Wanita-wanita “penjaja cinta” yg satu ini rada berbeda.
Mereka menerima panggilan lelaki hidung belang sampai ke laut. Praktek
prostitusi di laut bagi mereka memang lebih menggiurkan. Apalagi kalau bukan
tarif yg lebih mahal, karena pelanggannya orang bule. Pendapatan satu kali
kencan bisa sampai tiga kali lipat ketimbang praktek sejenis di darat.
Wanita-wanita muda berusia 19 sampai 26 thn ini langganan kapal-kapal bule yg
kebetulan berlabuh di laut Balikpapan atau perairan sekitar.
SUATU sore, pertengahan Juli lalu, beberapa hari sebelum
bulan puasa. Sekitar pukul 15.00 Wita, Sulis (33) — bukan nama sebenarnya —
stand by dgn speedboat-nya di pelabuhan rakyat Kampung Baru-Mamuju, Balikpapan
Barat. Dia tengah menunggu sekelompok wanita muda yg memesannya untuk
mengantarkan mereka ke laut Balikpapan.
“Ada kapal bule, Mas. Biasa anak buah kapalnya (ABK) mau
santai,” kata bapak anak dua yg ketika itu mengenakan topi, seluar pendek jeans
biru dipadu kaos garis-garis berkerah. Selang 20 menit, sebuah taxi tiba di
kawasan pelabuhan rakyat itu.
Empat wanita muda berdandan modis turun dari taxi, lalu
berjalan menuju tempat Kaltim Post dan Sulis menunggu. Aroma parfum segar
menyeruak ke rongga hidung ketika keempat wanita itu mendekat. Dandanan mereka
tidak mencolok perhatian. Mengenakan kaos serta seluar panjang jeans, sepatu
hak tinggi dan menenteng tas.
“Maaf, Bang, tadi agak macet depan Rapak Ramayana, lama
nunggunya ya,” kata Tisya –bukan nama sebenarnya. Tisya inilah yg awalnya
mengontidak Sulis untuk diantar ke sebuah kapal bule yg memesan mereka. Wajah
Tisya cantik. Kulitnya putih dgn rambut panjang yg dibiarkan terurai.
“Ah, gag apa-apa, kita berangkat sekarang atau ada yg
ditunggu lagi?” kata Sulis, ramah.
“Sekarang saja, kita berempat saja kok,” jawab Tisya.
Speedboat dipacu Sulis dgn kecepatan normal menuju arah
utara. Sekitar 15 menit kemudian, rombongan kecil ini telah mendekat pada kapal
besar yg mengangkut beberapa crane. Kapal itu sedang lepas jangkar.
Di pagar anjungan kapal, tiga lelaki bule berusia 30 thnan
berkulit putih, menanti. Tampilan mereka santai, ada yg mengenakan seluar
pendek selutut ada pula mengenakan pakaian safety yg berupa baju terusan
seluar.
Setelah mesin dibuat normal, speedboat mengikuti gerakan
gelombang perlahan merapat ke sisi kanan belakang kapal. Dari speedboat, tinggi
kapal itu sekitar 10 meteran. Tangga monyet diturunkan oleh seorang ABK. Tangga
berupa tali putih yg mengikat pada papan kayu sebagai pijakan diturunkan sampai
mencapai speedboat. Seperti telah terbiasa, wanita-wanita muda itu santai
menaiki tangga monyet ini secara bergantian. Pantas saja di antara mereka tidak
ada yg mengenakan rok mini, rupanya supaya lebih mudah mendaki tiap anak
tangga.
Sebelum menaiki tangga, Tisya yg mendapat giliran terakhir
berpesan pada Sulis. “Nanti aku telepon ya, Bang,” katanya. Maksudnya, setelah
mereka usai “transaksi”, Sulis diminta kembali menjemput di kapal bule itu.
Media ini dan Sulis pun lalu kembali ke pelabuhan rakyat. Sambil menunggu
dihubungi, isi perut dulu dgn menu ikan bakar di warung sekitar pelabuhan.
Sulis mengenal Tisya telah lebih tujuh bulan. Wanita itu
menggunakan jasanya untuk antar jemput baru beberapa kali. “Kalau sama aku,
belum belasan kali, mungkin teman yg lain ada juga yg jadi langganannya
mengantar,” kata Sulis.
Siapa penghubung mereka jika ada kapal bule datang dan
mencari wanita untuk memuaskan nafsu” “Aku kurang tahu, biasanya mereka punya
teman yg memberikan informasi kalau ada kapal bule datang. Kemudian orang itu
datang menawarkan ke ABK kapal bule,” jawab Sulis. Jika ABK berminat serta
sepakat harga, mereka mengontidak salah satu dari wanita tadi. Setelah itu
biasanya mereka tinggal berhubungan via telepon. Misalnya Tisya yg ditelepon,
kemudian Tisya menawarkan lagi pada teman-temannya. Tisya memang tinggal satu
kos di Jenderal Sudirman, dgn beberapa rekan yg punya pekerjaan sama.
Untuk antar jemput, Sulis mengaku tidak menetapkan harga
kepada wanita-wanita tersebut. Tapi biasanya, tarif antar jemput untuk satu
orang Rp 100 ribu. “Tinggal dikalikan saja berapa orang yg naik speedboat aku,
paling banyak enam penumpang,” katanya. Kalau kapalnya jauh melepas jangkar,
biasanya sampai luar perairan Balikpapan, satu orang bisa dikenakan Rp 150
ribu–Rp 200 ribu. “Tapi memang untuk daerah yg jauh jarang. Kalau ada yg
bermalam di kapal, besoknya aku jemput juga,” katanya.
Tugas Sulis hanya antar jemput. Dia tidak pernah menawarkan
langsung kepada ABK. Tapi diakuinya, ada rekannya sesama motoris yg biasa
menawarkan kepada ABK di kapal bule. Jadi ketika ada kapal bule berlabuh,
mereka mendatangi dan menawarkan wanita untuk pemuas nafsu. “Eggak semua ABK
kapal mau. Umumnya ‘kan mereka ketika berlabuh mencari sembako, jadi ada juga
yg mencari wanita. Kapal bule ini kalau berlabuh bisa lebih seminggu. Yg cuma
dua sampai tiga hari ada juga,” katanya.
Informasi tentang kapal bule yg sedang berlabuh biasanya juga
didapat dari sesama motoris. Misalnya, ada motoris yg di-carter ke kawasan
perairan yg agak jauh, tidak sedikit yg menemukan ada kapal bule berlabuh.
Mereka pun lalu mendekati dan menawarkan. Ketika memberikan penawaran kepada
ABK, biasanya terkendala bahasa. Karena itu hanya menggunakan kode jari, dgn
tambahan kata-kata, ”Seks, seks, Sir”.
ANYA — bukan nama sebenarnya — mengaku lebih senang melayani
tamu di kapal bule. Ditemui belum lama ini di salah kafe di tengah Kota
Balikpapan, wanita berusia 22 thn perantauan asal Jawa itu banyak cerita
tentang pengalamannya selama melayani ABK bule. Anya adalah teman satu kos
Tisya. Tubuh Anya proporsional, dgn tinggi 168 berat 55 kg. Kulitnya sawo
matang dgn rambut sepundak. Ujung rambutnya sengaja dibuat bergelombang.
Pemilik wajah oval dgn gigi dipasang kawat behel ini
sebenarnya tidak mutlak melakoni pekerjaan sebagai pemuas nafsu para ABK bule.
Anya punya pekerjaan paruh waktu lainnya, yakni sebagai ladies salah satu
tempat hiburan malam (THM). Siangnya, dia adalah pegawai toko sebuah merek
ternama di salah satu mal. Janda anak kedua dari empat saudara ini memang
banyak melakoni pekerjaan. Sebab dia harus menghidupi anak lakinya berusia tiga
thn serta membantu biaya kursus bahasa bule dan komputer adik keempatnya di
Jawa. Adik wanitanya itu berencana ingin bekerja di luar negeri sebagai Tenaga
Kerja Indonesia (TKI).
Di kehidupannya sehari-hari, Anya tidak sembarangan menerima
tamu untuk kencan di hotel. Dia pilih-pilih. Tapi, kalau ABK bule yg mencari,
Anya lebih mengutamakan. Karena selain tamunya tidak cerewet, honor yg diterima
bukan rupiah tapi dolar untuk short time. Anya bisa menerima bayaran dari
tamunya 100 USD atau sekitar Rp 1 juta — kurs 1 USD Rp 9.500.
Setiap bulan, Anya menerima pemasukan dari kerja sebagai
ladies dan pegawai toko Rp 2 juta. Uang tersebut dipotong lagi Rp 250 ribu
untuk patungan bayar kamar kos dgn Tisya, bayar angsuran kredit motor Rp 550
ribu, kirim ke Jawa antara Rp 700 ribu sampai Rp 1 Juta, sisanya untuk
kehidupannya sehari-hari. “Pendapatan (bekerja sebagai ladies dan pegawai toko)
itu gag cukup, kalau ke kapal, bisa nambah-nambah buat beli peralatan make up,
salon dan lainnya. Aku bisa juga nabung,” katanya.
Diakuinya, pelanggan di kapal bule tidak cerewet. Ngobrolnya
jarang karena kendala bahasa. Enaknya, dibayar dgn dolar. “Awal aku terima
tawaran, agak tidakut, khawatir disandera sama orang bule, sekalinya orangnya
baik-baik,” katanya.
Dalam satu bulan, paling banyak dia tiga kali menerima
panggilan ABK bule. “Teman aku ada yg sampai enam kali. Tapi tergantung sih.
Kalau pas mereka butuh, tapi badan aku capek, ya aku gag ikut. Kalau bermalam
jarang tapi pernah,” katanya.
Kalau bermalam, pendapat yg diterima Anya lebih besar lagi.
Biasanya sampai USD 250-300. “Tapi kalau dgn ABK bule, meski gag semua, sebelum
melayani biasanya aku ditawari minum alkohol. Paling cuma segelas saja untuk
penghormatan. Karena aku gag suka, rasanya pahit dan kalau mabuk kepala berat
sekali,” katanya.
Apakah tidak khawatir tertular HIV/AIDS? Usai menyeruput
minuman bersoda, Anya langsung menjawab tegas, “Tentu khawatir”.
“Aku awalnya memang bawa pengaman, karena khawatir tertular.
Pas, akan berhubungan, tamu aku itu telah menyiapkan duluan (kondom). Ternyata,
mereka (ABK bule) telah biasa menggunakan pengaman, tanpa diminta mereka
disiplin. Jadi selama aku melayani, pasti mereka mengenakan kondom,” katanya.
Anya mengakui, dia sebenarnya tidak ada jaringan langsung dgn
ABK bule. Biasanya, ada teman yg punya channel termasuk Tisya, yg kemudian
menawarkan kepadanya. “Kalau ke kapal bule gag berarti kita pasti transaksi.
Terkadang kalau mereka gag cocok, ya kita duduk saja menunggu teman kita.
Paling disuguhi makanan dan minuman terus diberi uang USD 20,” katanya.
No comments:
Post a Comment