan pengeluaran sebesar
itu hanya untuk bisa “ngeloni” aqu, istri Mas Graha, bawahannya. Ada juga
terselip sedikit rasa tersanjung di hati kecilku dgn apa yg telah Pak Dwi
laqukan untukku itu.
Persis di depan pintu kaca besar
di Dome Coffee Shop Grand Hyatt, Pak Dwi menjemput dan membukakan pintu Dome
untukku.
“Selamat sore, Bu”, ucapannya yg
bariton dan begitu “gentleman” itu sambil sedikit menundukkan kepalanya.
Dia telah “reserve” meja persis
di depan kaca lebar yg menghadap ke patung Selamat Datang yg terkenal itu.
Kepada pelayan dia memesan sesuatu. Dia tersenyum kepadaqu.
“Bu Graha, jangan tanya pesanan
saya ya. Ini sengaja tak saya tawarkan pada Ibu. Ini surprise dari saya untuk
Ibu sebab Ibu sangat cantik malam ini, eh, sore ini”, dan tanpa ragu, tangannya
yg berbulu lebat itu meraih tanganku dan meremasnya. Ah.., Bapak ini PD-nya
kelewatan, begitu bathinku.
“Dan maaf, saya telah merepotkan
Bu Graha”, lanjutnya berkaitan dgn pemerasan lewat telepon yg dia laqukan sore
tadi padaqu.
Dia perhatikan aqu sepenuh mata
dan hatinya. Dia juga perhatikan aqu sepenuh laparnya seekor serigala lapar.
Aqu merasa seakan hendak dikunyah-kunyahnya. Seakan hendak dia telan
bulat-bulat. Aqu merasa dia seakan mendapatkan makanan yg terlezat dgn
mendapatkanku sekarang ini. Kurasa air liurnya tak lagi tertahankan untuk mulai
merobek-robek diriku. Aqu berusaha tenang, walaupun sesungguhnyalah aqu merasa
“nervous”, agak taqut, agak gemetar. Tetapi, tak tahu juga, hatiku sekaligus
juga tergetar. Bahkan gigiku terasa gemerutuk saling beradu sebab gemetarku.
Aqu merasakan seperti ada birahi
yg menjalar pada diriku. Birahi selaqu wanita yg harus menyerahkan diri dan
menyerahkan badannya ke meja altar untuk dijadikan korban hasrat dan mangsa
serigala yg lapar. Tetapi anehnya, situasi yg harusnya menyeramkan itu justru
menyimpang menjadi sensasi erotik yg membakar darahku. Dan sensasi erotik itu
menimbulkan perasaan nikmat penuh birahi yg terasa mulai merambati libidoku.
Kenikmatan birahi sebab aqu telah ditaklukkan, dikalahkan, ditawan,
ditundukkan, diinjak-injak, diperbudak dan dimusnahkannya harga diriku.
Penyelewenganku di villa Bogor itu telah membangunkan Pak Dwi, serigala tua yg
kelaparan ini.
Sepintas kuperhatikan dia. Nampak
sangat segar dan penuh percaya diri. Yg pasti, kecukupan dan kesenangan
duniawinya tak akan pernah kekurangan. Badannya yg besar tetap nampak serasi,
tak terlampau gemuk dan sedap dipandang mata, khususnya oleh orang yg sedang
dilanda birahi sebagai orang taklukan seperti aqu sekarang ini. Gerakannya
lincah, tanpa nampak adanya kendala usia pada badannya. Dgn “trengginas” dia
tarik kursi dan membimbingku untuk duduk. Senyumannya menebar keluar dari
wajahnya yg memancarkan nuansa rasa tenteram dan terlindungi bagi siapapun yg
dekat dgnnya.
Kulitnya yg putih, dgn wajah
sedikit mengingatkan wajah-wajah timur tengah seperti Omar Syarif itu,
memancarkan kesan sebuah pribadi yg anggun dan penuh kharisma. Dgn brewok dan
kumis yg selalu tercukur licin sampai menyisakan baygan keunguan dari akar
rambutnya pada dagu dan sekitar mulutnya, wajah Pak Dwi nampak sangat jantan.
Sangat macho. Alisnya yg tebal dan matanya yg nampak tajam seperti elang gurun
terasa menusuk langsung ke jantungku.
Kembali aqu tergetar sampai
gigiku bergemerutuk. Aqu menggigil, tetapi bukan oleh dinginnya ruang AC Coffee
Shop Dome ini. Sedikit botak di kepalanya justru menunjukkan daya tarik
seksualnya. Para wanita akan membaygkan alangkah indahnya apabila botak seperti
itu berkesempatan bersandar pada buah dada mereka. Giginya yg putih dan sangat
terawat nampak membuat gaya bicara maupun senyumannya menjadi simbol keramahan,
kesantunan dan penuh sensualitas.
Sore ini beliau memakai kemeja
lengan pendek dgn gambar bunga-bunga yg menunjukkan bahwa dia sangat santai,
tak ada beban, tak ada masalah-masalah yg menggelayutinya. Tercium sedikit
semburat parfum khusus untuk lelaki. Tak dominan, sesampai bau keringat
alaminya masih bisa tercium lewat hidungku.
“Bu Graha sungguh sangat cantik.
Sangat mempesona”, begitu dia mengawali pembicaraannya sesaat setelah
membisikan pesanan rahasianya pada pelayan Dome.
Matanya tak pernah melepaskan
pandangannya padaqu, pada bagian-bagian badanku. Aqu tersenyum dan hatiku
membumbung ke langit penuh bunga-bunga. Diraihnya tanganku dan diremasnya dgn
penuh keyakinan bahwa aqu telah menyerah menjadi tawanannya. Aqu tak mampu lagi
berkutik, dan siap menjadi budaknya untuk dikorbankan pada meja altar hasrat
lapar birahinya.
Bulu-bulu tangannya sempat
menyentuh tanganku. Aqu langsung merinding. Aqu tak mampu berpikir apa-apa
lagi. Otakku langsung tumpul oleh darahku yg telah dikuasai birahi pula.
Kurasakan mata Pak Dwi tak sedetikpun melepaskan pandangan hausnya dariku. Ada
sedikit rasa kikuk pada diriku. Adakah yg salah? Atau semata pandangan penuh
kekaguman? Tetapi aqu berusaha yakin bahwa yg kedualah penyebabnya. Untuk sore
ini aqu memang sangat hati-hati dalam menjaga penampilanku. Aqu memilih dgn
cermat apa-apa saja yg akan kupakai. Bagaimanapun aqu adalah seorang wanita yg
selalu merindukan kehormatanku. Setak-taknya mata lelaki yg terpesona akan
kecantikanku pasti akan sangat membahagiakanku.
Setelah mandi air panas dgn
segala pewangi alami yg biasa kugunakan, aqu menyiapkan pakaian, aksesori,
parfum yg tepat dan make up. Beberapa pilihan dan model baju, rok dan sepatu
kupertimbangkan masak-masak. Aqu ingin tampil sebagai wanita yg cantik, penuh
percaya diri, sensual dan seksi namun anggun. Terakhir, ada 2 baju yg harus
kupilih, modelnya hampir sama. Hanya warnanya yg berbeda, yg satu merah muda,
dan yg lainnya ungu tua. Akhirnya kupilih yg ungu tua. Ini cocok dgn
deskripsiku tadi, penuh percaya diri, sensual dan seksi namun anggun. Model ini
mirip dgn yg kupakai saat berjalan bersama Rendra. Dgn tali kecil tipis pada
bahuku yg akan sangat menawan para lelaki, begitu komentar suamiku saat aqu
memakai baju ini, kain sutra Thailand yg mahal, membuat lekuk badanku membayg
dgn sangat lembut. Bagi lelaki penuh selera, begitu kubaygkan lelaki seperti
Pak Dwi ini, penampilanku akan sangat menyentuh selera birahinya. Aqu tersenyum
sendiri membaygkan kepuasan yg akan kuraih, demi melihat Pak Dwi yg bersimpuh
memujaqu.
Untuk bibirku yg tak perlu
diragukan lagi mirip bibir Sarah Ashari ini, kulekatkan lipstick Margo yg
membuat kesan wet look sampai seakan bibirku basah dan mencuat siap menerima
lumatan bibir lelaki manapun. Aqu juga memakai parfum La Roche yg sangat lembut
tetapi tak akan pernah terlupakan selama bertahun-tahun oleh siapapun yg sempat
menyentuhnya. Mengenai rambutku, aqu paling senang melepas urai rambutku. Aqu
merasa kesan kewanitaanku akan sangat nyata sebab rambutku ini. Saat terkena
angin, kunikmati geraiannya yg sesekali terbang menutupi mukaqu, dan saat
tanganku menyibakkannya akan menunjukkan pesona diriku bagi lelaki yg berada di
dekatku. Dan sesekali kusibakkan rambut ke belakang dgn leherku, yg merupakan
pesona sensual sendiri yg terpancar dari gayaqu.
Aqu juga memakai sepatu warna
ungu tua bertali dgn hak tinggi. Warnanya kebetulan pas dgn warna gaun yg akan
kupakai. Ini sesungguhnya sepatu murah. Tetapi aqu memang tak gila merk berkat
kesadaran dan pengetahuanku ttg desain yg baik. Kuperoleh sepatu ini dari
sebuah boutique kecil di Pondok Indah. Dgn sepatu ini nampak tumitku yg lembut
mirip telur ayam kampung dan betisku yg sangat aduhai, begitu kata Indri
tetanggaqu, istri pelaut yg lesbi dan sangat suka menggigiti betisku ini.
Makanan pesanan Pak Dwi datang.
Pelayan menurunkan makanan tersebut dari meja dorongnya. Kusaksikan surprise
Pak Dwi untukku. Pertama, tiram rebus yg diimpor khusus dari Laut Tengah dgn
kaviar ikan sturgeon dari sungai Mekong. Disuguhkan di atas kulit tiram
keperakan yg cukup besar. Kedua, salad mangga dgn lemon yg dibubuhi prosciutto
atau ham Itali. Kemudian segelas red wine. Pak Dwi sangat tepat dalam membaca
selera makan impianku. Semua makanan itu sangat ideal bagiku yg selalu
mempertimbangkan bobot badanku. Makanan-makanan pilihannya itu tepat energi dan
tak mengancam kolesterolku. Aqu tak tahu berapa harga untuk semua makanan super
mahal itu. Dan untuk Pak Dwi sendiri, dia hanya minum teh Assam dari India dgn
gula batu.
“Silakan, Bu Graha. Ini sekedar
apetizer. Nanti makan besarnya di kamar saja.
Saya telah atur”.
Sekali lagi dia meremas jari-jari
kiriku. Selangit rasanya aqu tersanjung.
“Aqu memang hanya minum teh
seperti ini, dimana saja, kapan saja”.
Diam-diam setiap kali kulirik Pak
Dwi. Dia terus menerus menatapku bak serigala yg benar-benar lapar. Tetapi dgn
usianya yg telah cukup sepuh, walaupun birahinga datang memacu, dia adalah
serigala yg bijak dgn ketenangannya yg luar biasa. Dia sangat menguasai medan
dan iramanya yg terus mengalir penuh improvisasi. Dan dia selalu memiliki jalan
keluar untuk menghindarkan suasana kebisuan. Sambil meremas jari-jariku, dia
menanyakan cat kukuku, gaun sutraqu, warna lipstick-ku, aksesorisku dgn penuh
antusias.
Setelah aqu menikmati hidangan
hebat ini, Pak Dwi mengajakku beranjak. Pada billingnya kulirik tagihan
makannya, US$ 250. Wow, paling tak hanya dalam tempo 5 menit telah kutelan Rp.
1,5 juta masuk ke perutku.
President Suite Pak Dwi berada di
lantai 7. Dari tempat ini nampak panorama malam Jakarta yg penuh lampu-lampu.
Begitu memasuki kamar, kuperhatikan ruang tamunya yg besar dgn sofa-sofanya yg
mewah. Tempat tidurnya King Size yg mewah pula. Pak Dwi duduk di salah satu
sofa yg tersedia, kemudian memanggilku, memintaqu duduk di pangkuannya. Dgn
kesadaran birahi seorang wanita taklukan dan budak yg harus patuh pada tuannya,
aqu mendekat. Bukankah aqu tawanannya, kini?
Belum pernah seumur-umur aqu
mengalami tremor sampai gigiku menggerutuk menggigil seperti ini. Seorang
bapak, boss yg sangat gentleman, kharismatik, memanggilku dan memintaqu duduk
di pangkuannya. Dia begitu percaya diri, bahwa semuanya pasti akan beres.
Sikapnya itulah yg membuatku langsung bertekuk lutut. Dan saat telah berada di
dekatnya, tangan kanannya menjemput, meraih pinggulku dan dgn penuh kelembutan
ditariknya aqu ke pangkuannya. Sambil membenamkan wajahnya ke leherku, Pak Dwi
berbisik.
“Bu Graha, kamu sangat
mempesonaqu. Bu Graha sangat cantik. Sangat seksi”.
Tangan kananku secara otomatis
merangkul bahunya agar aqu tak terjatuh. Sementara itu tangan kanan Pak Dwi
meraih paha kiriku agar posisi dudukku lebih ke tengah pangkuannya. Mendengar
bisikannya, semangat birahiku langsung hadir. Aqu ingin mendapatkan lebih dari
sekedar bisikan di leherku. Tangan kiriku kurangkulkan ke lehernya sampai kedua
tanganku saling berpegangan di belakang kuduknya. Posisi seperti itu menggiring
wajah Pak Dwi lebih bergeser ke dadaqu. Tenggelam ke bukit-bukit ranumku yg
telah setengah terbuka sebab model gaunku yg memang menampilkan belahan buah
dadaqu. Pak Dwi menyapukan wajahnya pada dadaqu. Menghirup aroma dari dadaqu
itu.
“Paakkhh.., hh..”.
Kurasakan tangan Pak Dwi mulai
menyingkap gaunku. Tangannya mengelus pahaqu yg sintal ini. Aqu semakin
merinding. Akhirnya kami saling melumat. Ciuman Pak Dwi sungguh maut. Ciuman
seorang lelaki yg telah matang dan penuh perasaan serta penghargaan pada lawan
mainnya. Dari sebuah ciuman, kurasakan bahwa Pak Dwi bukanlah lelaki egois. Dia
mau menerima dan sekaligus juga menikmati saat memberi. Lidahnya yg besar
menyeruak ke rongga mulutku, mengorek dan mengisap ludahku sambil tangan
kanannya mulai menelusuri celah selangkanganku. Aqu mulai menggelinjang dan
serasa terbakar darahku. Birahiku mulai memanas dan menanjak.
Ciuman Pak Dwi membuatku
benar-benar terhanyut. Mau tak mau aqu tergerak untuk memberikan respons dgn
penuh perasaan juga. Aqu menyedot lidahnya, juga ludahnya. Dan Pak Dwi
memberikannya untukku. Aqu rasakan kini, bahwa dgn ciuman saja kita bisa
mendapatkan ribuan warna dan nuansa, dimana setiap warna dan nuansa itu
benar-benar memiliki bentuk kenikmatan yg berbeda-beda. Dan itu berkat
pemahaman akan makna ciuman dgn gerakan anggota badan yg lain yg sama-sama
menggiring sensasi kita dalam menapaki birahi yg diharapkan akan terus
memuncak.
Saat menyedot lidah dan ludah
itulah, tangan Pak Dwi menelusuri tepian celana dalamku di celah
selangkanganku. Paduan kerja lidah dan tangan seperti inilah yg membuatku
terbawa melayg-layg dalam langit penuh kenikmatan. Dan aqu harus belajar
menyelami irama dan makna dalam menapaki birahi ini. Saat aqu harus melaqukan
balasan ciuman atau sedotannya, aqu mulai dgn sedikit menggoyg pinggulku, untuk
menunjukkan pada Pak Dwi betapa nikmat sentuhan yg dilaqukannya pada tepian
celana dalamku itu.
Tak keliru jika dikatakan bahwa
seks itu sesungguhnya merupakan suatu seni. Ciuman, rabaan, desahan, rintihan,
goygan bahkan sibakan rambut atau cubitan kecil di pinggul atau jambakan rambut
sampai lawan cumbunya merasakan pedihnya kulit kepalanya atau cakaran kuku-kuku
pada punggung. Hal seperti itulah yg harus dimiliki oleh para suami dan istri.
Dan hal seperti itulah yg kuanggap tak pernah secara serius diusahakan oleh
suamiku sendiri, Mas Graha. Dia hanya seorang egois yg hanya asyik dgn pekerjaannya.
Dia tak pernah mengusahakan bagaimana agar istrinya juga mendapatkan kepuasan.
Bukan sekedar kepuasan materi. Dia sama sekali tak pernah merasakan apa
sesungguhnya yg kubutuhkan. Lembutnya bercumbu dalam ciuman, nikmatnya sapuan
lidah yg sesekali merambah ke daguku, gigitan bibirku pada bibirnya atau
sebaliknya, erangan dan desahan kecil dari mulut-mulut kami, remasan-remasan
jari-jari lentikku pada kuduk Pak Dwi, rabaan jari-jari Pak Dwi pada tepian
celana dalamku yg sesekali melewati batas tepian itu dan menyentuh atau
mengusap atau bahkan memilin bibir-bibir kemaluanqu telah menggiring semakin
jauh dan tingginya hasrat birahi kami.
Kurasakan Pak Dwi semakin
terbakar sampai panasnya juga langsung membakar diriku. Hasrat ini
setapak-setapak menanjak. Dan rasanya pada saatnya akan meroket. Aqu telah
dapat merasakan kalau pangkuan yg sedang kududuki menggelembung. Kemaluan Pak
Dwi telah mengganjal di bokongku. Setiap kali aqu harus memepetkan badanku agar
lebih mepet ke badannya. Sekali lagi Pak Dwi menunjukkan improvisasi matangnya.
Dia raih kaki kananku dan
diangkatnya sampai kini aqu setengah miring dan setengah membelakangi badannya.
Kakiku di sandarkannya ke sandaran jok sofa. Dan akibatnya selangkanganku
menjadi terbuka dan gaunku melipat ke pinggulku sampai celana dalamku langsung
tampak.
Kini tangan kananku yg tak lagi
menggelayut pada lehernya kuangkat ke atas belakang jatuh ke tangan sofa kiri
tanpa pegangan. Ketiakku terbuka lebar, demikian pula dada dgn belahan buah
dadaqu.
Bibir Pak Dwi lepas dari bibirku.
Pagutan dan ciumannya berubah menjadi sedotan dan jilatan pada ketiakku.
Sementara tangan kanannya mulai meliar meremas kemaluanku dan jari-jarinya
mulai menembus lubang kemaluanqu. Aqu mulai mendesah histeris. Tangan kiriku
serta merta meraih rambutnya yg setengah botak itu dan meremasnya dgn penuh
kegatalan birahi. Betapa kenikmatan birahi dalam kualitas yg sangat tinggi
tengah menyeruak dalam relung badanku dan terus memacu libidoku untuk terus
menapaki ke jenjang puncaknya. Kegatalan pada liang kemaluanqu memaksaqu untuk
menjerit lembut sembari mengangkat pantatku untuk menjemput jari-jari Pak Dwi
yg telah menari-nari dalam liang surgaqu.
Tiba-tiba aqu ingin sekali meraba
dan mengelus dada Pak Dwi yg tentu bulunya lebat sebagaimana yg kulihat pada
tangan-tangannya. Tangan kiriku melepaskan remasan rambutnya menuju ke
kancing-kancing kemejanya untuk melepaskannya. Walau hanya 2 atau 3 kancing yg
terlepas, telah cukup bagi tanganku untuk menyeruak masuk mencapai dadanya yg
gempal penuh bulu itu. Perasaan merinding kembali menyergap hasratku saat
tapak-tapak tanganku merasakan lebatnya bulu dada Pak Dwi. Kuraba badannya
lebih ke dalam seakan hendak memeluknya. Lagi-lagi aqu mendesah hebat.
Goygan pinggul serta gerakan
pantatku untuk menahan kegatalan serta menjemput tusukan jari-jari Pak Dwi
dalam liang kemaluanqu membuat ciuman dan jilatannya semakin meliar pada
seluruh wilayah dadaqu. Dgn bantuan tanganku, Pak Dwi kini juga telah menyedot
putingku yg semula masih tersembunyi dalam BH-ku. Kenikmatan ciuman dan jilatan
Pak Dwi telah mendorong tanganku untuk merogoh buah dadaqu keluar dari gaun dan
BH-ku.
Kini irama percumbuan telah
berganti menjadi upaya intensif untuk secepatnya meraih puncak kenikmatan.
Mulutku meracau hebat menahan derita dan sekaligus siksaan yg nikmat. Pantatku
naik turun menjemput jari-jari Pak Dwi agar lebih intens mengocok kemaluanku.
Tangan kiriku meremas belikat dan ketiak Pak Dwi yg penuh bulu. Dan Pak Dwi dgn
tenang dan dinginnya terus melahap dadaqu, buah dadaqu, puting-puting buah
dadaqu sekaligus jari-jari tangan kanannya merogoh liang kemaluanqu dan
mengorek-orek saraf-saraf pekaqu di dalamnya.
Tiba-tiba perasaan ingin
kencing-ku hadir. Ini hebat sekali. Kami belum melepas selembar pakaianpun dari
badan. Tanda-tanda aqu akan kembali meraih klimaksku dimulai dgn perasaan
kencingku yg seperti ini. Seperti perasaan yg sama saat aqu disebadani Rendra,
Boim, Wendhy dan Basri kemarin, rasa ingin kencingku ini sangat mendesak-desak
datang dari dalam kemaluanqu. Mungkinkah aqu akan meraih klimaks hanya dgn
ciuman dan permainan jari-jari tangan Pak Dwi?
Pak Dwi sangat pengertian akan
apa yg sedang berlangsung pada diriku. Dan beliau pasti juga sangat tahu
bagaimana cara menyelesaikannya. Beliau biarkan tangan-tanganku yg liar
mencubit dan mencakar-cakar badannya. Beliau bebaskan aqu untuk mendesah dan
merintih sekeras-kerasnya. Beliau penuhi keinginanku akan jari-jarinya agar
lebih menembus lagi dalam-dalam ke liang kemaluanqu. Beliau tingkatkan sedotan,
ciuman dan jilatannya ke ketiakku, ke dada ranumku, ke buah dadaqu, ke
puting-putingku. Dan aqu kini bak kuda betina yg penuh kelaparan dan kehausan.
Sampai dgn saat, yg pada
akhirnya, klimaksku datang, kuangkat pantatku tinggi-tinggi. Kakiku bergerak
kesana kemari merangsek apapun yg bisa kujadikan tempat pijakan agar cairan
birahiku bisa tumpah tanpa hambatan. Tangan kananku meraih, meremas dan nyaris
merobek kemeja Pak Dwi. Aqu berteriak sekeras-kerasnya dalam kamar President
Suite yg sangat mewah dan kedap suara itu. Dan akhirnya, cairanku, cairan
birahiku, air mani kewanitaanku meledak, membanjir panas membasahi
tangan-tangan Pak Dwi, tanpa lagi ada yg mampu membendungnya.
Yg kuingat setelahnya hanyalah
aqu merasakan badanku diangkat ke kasur dan di telentangkannya dgn kaki-kakiku
tetap terjuntai ke karpet kamar mewah ini. Kulihat sepintas Pak Dwi menjilati
tangan kanannya yg basah oleh cairan birahiku. Kemudian beliau membungkukkan
badannya, kepalanya dia benamkan ke selangkanganku dan tenggelam ke celana
dalamku. Aqu rasakan kemudian mulut Pak Dwi menyedoti basahnya celana dalamku
dan menjilati cairan-cairanku. Aqu biarkan, sementara sambil menikmati derasnya
cairan yg belum kunjung habis, terasa kemaluanku mengempot-empot memompa dan
memeras cairanku agar keluar dgn tuntas. Aqu menarik nafas panjang. Kumaklumi
bahwa Pak Dwi masih menapaki hasratnya dan masih jauh dari puncak
kenikmatannya. Aqu juga ingat kata seorang temanku bahwa wanita seperti aqu
bukan tak mungkin meraih klimaks secara berturut-turut berkesinambungan, multiple
orgasm.
Saat darahku telah sedikit
mereda, kesadaranku akan kehadiran Pak Dwi telah pulih secara utuh, sementara
aqu yakin dgn kemungkinan multiple orgasm itu, kuraih bahu Pak Dwi ke atas
badanku. Kuraih badannya agar menindih badanku. Kucoba kuraih celananya,
kulepas ikat pinggang dan kancing-kancingnya. Pak Dwi tahu keinginanku yg juga
memang keinginannya pula. Dgn celananya yg masih setengah merosot sampai ke
pahanya, dia mengeluarkan kemaluannya dari celah celana dalamnya. Aqu sempat
sekilas melihatnya. Ukurannya tak luar biasa. Biasa-biasa saja. Sedikit lebih
kecil daripada kemaluan Basri tetapi yg pasti lebih besar daripada kemaluan Mas
Graha suamiku. Kemaluan Pak Dwi sangat tegang dan keras. Dalam usia beliau,
mungkinkah dia menggunakan obat-obatan khusus agar kemaluannya bisa ngaceng
sebegitu rupa?
Aqu merenggang melebarkan pahaqu.
Kemaluanku telah siap menerima tusukan kemaluan Pak Dwi. Setelah beliau
menempelkan kepalanya tepat pada lubang kemaluanqu dari celah celana dalamku yg
sebelumnya dikuaknya, direbahkannya badannya ke badanku. Badanku menggeliat
hebat saat disentuh bulu-bulu yg tumbuh di sekujur badannya. Badanku yg lembut
dan halus serta relatif kecil ditindih dgn badan Pak Dwi yg putih gempal penuh
bulu-bulu. Perasaan merinding langsung merasuki sanubariku. Gelombang hasrat
birahiku dgn cepat kembali melandaqu. Kemaluan yg mulai didesakan ke kemaluanku
terasa menembus lubang kemaluanqu. Aqu menjerit kecil. Selanjutnya Pak Dwi
mulai mengayun.
“Jeng Marinii.., Jeng Marinii,
Jeng Marinii, Jeng Marinii..”, dia mendesah dgn memangil-manggil nama asliku.
Begitu terus berkepanjangan
setiap kali kemaluannya dgn pelan masuk dan dgn pelan pula ditariknya keluar.
Cara seperti itu terus terang sangat menyiksa birahiku. Aqu meracau. Mataqu
membeliak-beliak. Kepalaqu menggoyg ke kanan dan ke kiri menahan nikmatnya
tusukan. Dan rasanya aqu kembali ingin kencing. Kuisyaratkan pada Pak Dwi agar
ayunannya dipercepat. Pantatku menggelinjang-gelinjang naik turun ingin
mempercepat ayunan dan pompaan kemaluan Pak Dwi ke kemaluanku. Apakah aqu akan
merasakan yg namanya multiple orgasm?
Genjotan Pak Dwi semakin
dipercepat. Bibirnya langsung mencaplok bibirku. Aqu kembali menikmati ciuman
hebat Pak Dwi. Lidahnya yg besar itu menyeruak ke rongga mulutku, mencari
ludahku, mencari lidahku. Aqu berikan semuanya. Aqu mengimbangi genjotannya dgn
memutar-mutar pantatku dgn baygan dan harapan bahwa kemaluan Pak Dwi akan lebih
menghunjam dan menikam kemaluanku dgn lebih keras. Keinginan dan desakan
kencing dari dalam kemaluanqu tak mampu lagi kutahan. Aqu menjadi sangat haus.
“Aaahh, Pak Dwio.., ludahi
mulutku Paakk, aqu hauuss, oohh..”
Setelah sadar nanti aqu tak habis
heran, dari mana keinginan mulutku untuk diludahi Pak Dwi. Aqu terus
mengangakan mulutku. Aqu lihat di bibirnya, Pak Dwi membuat gumpalan-gumpalan
air liur untuk diludahkan ke mulutku. Dan setiap gumpalan yg jatuh kukecapi
kemudian kutelan. Berkali-kali gumpalan itu jatuh dari mulutnya dan kutelan.
Birahiku meledak, meletup-letup dan mendongkrak seluruh badanku. Genjotan
kemaluan Pak Dwi serta ludah-ludahnya yg dijatuhkan ke mulutku membuatku
kehilangan kendali. Klimaksku telah kembali muncul di ambangnya. Dan Pak Dwi
sendiri kurasakan juga telah mencapai ambangnya. Kemaluannya terasa semakin
sesak memenuhi rongga kemaluanqu. Saraf-saraf pekaqu pada dinding kemaluanqu
terus memijat dan meremas batangan kemaluan itu. Dan isyarat terakhirpun
akhirnya muncul.
Dgn pagutan keras serta jambakan
pedih pada rambutku, kemaluan Pak Dwi menyemburkan lahar panas di dalam
kemaluanqu. Kedutan-kedutan besar kurasakan memompa keluar seluruh cadangan air
mani dari kandungannya. Air mani Pak Dwi terasa sangat kental dan legit. Entah
sebanyak apa yg tumpah ke kemaluanku itu. Dan yg kemudian aqu rasakan sangat
luar biasa hebat adalah, pada saat bersamaan, multiple orgasm-ku juga muncrat
tak tertahan. Berjuta rasanya. Lebih dalam dan lebih memeras nikmat daripada yg
pertama, dgn tanpa mengurangi kenikmatan yg pertama tadi.
Kukuku menancap dan telah membuat
punggung Pak Dwi sedikit terluka. Pak Dwi tak mempersalahkan hasratku yg
menggila itu. Kami berpacu dalam dera nikmat tak tersampai sampai nafas kami
mereda. Keringatku bersimbah walaupun AC kamar mewah ini sangat dingin. Kami
langsung rebah. Sepi. Kecuali nafas-nafas panjang kami.
Untunglah, akhirnya suhu dingin
AC kamar mewah ini menyelimuti badan-badan kami yg baru saja terbakar, sampai
dgn cepat kami merasakan kesegaran kembali. Keringatku akhirnya hilang. Kami
terlelap dalam nafas dan jiwa yg sangat lega. Hening.
Aqu terbangun saat kurasakan ada
yg menyibakkan wajahnya di selangkanganku, di kemaluanku. Rupanya Pak Dwi
sedang menjilati kemaluanku. Dia menyedot cairan-cairan di dalamnya. Kali ini
cairan campuran antara milikku dan miliknya sendiri. Rupanya hal demikian bukan
jadi masalah bagi Pak Dwi yg nampaknya termasuk kategori “pengejar kenikmatan”
ini. Dan kulihat juga, ternyata kemaluannya belum juga surut dari ereksinya.
Aqu jadi teringat, mungkin itu sebab pengaruh obat perangsang seperti Viagra,
barangkali.
Dia tahu bahwa aqu terbangun. Aqu
mengelus kepalanya. Kubiarkan dia memuaskan dirinya. Bahkan aqu membantunya dgn
cara mengeluarkan desahan-desahan. Orang seusia Pak Dwi akan peka terhadap
desahan wanita seperti aqu yg usianya sama dgn usia anaknya. Itu memang fantasi
seks orang-orang seumurnya. Menyebadani daun-daun muda dan masih mampu
menunjukkan kejantanannya dan bahkan masih mampu membuat perawan mudanya
blingsatan menahan nikmat.
Aqu lihat kini tangannya meremas
kemaluannya sendiri. Ah.., aqu jadi iba. Aqu tiba-tiba merasa bersalah. Apakah
aqu belum sepenuhnya memberikan kepuasan padanya. Sementara dia telah
memberikan kepuasan padaqu. Aqu telah dibuatnya klimaks berturut-turut sebanyak
2 kali, sesuatu yg tak pernah kudapatkan dari Mas Graha suamiku. Aqu harus
menolongnya. Aqu mencoba beringsut menjangkau badannya, kakinya. Tanpa melepas
sedotan bibirnya pada kemaluanqu, aqu berusaha menindihkan badanku dan
mendekatkan wajahku ke selangkangannya. Aqu mainkan hubungan gaya 69 untuk Pak
Dwi.
Nampaknya Pak Angoro langsung
menikmati apa yg kulaqukan padanya. Desahannya langsung kudengar. Desahan yg
tersendat-sendat, setiap kali aqu melaqukan jilatan ataupun isapan pada
kemaluannya, pelirnya, rambut kemaluannya atau yg lain lagi di sekitar
selangkangannya. Aqu laqukan dgn sepenuh nikmat yg bisa kurasakan dan
kudapatkan. Selangkangan Pak Dwi yg sangat bersih, putih dgn bulu-bulu di
pahanya, aromanya, sangat merangsang birahiku. Aqu menciumi dan menjilati
selangkangan dan kemaluan Pak Dwi dgn hasrat binalku. Dan ketika saatnya
datang, Pak Dwi bangkit. Badanku dibangunkannya dan disenderkannya ke
“back-drop” tepian ranjang hotel itu. Diberikannya bantal pada punggungku.
Kemudian dia turun ke lantai mendekatkan selangkangannya kepadaqu. Tepat di
wajahku. Dgn kaki kirinya naik ke kasur dan kaki lainnya tetap di lantai, dia
sorongkan ujung kemaluannya ke bibirku. Dia menginginkanku mengulum kemaluannya.
Dia ingin memompa mulutku. Aqu langsung melahap kemaluannya. Aqu ingin Pak Dwi
mendapatkan kepuasan dari layananku. Aqu ingin tunjukkan padanya bahwa aqu juga
mampu memberikan yg terbaik dari yg terbaiknya yg pernah dia dapatkan dari
orang lain.
Aqu terus mengulum sambil
menggenggam kemaluannya agar tetap pada lubang mulutku. Kemudian sesekali
kukeluarkan dan kusapu kepalanya dgn lidahku. Dgn membeliak sambil mendongakkan
kepalanya ke langit-langit kamar mewah ini serta menikmati kulumanku, pantat Pak
Dwi maju mundur mendorong kemaluannya untuk merespons pompaan mulutku. Desahan
nikmatnya terus datang bertubi. Tangannya meraih kepalaqu untuk memastikan
bahwa mulutku selalu mengulum kemaluannya. Tangan kananku berpegang pada
pahanya yg berbulu lebat itu. Aqu masih merinding setiap kali tanganku menyapu
bulu-bulu itu.
Aqu merasakan betapa Pak Dwi
sangat menikmati posisi ini. Beberapa kali jari-jari tangannya mengelus bibirku
yg monyong sebab kemaluannya yg menyesaki mulutku. Dia elus-elus bibirku.
Mungkin dia melihat dan menikmati keindahan yg kontras dari sebuah bibir
cantik, lembut dan mungil milikku ini dgn kemaluan miliknya yg kaqu penuh
urat-urat yg dgn kasarnya menyesaki mulut itu. Akhirnya kurasakan kedutan besar
dari kemaluan Pak Dwi. Spermanya memancar dari kantongnya. Aqu akan selalu
mengenang saat-saat seperti ini. Kedutan inilah yg selalu kunantikan dan
kurasakan nikmatnya pada tanganku yg menggenggamnya. Kedutan ini berasal dari
saluran besar berupa pipa urat spermanya yg terpompa keluar disebabkan desakan
birahi yg telah sampai di puncaknya. Kedutan pertama disusul dgn kedutan kedua,
ketiga, keempat, kelima, keenam sampai ke tujuh.
Mulutku sengaja diam untuk
menampung semua cairan kental yg tumpah ini. Pada kedutan yg ketujuh, mulutku
telah penuh. Aqu menganga dan menunjukkannya pada Pak Dwi. Dia meraih kepalaqu,
mengelus dan mencium sedikit bibirku. Dia menginginkanku menelan seluruh
spermanya. Dan hal itu langsung kulaqukan sekaligus untuk membasahi
tenggorokanku yg selalu haus sperma ini.
Pak Dwi langsung rubuh ke
ranjang. Tangan-tangan dan pahanya terentang seluas ranjang King Size itu.
Sepertinya aqu sedang menyaksikan beruang putih yg kelelahan setelah
menyebadani betinanya. Bulu-bulu dadanya itu, aqu sedemikian terobsesinya,
bahkan setelah orang ini menumpahkan demikian banyaknya lendir kemaluannya ke
mulutku.
Sementara Pak Dwi masih tergolek,
aqu menyiapkan air panas untuk mandi. Kini jam menunjukkan pukul 10 malam. Kami
telah berasyik masyuk tanpa jeda selama hampir 2 jam. Dan kepuasan klimaks yg
telah kuraih, benar-benar sebab pasanganku, Pak Dwi yg sangat mengenal seninya
bercinta. Dia sungguh menikmati setiap detail cinta yg kupersembahkan padanya.
Entah itu berupa sentuhan, pijitan, kecupan, jilatan, sedotan dan gigitan yg
telah kulaqukan pada lembah dan bukit-bukit badannya ataupun yg sebaliknya dia
laqukan pada badanku.
Aqu juga sangat kagum betapa
semua ulahnya langsung mendongkrak saraf-saraf erotisku. Hanya dgn permainan
jarinya pada klitoris serta dinding-dinding dalam kemaluanqu, Pak Dwi telah
melemparkanku ke langit kenikmatan yg sangat tinggi, sampai aqu bisa meraih
klimaksku. Aqu sangat puas. Aqu jadi teringat Mas Graha. Kamu juga bisa Mas,
pasti bisa kalau kamu tak egois. Aqu telah membuktikan, bahwa kepuasan bukan
semata-mata diperoleh sebab ketampanan atau kecantikan, muda, besar ataupun
panjangnya ukuran, tetapi lebih kepada wawasan, kecerdasan, sikap toleransi
untuk tak egois, selera dan kepekaan, daya imajinasi, kreatifitas dan kemauan
yg serius. Aqu ingin berterus terang Mas, kalau saja aqu diberikan kesempatan,
aqu selalu siap menolongmu.
Segarnya air panas. Aqu
membersihkan semua sisa-sisa persebadananku tadi. Lendir mani dalam kemaluanqu
belum sepenuhnya bersih, walaupun Pak Dwi telah menyedotnya tadi. Dgn kimono
lembut yg tersedia untuk sepasang tamu kamar mewah itu, aqu keluar dari kamar
mandi. Pak Dwi telah bangun, sedang duduk setengah telanjang di sofa. Lagi-lagi
aqu tetap tergetar menyaksikan bulu-bulu dadanya itu. Mungkin sebab baru kali
ini aqu mendapatkan dan merasakan nikmat birahiku pada saat tersentuh bulu-bulu
itu. Pak Dwi bangkit untuk mandi setelah sebelumnya dia menelepon room service
untuk menghidangkan makan malam yg menunya telah dia pesan bersamaan dgn
kedatangannya sore tadi.
Aqu mengeringkan rambutku.
Beberapa saat setelah kami mandi dan sama-sama memakai kimono lembut hotel ini,
terdengar bel pintu yg lembut. Pak Dwi membukanya. Dia persilakan para pelayan
menyiapkan perjamuan malam di ruang yg tersedia. Aqu beranjak ke beranda
menyaksikan lampu-lampu Jakarta. Aqu tak ingin bertemu dgn orang lain. Siapa
tahu saja di antara mereka ada yg mengenalku. Sekitar 10 menit kemudian Pak Dwi
menjemput dan menggandengku menuju perjamuannya. Wah, kulihat kemewahan Resto
Grand Hyatt pindah ke ruang kamar mewah Pak Dwi. Dgn lampu ruang yg cahayanya
difus (buram temaram), nampak lilin-lilin di meja perjamuan menjadi sedemikian
romantisnya. Aqu sepintas ingat kemewahan suasana makan di kapal Titanic yg
tenggelam itu.
Dgn latar belakang desah nyanyian
Julio Iglesias, penyanyi Latin yg seksi dan lembut pujaan jutaan wanita itu,
suasana dalam ruangan ini menjadi sedemikian fantastik dan eksotik. Aqu merasa
Pak Dwi sungguh-sungguh ingin memanjakanku. Aqu merasa sangat tersanjung juga
terharu. Sedemikian hebatnya dia menghargaiku. Entah benar atau tak kesanku
ini. Atau mungkin juga sekedar pernyataan kepuasannya pada kesediaanku untuk
mengulum kemaluannya tadi. Ah, tentu saja bukan. Bukankan makanan ini telah dia
pesan sejak awal kedatangannya tadi. Pak Dwi menarikkan kursi untukku.
Kusaksikan makanan serba laut yg mahal terhidang berlimpah di meja. Rasanya ini
makanan yg cukup untuk orang se-RT. Demikian banyak dan beragam. Ini semua
dimaksudkan untuk memicu dan memacu selera makan kami berdua.
Aqu lihat ada lobster dalam “chinese
cuisine” yg ditampilkan utuh dgn cangkangnya di atas dagingnya yg telah
diiris-iris. Ada kakap yg diiris tipis-tipis untuk dicelupkan dalam saus yg
spesial. Ada tumis sirip hiu yg dimasak dalam saus tomat dan arak china. Ada
tim kerapu yg pasti masih segar sebab berasal dari aquarium restoran hotel ini,
dgn daun bawang, seledri dan arak China juga. Di samping kananku, yg juga
sebelah kanan Pak Dwi, kulihat sup kepiting Alaska dgn abalone dan jamur China.
Ah, akau tak tahu lagi dgn yg lain. Aqu banyak tak tahu masakan apa saja ini.
Tetapi aromanya yg merebak memang langsung membuat perut kami jadi terasa
sangat lapar.
Dibuka dgn minum teh cina yg
pahit, Pak Dwi di seberang meja sana mengajakku untuk mulai melahap hidangan
perjamuan di meja. Di akhir perjamuan kulihat Pak Dwi meraih sebuah botol
berisi anggur, menuangnya satu sloki dan menenggaknya. Dia bilang itu adalah
anggur tua asli yg dicampur ramuan sehat dari China. Untuk menghargai
tawarannya, aqu minum satu sloki. Kurasakan nikmat dan sangat segar. Terasa
sedikit keras, tetapi lebih tepat jika disebut lembut. Badanku langsung merasa
hangat.
Selesai makan yg berlangsung
hampir 1,5 jam sebab juga diisi obrolan santai sana sini sampai makanan
benar-benar turun ke perut, kusampaikan pujian kepada Pak Dwi akan selera
pilihannya yg hebat pada jamuannya malam ini. Kusampaikan kagumku mengenai
lilinnya, Julio Iglesias-nya, lobsternya, kepiting Alaskanya, tumis sirip
hiunya, minuman anggur Chinanya dan sebagainya.
Dia hanya tersenyum. Kedua
tangannya meraih kedua bahuku yg kemudian bergeser turun menyusup masuk ke
kimonoku, yg memang tanpa kancing kecuali tali pinggang yg kuikat kendor. Dia
meraih dan merangkul pinggulku sampai membuatku langsung merinding oleh
sentuhan bulu-bulu tangannya itu. Kemudian dgn pandangan yg penuh makna dan
dalam, dia berbisik kepadaqu. “Bu Graha, semua ini tak ada artinya dibandingkan
keindahan dan kenikmatan yg telah dan akan saya rengkuh kembali darimu. Rekah
bibirmu, ranum buah dadamu, puting-putingmu, wangi ketiakmu, lembut bokongmu,
lembut lubang pantatmu, getas betismu, wangi pahamu, wangi selangkanganmu,
legit kemaluanmu, keras itilmu, gurih cairan birahimu. Bu Graha,
sungguh-sungguh kenikmatan surgawi yg aqu telah temukan di dunia. Saya, Bu
Graha, akan terus menerus memendam hasrat birahi pada Ibu Graha sepanjang hayat
saya. Akan selalu merindukan indah dan nikmatnya celah, lembah dan bukit-bukit
yg Bu Graha miliki ini. Tak ada kata-kata yg sepadan untuk mengucapkan
kenikmatan yg kurasakan selama 2 jam terakhir bersama Bu Graha ini”. Kemudian
dia mencium dan melumat lidahku sambil tangannya meremas bokongku.
Wow, aqu mabuk kepayg oleh
romantisnya Pak tua ini. Nafasku seketika terasa sesak. Aqu berada dalam
keadaan antara tersipu, terharu dan tersanjung. Kalau toh ini semua semata
sikap emosi romantisnya Pak Dwi, bagaimanapun ia telah mengucapkannya secara
langsung dan lugas kepadaqu sampai pantaslah apabila membuatku yg saat ini
bagai tawanannya bertekuk lutut padanya. Aqu sungguh-sungguh sangat tersipu,
sangat terharu dan sekaligus sangat tersanjung.
Selepas mencium dan melumat
bibirku, tanganku beranjak menyusup ke celah kimononya. Aqu memeluk badannya.
Kusandarkan kepalaqu pada dadanya yg penuh bulu itu. Saat bibirku menyentuh
puting susunya, secara refleks aqu mencium kemudian mengulum dan menggigit
kecil putingnya itu. Bulu-bulu badannya yg lekat pada badanku semakin membuat
mabuk kepaygku tak tertolong lagi. Aqu menciumi dada Pak Dwi sambil merintih
lembut. Demikian pula Pak Dwi mengeluarkan desahan beratnya sambil tangannya
menyapu rambutku. Masih kudengar samar-samar rayuan Julio Iglesias tadi.
Pelan, sambil terus saling
berpelukan dan melumat, kami beringsut menuju peraduan. Begitu melewati ambang
pintu ruang makan, Pak Dwi merengkuh punggung dan pahaqu kemudian mengangkatnya,
menggendongku. Dibawanya aqu dan direbahkannya ke ranjang. Aqu merasa,
sekaranglah perjamuan besar yg sesungguhnya bagi Pak Dwi. Aqulah yg akan jadi
santapan utama perjamuannya. Dan yg 2 jam pertama tadi hanyalah “apetizer” atau
makanan pembuka bagi beliau untuk mengawali jamuan besarnya sekarang ini. Bagai
kijang yg telah lumpuh oleh panah beracun cinta yg dilepaskan Pak Dwi, aqu
sepenuhnya menjadi tawanan birahinya. Dan aqu sendiri memasuki ambang
kenikmatan penyerahan diri. Suatu bentuk kenikmatan hasrat birahi yg hadir
sebab ketak mampuan untuk berkata “tak” sebab dgn penyerahan diri tersebut aqu
sedang menyongsong pucuk-pucuk birahiku yg penuh kenikmatan.
Tanpa ada yg dilepaskan dari
badan-badan kami, aqu dan Pak Dwi kembali bercumbu. Ternyata dia tak langsung
menindihku sebagaimana yg kubaygkan sebelumnya. Aqu diseretnya ke tepian
ranjang sampai setengah kakiku terjuntai. Pak Dwi bersimpuh di lantai meraih
kakiku dan mulai mencium. Mulai dgn kaki kiriku, bibir dan lidah Pak Dwi
menyisiri telapak kaki, betis dan jari-jari kakiku. Lidahnya menari di antara
celah-celah jari kakiku dan bibirnya mengulum. Gelinjang yg sangat dahsyat
langsung menerpaqu. Aqu tak bisa menghindar untuk tak menggeliat-geliat.
Kegelian yg amat sangat menyerangku pada setiap jilatan dan sedotan bibir Pak
Dwi. Puas menggauli telapak, tumit dan jari kaki kiriku, ganti tangannya meraih
kaki kananku. Dia melaqukannya seperti yg sebelumnya dilaqukannya pada kaki
kiriku. Dan kembali aqu menggeliat menahan kegelihan yg amat sangat. Aqu juga
mendesah dan merintih, meminta agar Pak Dwi menghentikan manuver bibir dan
lidahnya. Tapi tentu saja tak bisa, kenikmatan yg demikian saja dipotong di
tengah jalan. Justru desahan dan rintihan serta gelinjang kaki-kakiku memacu
hasrat Pak Dwi naik semakin menggila. Entah berapa kali aqu dgn tanpa sengaja
menendang mukanya.
Setelah puas menciumi dan
menjilati kakiku, bibir dan lidahnya merambat ke kedua betisku. Betisku yg
getas (keras tetapi mudah patah, atau pecah, sebagai gambaran ttg betisku yg
sekal tetapi sangat peka terhadap berbagai sentuhan lelaki) dia lumat sampai
kuyup oleh ludahnya. Kegelian yg amat sangat segera menyerangku setiap kali
lidahnya yg terasa sedikit kasar itu menyapu pori-pori betisku. Ketika dia
terus naik menuju ke kemaluanku sebagai pusat kenikmatan dunia digigitnya
lututku. Langsung kakiku berontak kegelian. Tangan-tangannya yg kuat menahan
kakiku, sementara bibir dan lidahnya terus melumat lututku. Aqu sangat tersiksa
rasanya. Seluruh punggungku seperti dirambati jutaan semut, bulu kudukku
berdiri. Perasaan sangat merinding merata pada bagian belakang badanku. Kini
tangankulah yg kuharapkan bisa melepaskanku dari siksaan yg nikmat ini. Aqu
bangkit setengah duduk. Kurenggut kepala Pak Dwi dan menolaknya dari ciuman di lututku.
Tetapi aqu tak cukup kuat, wanita ringkih lemah seperti aqu ini melawan
ganasnya beruang yg menancapkan rahang-rahangnya pada lututku ini. Tapi aqu
terus melawannya, berusaha menendangnya, berusaha melepaskan diri dari
cengkeramannya.
Setelah dari lututku, wajah Pak
Dwi merangsek ke atas lagi. Dgn tangan-tangan kuatnya yg memegang erat-erat
kedua pahaqu, kembali bibir dan lidah Pak Dwi melumat pahaqu.
“Ooouuhh, jangan, jangan! Aqu
bencii, aqu benci kamuu Dwio! Setaann kamu Dwio!”.
Aqu melupakan rasa hormatku pada
Pak Dwi, mengumpat sambil berontak sejadi-jadinya. Aqu mengumpat meracau
layaknya wanita kemasukan jin. Suaraqu menjadi parau kehabisan suara.
Untunglah, Pak Dwi tenang saja. Sangat paham dan tenang. Hebat. Terus saja dia
melaqukan hal tersebut. Dia menjadikan dirinya seorang sadistis yg menikmati
penderitaan dan kesakitan orang lain. Dan disinilah aqu menemukan apa yg
disebut sebagai “sensasi birahi”. Mungkin bagi Pak Dwi yg telah matang dalam
petualangan seksnya, dia tahu persis dan sering mengalami reaksi lawan cumbunya
seperti begini. Sikapnya yg tenang merupakan bentuk toleransi birahinya agar
lawan cumbunya berkesempatan meraih sensasi erotiknya.
Bagiku sendiri, dalam instingku
yg sangat jauh, semua upaya perlawananku sebenarnya bukan untuk membuat lawanku
menyerah. Semua perlawananku itu adalah merupakan ungkapan kenikmatan tak
tersampai yg disebabkan hasrat birahi yg melemparkanku jauh ke langit, ke
bintang-bintang nikmat tak terperi. Kenikmatan yg menghempaskanku, jiwaqu,
saraf-saraf pekaqu, darahku sampai ke titik yg paling ekstrim.
Seandainya saja sebab kurang
pengalaman dan pemahamannya, kemudian Pak Dwi menuruti kemauan berontakku,
pasti aqu akan jatuh pada kekecewaan yg berkepanjangan. Bukankah kita sering
mendengar, bahwa seorang istri baru bisa meraih klimaksnya pada saat dia
diperkosa. Lelaki-lelaki kasar, penuh keringat dan debu telah memperkosanya.
Semua perlawanannya sia-sia. Kemaluan lelaki itu dipaksakannya menembus
kemaluannya. Dan pada saat kemaluannya telah tenggelam dilahap kemaluan sang
istri tersebut, dan sang pemerkosa mulai dgn kasarnya mengayun dan memompa
kemaluannya ke kemaluannya, baru sang istri tersebut mendapatkan kenikmatan yg
tak terpana. Selanjutnya sang istri ketagihan. Tetapi suaminya tak pernah bisa
memberikannya, walaupun suaminya tampan, bersih dan rapi. Tetapi tak lagi mampu
memicu birahi istrinya. Mungkinkah hal seperti itu juga mengidap pada diriku?
Pak Dwi tak menyelesaikan ciuman
dan jilatannya sampai beliau mendekat ke pangkal pahaqu. Dia lepas ikatan
kimonoku. Dgn agak kasar dia balikkan badanku agar tengkurap. Dan dia merangkak
diatasku. Dia menuju punggungku. Dia cengkeram bahuku. Dia gigit kudukku.
Sekali lagi sebab gelinjang birahiku, aqu berusaha berontak. Untung saja tangan
Pak Dwi sangat kuat menjeratku. Ditindihnya aqu dgn badannya yg berbobot 75 kg
itu. Dan sedikit banyak hal itu telah membuatku benar-benar kesakitan dan
menyesakkan nafasku.
Tetapi saat bibir dan lidah Pak
Dwi kembali melumat-lumat, sampai seluruh dataran serta lembah punggungku basah
kuyup oleh ludahnya, segala siksaan tadi lenyap berubah menjadi nikmat birahi
yg sangat kurindukan. Dgn terus merangsek tangan-tanganku agar tak memberontak,
ciuman dan jilatan Pak Dwi melata ke pinggulku. Betapa tak tertahankan
kegelianku. Di tempat ini, di pinggulku sedemikian banyak saraf-saraf peka
birahiku. Aqu hanya bisa berteriak mengaduh. Umpatanku tak lagi muncul. Hanya
teriakan sebab deraan nikmat yg terus memenuhi kamar President Suite Pak Dwi
ini. Dan kembali kudapatkan sensasi erotik, saat tangan-tangan kuatnya membelah
bukit pantatku disusul kemudian lidah Pak Dwi menjilati duburku. Pak Dwi yg
boss besar kantor suamiku ini, kini sedang menjilati lubang pembuangan istri
anak buahnya. Lidahnya yg besar dan panjang mencuci analku. Kerut-kerut analku
di sedot-sedotnya. Lubang analku disedot-sedotnya. Kemudian aqu
ditunggingkannya agar lubang pantatku menjadi lebih terbuka sampai seluruh
wajah Pak Dwi mudah tenggelam ke dalamnya.
Aqu telah lelah menggeliat dan
berteriak. Suaraqu telah parau. Aqu hanya bisa menangis sekarang. Aqu menangis
sebab rasa berjuta nikmat yg berbaur. Aqu menangisi rasa nikmatku. Di sini aqu
mulai merasakan bahwa impianku akan hadir kembali. Rasa ingin kencing yg
mendesak dari dalam kemaluanqu menandakan bahwa aqu telah dekat dgn klimaksku.
Rasa ingin kencing itu terus menanjak. Aqu seakan melihat dataran pasir yg
empuk dan luas. Aqu melihat kedamaian dan kelegaan birahi. Aqu ingin mendarat
di atasnya. Kurasakan kesempatan klimaksku ini hadir semakin melaju menuju
ambangnya. Kuisyaratkan pada Pak Dwi. Aqu menaikkan pantatku menjemput
jilatan-jilatan lidahnya. Aqu menaik-naikkan pantatku dan meregangkan
kaki-kakiku menahan nikmat gatalnya kemaluanku sebab menahan keinginan
kencingku. Pak Dwi langsung memahaminya.
Dia bangkit berdiri di belakang
analku. Kemaluannya yg keras lurus ke depan dia sodorkan ke bibir kemaluanqu.
Kurasakan kemaluannya melekat dan kemudian dgn sedikit dorongan yg berulang,
kemaluannya amblas ditelan kemaluanqu. Aqu seperti akan pingsan menerima
kenikmatan ini. Seperti anjing jantan pada betinanya, Pak Dwi setengah berdiri
memelukku dgn kemaluannya menerjang kemaluanku. Mulailah ayunan dan pompaan
kemaluan Pak Dwi keluar masuk ke kemaluanku. Aqu menggoyg-goyg dan maju mundur
mengimbangi iramanya yg sangat membuatku kegatalan di seputar kemaluanqu. Terus
terang inilah salah satu posisi favoritku. Aqu merasakan kenikmatan yg maksimal
dgn posisi begini. Baygkan saja, bukankah kemaluan yg ngaceng cenderung mencuat
ke atas dari akarnya. Saat menggosok dalam kemaluan, kemaluan seperti itu
menggelitik dinding atas kemaluanqu dgn lebih kuat sampai titik pekaqu rasanya
di garuk dgn ulek-ulek sambal yg besar. Kemudian dalam posisi “Doggy Style”
ini, kemaluanqu cenderung lebih sempit mengetat. Jadi semua urat-urat pekaqu
akan lebih mencengkeram kemaluan siapapun yg menembus kemaluanku. Saygnya Mas
Graha tak bisa melaqukan cara seperti ini. Sebab kemaluannya yg terlampau kecil
tak akan mampu melewati bongkahan pantatku yg gede ini. Maka yg akan terjadi
adalah, kemaluannya hanya akan sedikit menyentuh gerbang kemaluanqu. Kemaluan
Pak Dwi yg jauh lebih panjang dan besar langsung bisa menggelitik tepi-tepi
bibir rahimku.
Aqu jadi binal. Kegatalanku
sangat merasuk dalam kemaluanqu. Aqu ingin menggaruknya. Kugoygkan pantatku
maju mundur sesampai gesekan batang kemaluan Pak Dwi benar-benar kurasakan
seakan-akan melumat dinding kemaluanqu. Aqu mendesah dan merintih setiap kali
Pak Dwi menusuk maupun menarik kemaluannya. Aqu kagum dgn stamina Pak Dwi. Apakah
ini berkat minuman anggur Chinanya tadi? Apakah juga rasa birahiku yg semakin
meninggi disebabkan satu sloki anggur yg disodorkan Pak Dwi kepadaqu tadi?
Mungkin saja. Badanku merasa lebih panas dan aliran darahku yg lebih cepat
benar-benar membuat birahiku meletup-letup dan aqu seakan kewalahan dalam
melawan kegatalanku sendiri yg hebat melanda kemaluanku.
Desakan birahiku yg semakin
menghebat disebabkan kegatalan tak terkira dari kemaluanqu membuatku menjadi
liar dan buas. Aqu lupa daratan. Aqu ingin jadi penguasa. Aqu ingin Pak Dwi
menuruti mauku. Aqu ingin Pak Angoro diam telentang dan biar aqu saja yg akan
memperkosanya. Aqu benar-benar tak tahan lagi. Aqu bangkit. Dgn tetap
mempertahankan kemaluan Pak Dwi dalam kemaluanku, aqu membelakanginya dan mencoba
memompa dan menaikturunkan pantatku ke kemaluannya. Kuraih leher Pak Dwi yg
diresponsnya dgn menjemput dan langsung memeluk buah dadaqu sambil bibirnya
mendekat ke bibirku. Kami saling berpagu dan melumat-lumat.
Pompaan pantatku diterima Pak Dwi
dgn erangan bak serigala yg mendapatkan mangsa dan dgn taring-taringnya merobek
daging-dagingnya dgn buas. Dgn keliaran dan kebuasan hasratku, aqu akan
mengubah posisiku. Aqu menginginkan apa yg menjadi keinginanku. Kulepaskan
kemaluan Pak Dwi dari kemaluanqu. Kudorong dia agar telentang di kasur.
Kemudian kunaiki badannya yg besar itu. Aqu beringsut sampai kemaluannya berada
tepat di bawah kemaluanqu. Kuraih dan kuarahkan kemaluannya ke lubang
kemaluanku. Kemaluanku yg menyempit membuat terobosan kemaluan Pak Dwi tak
langsung bisa tertelan kemaluanqu. Aqu harus lebih menekannya dgn sekaligus
menggeliat kecil memutar pantatku. Dgn cara itu lubang kemaluanqu akan lebih
longgar. Dan akhirnya kemaluanku dapat menelan seluruh batang kemaluan Pak Dwi.
Dalam posisi ini aqu melaqukan
gerakan “tekan dan maju-mundur”, sambil menekan lebih ke bawah, pantatku maju
mundur untuk membuat batang keras Pak Dwi bisa seakan menggaruki gatalnya
rongga kemaluanqu yg dipenuhi peka birahi, dan Pak Dwi akan merasakan nikmat
kemaluannya yg dilumat-lumat kemaluanku. Inilah kenikmatan yg sama-sama
dirasakan oleh Pak Dwi dan aqu. Kegatalan yg tetap meruyak dalam kemaluanqu
memaksaqu mempercepat goygan pantatku. Bahkan Pak Dwi kuminta tak bergerak agar
dapat lebih merasakan betapa kemaluanqu meremas dgn ketat kemaluannya. Dan Pak
Dwi patuh saja, sebab dgn cara itu dia telah merasakan kenikmatan luar biasa
tanpa harus melaqukan gerakan yg melelahkan. Aqu juga melaqukan “tekan dan
putar”, dgn cara menekan kemaluanku ke bawah lebih keras kemudian memutar-mutar
pantatku. Dgn cara itu aqu dapat menikmati bagaimana kemaluan Pak Dwi
“mengobok-obok” rongga kemaluanqu, dan Pak Dwi merasakan nikmat kemaluannya yg
diremas-remas oleh kemaluanqu. Dua cara tersebut kujadikan andalan di samping
sesekali juga melaqukan “pompa naik turun” atau pompa maju-mundur” yg selalu
berulang kulaqukan.
Variasi dan selang-seling teknik
di atas akan menghasilkan sejuta nikmat birahi. Apalagi dalam melaksanakannya
dibarengi dgn permainan remasan tanganku pada dada, ketiak dan pinggul Pak Dwi,
dan sebaliknya remasan tangan-tangan Pak Dwi pada pinggulku dan buah dada serta
puting-putingku. Sungguh kenikmatannya tak akan pernah kami lupakan. Kami
secara berbarengan menjerit, mendesah, merintih dan mengerang. Dan lahirlah
simfoni gerak dan suara-suara erotik bagaikan operet birahi oleh dua “artis
penikmat seksual” yg sangat gaduh dalam kamar mewah President Suite Grand Hyatt
Hotel itu. Dan akibatnya adalah aliran darah kami yg semakin cepat terpacu,
birahi kami terbakar menyala-nyala. Kami bergerak mendekati keliaran.
Semua remasan, desahan, pompaan,
sedotan, gerakan maju-mundur, sedotan, semuanya menjadi tingkah laqu yg cepat
dan kasar. Simfoni bibir-bibir kami menjadi racauan tak terkendali. Saling
melukai, saling mencaci dan mengumpat dgn mata-mata kami yg terbeliak sebab
kesetanan birahi kami sendiri.
“Ayo Bu Graha pelacurku,
sundalku, nikmat mana kemaluanku dan kemaluan Graha? Ayoo Buu jawab.., nikmat
manaa.., hah?”.
“Aaayoo Dwio, teruzz, kemaluanmu
enhhaakk.., teruzz, Dwio.., anjingkuu.., terusszzhh”.
Entah apa lagi. Semua kata-kata
begitu saja terlontar tanpa taqut akan ada sanksi sopan-santun maupun etika dan
batas kesopanan. Semua kata-kata itu menjadi begitu indah dan nikmat di
telinga-telinga kami.
Dan disinilah “puncak jamuan
malam” bagi Pak Dwi dan “puncak nikmat pesta perselingkuhan” bagiku, sama-sama
kami raih. Rasa ingin kencingku yg sedari tadi telah mengalir membahana dan
rasa ingin muntahnya kemaluan Pak Dwi yg menerima kombinasi serangan nikmat
dari kemaluanku secara bersamaan mewujud. Dgn teriakan keras mirip lolong
serigala lapar di malam hari dari mulut lupa diri Pak Dwi serta teriakan keras
penuh beban histeris dari mulutku, Pak Dwi memuntahkan spermanya. Dan cairan
birahiku pun meledak tumpah ruah, mewujudkan klimaksku yg paling nikmat yg
pernah kudapatkan.
Gerakan kami tetap terus meninggi
sampai kami berdua benar-benar tak menyisakan apapun pada badan-badan kami.
Seakan badan-badan kami secara menyeluruh mencair menjadi sperma dan cairan
birahi. Kemudian segalanya hilang, lumpuh dan sunyi. Seperti laiknya orang
jatuh pingsan, segala yg kami pegang terlepas. Tangan-tangan kami, jepitan dan
penetrasi kami lumpuh kendor dan lepas. Kami jatuh ke ranjang. Terlena dan
pulas. Kami tertidur.
Saat aqu terbangun sebab kedinginan
ruang AC kamar, kusempatkan untuk turun membuang air kecil. Kulihat Pak Dwi
telah meringkuk dalam selimutnya. Kemudian aqu kembali tertidur. Kami terbangun
sekitar pukul 9 pagi. Cahaya matahari yg hangat terasa menembus celah-celah
tirai gorden hotel mewah ini. Aqu menggeliat dan melepas senyum pagiku pada Pak
Dwi yg telah bangun lebih dahulu dan sedang membaca koran pagi di sofa. Dia
lempar koran itu dan menyongsongku rebah kembali ke “ranjang pengantin” kami
malam ini. Dia jemput bau kecut badanku. Dia cium aqu. Dia cium ketiak, buah
dada, perut maupun pahaqu. Dia jilat dan kulum betis dan jari-jariku. Itulah
“ucapan selamat pagi” Pak Dwi padaqu. Aqu seakan putrinya yg baru terbangun
setelah selama seribu satu malam terlena dalam ayunan sihir nenek sakti. Aqu
sangat bahagia dan perasaan tersanjungku terbit di pagi hari saat aqu bangun
ini.
Kuambil dan kupakai kembali
kimono kamar tidurku. Aqu bangkit menyusulnya duduk di sofa. Dari kursinya, Pak
Dwi menghubungi room service. Dia minta 2 American breakfast dgn masing-masing
double, telur setengah matang campur madu Arab. Kami saling mendekat,
mendekatkan badan. Aqu bersandar di dadanya. Pak Dwi memelukkan tangannya pada
dadaqu. Tak banyak kata-kata yg keluar dari mulut kami. Pikiran-pikiran kami berkelana
sesuai dgn apa-apa yg telah rutin dan biasa menjadi kehidupan kami. Aqu
teringat bunga di rumah yg seharusnya sedang kusirami pada jam-jam ini.
Tak sampai 10 menit, American
breakfast kami telah dihidangkan. Kami sarapan dgn tetap tak banyak berkata-kata.
Selesai sarapan aqu mandi. Air panas hotel mewah ini sungguh menyegarkan semua
sendi-sendi badanku. Keluar dari kamar mandi, kulihat Pak Dwi sibuk telepon
sana sini. Mungkin memang demikian kehidupan seorang eksekutif seperti dia.
Kemudian Pak Dwi pergi mandi. Selesai mandi, masih dalam kimono kami
masing-masing, kami kembali duduk di sofa. Dan kembali badan-badan kami saling
mendekat dan melekat. Kemudian kami saling berpagut. Saling melumat, bertukar
lidah. Sesekali Pak Dwi menggigit bibirku, dan aqu membalasnya. Tanganku
menyusup ke dalam kimononya. Bulu-bulu badannya tetap saja membuatku merinding
dan bergetar. Aqu sedikit mendesah.
Pak Dwi mengikuti tanganku,
menyusupkan tangannya memeluk badanku. Pagutan kami menjadi lebih intim. Dan
terdengar desahan-desahan kecil keluar dari mulut-mulut kami. Tanganku meremas
punggungnya. Tangan Pak Dwi mengelus punggungku. Kutempelkan buah dadaqu ke
dada berbulu Pak Dwi. Tiba-tiba terdengar bel di pintu. Pak Dwi bangkit
menghampiri. Kulihat seorang petugas dgn seragam dinasnya menyerahkan bungkusan
besar dalam tas kantong yg cantik dan secarik kertas tanda pengiriman barang
pada Pak Dwi. Setelah ditandatanganinya lembar kertas pengiriman itu, dia raih
bungkusan besar tersebut dan beranjak mendekatiku.
“Maaf Bu Graha, ini bukannya
apa-apa. Saya hanya memperkirakan bahwa Bu Graha perlu ganti gaun setelah gaun
yg kemarin lecek Ibu pakai. Coba lihat Bu. Mudah-mudahan pas buat Ibu”.
Ini merupakan bagian dari
sedemikian hebatnya Pak Dwi menghargaiku. Semua detail ia pikirkan. Rasanya
kalau aqu tolak akan mengurangi kebahagiaannya. Dgn hati-hati dan ucapan terima
kasih, kuterima bungkusan dalam tas kantong cantik itu. Aqu buka kertas
bungkusnya. Aqu temukan dos besar dgn tulisan tanda logo Oscar Lawalatta
Fashion. Ah, bukan main wawasan Pak Dwi pada trend mode yg disukai ibu-ibu
seusiaqu. Aqu pandang Pak Dwi dgn senyum bahagiaqu. Kemudian dos itu aqu buka.
Sungguh surprise bagiku. Ini sungguh luar biasa. Sutra Obin dalam jahitan
“houture couture” Oscar Lawalatta. Sungguh luar biasa bagiku. Aqu langsung
memperkirakan harga gaun seperti ini. Paling tak 5 juta rupiah Pak Dwi telah
membelanjakannya pada rumah fashion si Oscar. Kulihat, tak lupa juga nampak
bungkusan yg lebih kecil, pakaian dalam sutra pula berikut celana dalam dan
BH-nya. Aqu tak dapat menyembunyikan kegembiraanku. Kucium Pak Dwi di bibirnya.
Kusampaikan kekagumanku. Dan ukuran gaun itu, yg ternyata pas dgn ukuranku, M,
medium.
Untuk menyenangkan hatinya,
kuambil dan kurentang gaun Oscar itu. Terdiri dari 2 potong, rock & blus.
Sutra Obin, yg demikian lembutnya, dgn pola kembang berwarna hijau lumut dan
ungu menyebar pada latar kain berwarna merah muda. Oscar yg terkenal dgn gaya
sedikit liar, dimana bagian bawah sengaja diekspresikan bebas menampilkan bahan
baqu yg indah dari Obin, membuat gaun itu sangat berkarakter. Aqu senang dgn
hal-hal yg berkarakter seperti ini. Setelah kupantas-pantaskan di depan cermin
rias, aqu pamerkan pada Pak Dwi. Dgn selera humor yg kumiliki, aqu bergaya bak
peragawati di atas catwalk-nya. Kami berdua tertawa terbahak penuh ceria dan
bahagia di pagi itu. Sekali lagi kami saling merangkul dan berpagut. Aqu tahu,
Pak Dwi masih ingin menikmati badanku. Ciumannya melepas hasrat birahinya dan
tangannya menggerayg melepasi kancing-kancing baju Oscarku. Tali-talinya
dilepaskan dari ikatannya.
Dgn senang hati kuserahkan
badanku untuk dinikmatinya. Aqu masih tetap tawanannya dan aqu akan melayaninya
sampai dia benar-benar merasakan kepuasannya secara total. Aqu menyelinapkan
tanganku ke celana dalamnya. Dan kini kemaluannya yg hangat ada dalam
genggamanku. Dia menuntunku ke sofa besar. Aqu dipangkunya.
Pak Dwi melepas ikatan kimononya
sendiri sampai kami sama-sama setengah telanjang, hanya menyisakan celana dalam
kami. Wajahnya langsung tenggelam ke ketiakku. Dia jilat dan lumat-lumat
ketiakku. Kemudian merambat ke buah dadaqu berikut puting-putingnya. Aqu mulai
menggelinjang. Birahi segera merambati badanku. Apalagi saat bulu-bulu badan
Pak Dwi kembali menyentuh bagian-bagian badanku.
Aqu pasrah menerima serangan
ciuman dan jilatan di seluruh badanku. Kubiarkan Pak Dwi betul-betul seakan
melahap badanku. Aqu meraba, mengelus dan memijit kemaluannya yg semakin
mengencang dan membesar. Juga aqu meraba bagian peka badannya yg lain. Tangan
kananku mencoba meremas bokongnya yg gempal itu. Jari-jari tanganku mencoba
merambat ke analnya. Kuraba, bulu-bulu analnya sangat lebat sampai merimbuni
lubang analnya. Ingin rasanya aqu menikmati aroma wilayah ini. Aqu mendesah.
Pak Dwi merebahkan badannya ke sofa sambil menarik badanku yg membelakanginya.
Kemudian dia raih kaki kananku ke atas. Aqu tahu. Dia akan menembakkan
kemaluannya dari arah belakangku. Aqu mencoba membantu dgn meraih kemaluannya
untuk kuarahkan pada kemaluanku. Sambil saling berpagut dan melumat, kemaluan
Pak Dwi menembus kemaluanku. Kemaluanqu melahap seluruh batangnya. Kemudian dia
mulai memompa.
Saat itu dia berbisik di
telingaqu. “Bu Graha, aqu sangat mengagumi Ibu. Ibu sangat mempesona dan
berkarakter. Aqu selalu ngaceng kalau mengingat Ibu. Tadi malam aqu bangun dan
perhatikan Ibu yg telanjang. Oh, indah sekali. Aqu ingin lebih lama memandangi,
tetapi sebab AC kamar yg sangat dingin aqu tunda keinginanku. Aqu selimuti
Ibu”.
Aqu tak membalas perkataannya.
Aqu hanya melepas senyumku dan lebih melumatkan ciumanku. Aqu sangat senang dan
bahagia bertemu dgn lelaki seperti Pak Dwi. Bisa bercinta dgnnya. Dan dia
sangat menghormatiku. Dia telah menunjukkannya pada setiap servicenya bahkan
sejak awal pertemuan kami kemarin.
“Bu, Bu Graha mau nggak
kalau..?”, pertanyaannya tak diteruskan. Aqu hanya mendesah, “Heecchh..?”.
“Saya ingin sekali lagi ngentot mulut Bu Graha”, dia melanjutkan maksudnya.
Sekali lagi aqu tak menjawabnya
melalui kata. Aqu memeluknya dgn penuh semangat dan hasrat. Dan Pak Dwi yg
langsung tahu, bahwa aqu akan dgn segala senang hati melaqukan keinginannya.
Dia bangkit dan membopongku ke ranjang. Kali ini dia yg bergolek telentang. Dia
ingin aqu yg berperan aktif. Aqu sambut keinginannya. Aqu turun dari ranjang
dan berlutut meraih kaki-kakinya. Seperti yg dilaqukannya padaqu kemarin,
kulaqukan hal yg sama padanya sekarang. Dgn segenap perasaan dan kelembutan,
aqu mulai menjilat dan menggigiti kaki, jari-jari kaki, telapak kaki dan
tumit-tumitnya.
Pak Dwi menggelinjang. Dia
mengaduh-aduh kenikmatan. Tangannya meremas bantal di ranjang. Matanya
membeliak ke atas menerawang menikmati birahinya yg terlempar dan terayun-ayun
dalam alun gelombang samudra nikmatnya bercinta. Ciuman dan jilatanku merambati
kaki-kakinya. Betis, paha dan selangkangannya. Bulu-bulu itu sangat membuatku
bergairah. Aqu meremas-remas bagian-bagian badannya dgn penuh greget. Ciumanku
menyedot sampai meninggalkan cupang-cupang memerah di paha dan selangkangannya.
Aroma selangkangannya membuatku setengah gila menerima kenikmatannya.
Kubenam-benamkan mukaqu ke selangkangannya itu. Rambutku yg panjang beberapa
kali kusibakkan agar tak menghalangi isapan dan sedotan bibirku. Dan saat
mulutku mulai mengulum biji pelirnya, tangan Pak Dwi tak kuasa lagi untuk diam.
Diraihnya rambutku dan dihelanya ke atas sampai terasa pedih pada kulit
kepalaqu. Rambutku yg meruapakan mahkotaqu itu diremas-remasnya. Aqu sengaja
belum menyentuh kemaluannya yg telah menjulang keras dan kaqu. Batangnya penuh
dilingkari urat-urat dan kepalanya yg tegang mengkilat-kilat masih belum
menarikku untuk menjamahnya.
Ada keinginanku yg akan kulaqukan
terlebih dahulu. Ini adalah obsesiku yg terlahir tadi saat mulai bercumbu. Aqu
ingin menciumi lubang pantatnya. Aqu ingin menenggelamkan mukaqu ke celah
bokongnya yg telah kuraba bulu-bulunya yg sangat rimbun tadi. Dan puncak
keinginanku itu langsung didorong oleh gejolak libidoku. Kubalikkan badan Pak
Dwi yg tinggi besar itu. Kini aqu seakan berubah menjadi betina yg dgn liar dan
buasnya menggapai mangsanya. Tahu mengenai laba-laba betina yg akan dikawini
oleh laba-laba jantannya? Begitu sang jantan selesai melaqukan tugasnya, maka
seketika itu pula si betina akan merangsek dan menangkapnya. Ya, sang jantan
itu akhirnya dilahap dalam arti sebenarnya sebagai mangsanya.
Dan aqu telah ‘menangkap’ Pak
Dwi. Dalam tingginya birahi yg sedang melandanya, Pak Dwi akhirnya akan
menyerah terhadap apapun yg akan kulaqukan. Saat aqu menyaksikan pesona
bulu-bulu kelelakian yg tumbuh di mana-mana di badan Pak Dwi, hasrat betinaqu
muncul. Aqu langsung membenamkan diri di selangkangan belakangnya. Aqu cium dan
kujilati tempat itu. Dan aqu terus merangkak lebih ke atas. Aqu memintanya dgn
isyarat agar Pak Dwi menungging. Dan pesona bulu anal di celah pantat Pak Dwi
yg rimbunnya sampai menutupi analnya kini terpampang tepat di depan wajahku.
Celah pantatnya kurekahkan. Kulihat samar-samar lubang duburnya. Kudekatkan
wajahku. Aqu mulai menciuminya. Semerbak bau analnya langsung menyergap
hidungku. Aqu telah lupa daratan. Kubenamkan saja hidungku ke dalamnya. Lidahku
menari-nari mencari lubang itu.
Pak Dwi mengaduh. Tangannya
menggapai-gapai untuk meraih kepalaqu. Aqu tahu, dia ingin agar aqu lebih
membenamkan kepalaqu lagi ke dalam bokongnya. Sementara itu tangan kiriku
meraih kemaluannya yg menggelantung. Tetap tegang. Kukocok kemaluannya itu
pelan. Kuelus kepalanya, jari-jariku meraba lubang kencingnya. Rupanya Pak Dwi
telah menemukan puncak dari segala puncak nikmat birahinya. Dia langsung
mengambil alih perananku. Dia kembali menjadi penguasaqu. Dan aqu kembali
tunduk pada kemauannya. Dia balik telentang.
“Aqu mau keluarr.., Bu Grahat..,
isep kemaluanku, Buu.., ayyoo isepp Buu..”.
Ah, saatnya datang. Kraih
kemaluannya dan kugenggam. Kudekatkan bibirku. Aqu mulai menyapu kepalanya dgn
jilatan-jilatanku. Kemudian kutelan kepala dan batang itu. Aqu tahu, kalau
telah seperti ini, Pak Dwi tak akan mungkin mampu bertahan.
Dan saat cairan lendir panas
menyemprot langit-langit mulutku, dgn teriakan histeris keras, Pak Dwi kembali
meremas-remas kepalaqu. Pantatnya diangkat-angkat sampai menyodok
tenggorokanku. Aqu terus memompanya dgn mulutku sampai tangan Pak Dwi merenggut
kepalaqu.
“Telah, telah Bu. Aqu nggak
tahan. Ngilu banget rasanya, Bu.., lepaskan Bu Grahat.., oohh”. Kulepaskan
kemaluannya dari mulutku. Aqu kecapi spermanya di mulutku. Dan kemudian
kutelan. Wow, sarapan keduaqu.
“Ah, maaf Bu Graha. Sakit ya?”,
tangannya mengelus kepalaqu.
Aqu menggeleng sambil merapat dan
mencium dadanya. Aqu masih terbawa emosiku. Rasa erotisku masih sampaip pada
badanku. Tapi aqu tak akan memaksakannya pada Pak Dwi agar membuatku menerima
kemurahannya dan meneruskan cumbuannya setelah spermanya tumpah ini. Aqu
sendiri cenderung bersikap menggantung. Biarlah kusimpan untuk kesempatan yg
lain saja.
Disinilah kelebihan seorang
wanita. Dia telah cukup puas jika telah melihat pasangannya dapat menikmati
kepuasannya. Itu merupakan kepuasan utamanya. Dan untuk para lelaki egois,
menganggap hal itu masalah biasa. Dianggapnya memang para wanita tak terlalu
memerlukan klimaks pada setiap persenggamaan. Dan toh memang terbukti,
anak-anak tetap lahir, kehidupan rumah tangga tetap berjalan seperti biasa dan
sebagainya dan sebagainya. Tapi Pak Dwi ternyata memang berbeda. Dia masih
berusaha merespons ciumanku di dadanya. Hanya saja naluriku telah berkata untuk
mencukupkannya dulu. Aqu katakan pada Pak Dwi bahwa rasanya badanku telah lelah
dan ingin agar pertemuan ini segera ditelahi. Dia dapat memakluminya.
Dia telepon ke front office untuk
segera check out dan agar disiapkan administrasi pembayarannya. Aqu pergi mandi
sekali lagi. Aqu perlu meyakinkan diri bahwa aqu dalam keadaa segar dan bersih
saat aqu pulang nanti. Ketika Pak Dwi juga telah kembali merapikan diri dan
siap pulang, dia mendekatiku. Dari saqu celananya, dia keluarkan amplop putih
yg menggembung.
“Maaf Bu Graha, aqu ingin
menyatakan rasa bahagia dan terima kasihku. Ini sama sekali bukan pembayaran,
Bu. Ini adalah kebahagiaan yg ingin kushare bersama Ibu. Terimalah”.
Aqu tahu dia memberiku uang. Kali
ini aqu menolaknya. Kusampaikan bahwa aqu juga senang dgn apa yg telah kami
alami bersama, bisa saling bertemu dan meraih kenikmatan bersama. Kukatakan
bahwa apa yg telah ditunjukkan dan diberikannya padaqu sangat luar biasa
untukku. Kukatakan juga bahwa aqu merasa sangat dihormati, dihargai dan aqu
merasa sangat tersanjung sebabnya. Aqu tak pernah dan tak akan pernah
mengaitkan hal-hal seperti ini dgn urusan uang. Kukatakan bahwa sebenarnya aqu
adalah “penikmat seksual” dalam arti sebenarnya. Aqu tak harus mencari yg
tampan, kaya dan sebagainya. Aqu akan suka pada siapapun yg memang kusuka. Dan
itu semua harus ada nilai seninya. Nilai seni bercinta. Dan tak seorangpun
mampu membeli kenikmatan seni bercinta itu.
Pak Dwi memandangiku. Dia nampak
mengagumi cara pandangku pada kehidupan seksualku. Dia baru memahami bahwa
demikianlah aqu adanya.
“Ah, maaf Bu Graha mengenai
masalah villa Bogor itu. Dgn ucapan Ibu barusan, rasanya saya keliru kalau
berprasangka buruk pada Ibu. Maafkan saya, Bu”.
“Tetapi, janganlah Ibu tolak
kebahagianku ini. Dgn pemahamanku mengenai bagaimana Bu Graha memandang seni
cinta tadi, aqu semakin menghormati Ibu dgn sepenuh hati saya”.
Dan Pak Dwi tetap memaksaqu untuk
menerimanya. Akhirnya aqu membiarkannya saat amplop itu disisipkan ke kantong
plastik indah dari Oscar, yg sekarang fungsinya adalah untuk membawa pulang
pakaian kotorku. Kami sepakat, Pak Dwi akan mengantarku sampai ke lobby Sogo
Departement Store dalam bangunan yg sama dgn Grand Hyatt Hotel ini di lantai
bawah.
Sebelum benar-benar keluar pintu
kamar, sekali lagi kami saling berpagut dan melumat cukup lama. Pukul 2 siang
aqu telah di rumah. Ada beberapa surat yg disisipkan ke bawah pintu. Saat aqu
mengeluarkan pakaian kotorku ke mesin cuci, kutemukan amplop pemberian Pak Dwi.
Tebal juga. Kutengok isinya. Oohh.., tak salahkah ini..? Kudapati 2 ikat 100
ribuan rupiah dan 7 lembaran 100 US dollar-an. Bukankan ini artinya senilai
lebih dari 25 juta rupiah Pak Dwi telah membagi ‘kebahagiaannya’ untukku. Wow,
bukan main orang itu. Bukan berarti aqu bahagia sebab kemaluanku telah dapat
menghasilkan uang sebanyak itu, tetapi yg kurasakan adalah adanya getaran
erotis saat memegang ikatan-ikatan uang itu. Bagaimanapun uang itu memang ada
kaitannya dgn kemaluanku yg sempat dinikmati lelaki lain yg bukan suamiku. Dan
untuk kenikmatan yg didapatkannya itu, dgn senang hati dia mengeluarkan uang
sebanyak itu untukku. Kemana harus kusimpan ini? Tentu aqu tak ingin
diprasangkai oleh Mas Graha dgn uang sebanyak ini. Menyenangkan sekaligus
membingungkan. Ah biarlah, untuk sementara uang ini tak akan kugunakan. Akan
kumasukkan saja ke rekening bank-ku. Mungkin ini juga merupakan rejekiku yg
harus kubagikan pada orang lain yg lebih memerlukannya.
Dan sesuai dgn janji Pak Dwi,
sekitar 10 hari sepulang bertugas dari Kalimantan yg dinilai sukses oleh
perusahaan, Mas Graha kemudian diangkat menjadi Wakil Direktur. Hal itu terjadi
20 hari lebih cepat daripada yg pernah dibicarakannya padaqu. Saat pengangkatan
jabatannya yg baru, semua jajaran karyawan perusahaannya hadir untuk memberikan
selamat pada Mas Graha dan juga kepadaqu sebagai istrinya.
No comments:
Post a Comment