Aku ditugaskan oleh kantor cabangku untuk mengurusi pekerjaan
disana , aku tidak lagi mencari hotel untuk menginap karena aku sudah disiapkan
oleh kantor pusat sebuah rumah untuk dihuni, lumayan bisa ngiirit pengeluaran,
dan selama ini aku kalau makan sering keluar rumah , soalnya yang di rumahku
hanya ada seorang pembantu cowok dia tugasnya hanya mencuci pakaian saat aku
pulang kantor dan pulangnya dia sore.
Memang sudah dua hari ini aku bila tidak ingin makan malam
yang harus naik angkot, aku suka makan roti bakar dan bubur kacang ijo yang
berada di depan kantor cabangku. Itupun tidak boleh lebih dari jam sembilan
malam, karena lebih dari jam tersebut warung tersebut sudah tutup.
Aku kaget juga saat makan diwarung tersebut yang biasa
melayani Pak tua, kok tiba-tiba yang melayani seorang ibu yang berwajah lumayan
manis, dengan tubuh sintal, umur kira-kira 45 tahun, dan berkulit kuning
langsat seperti ciri-ciri khas orang Jawa Barat.
“Bu, bapak yang biasa melayani disini, kemana bu?” sapaku.
“Och Mang Didin, sedang sakit Mas.” jawabnya.
“Lalu ibu siapa?” tanyaku penasaran.
Dia hanya tersenyum manis saja.
“Wach ini ibu bikin penasaran aja nich” pikirku dalam hati.
Memang sich dia balik bertanya, aku ini siapa, dan setelah
aku jelaskan, dia memang memperkenalkan diri bahwa dia ibu Janah. Dia jelaskan
bahwa dia tinggal persis dibelakang kantorku saat ini, tetapi masuk gang kecil.
Aku duduk sambil makan roti tidak biasanya hingga sampai warung tersebut tutup.
Cukup jelas bahwa Bu Janah hanya tinggal bersama seorang
anaknya laki-laki yang sudah berkeluarga. Lalu dari informasi pembantu di
kantor cabangku, bahwa Bu Janah tersebut ditinggal cerai oleh suaminya setahun
yang lalu, dan dikatakan bahwa Bu Janah sebelum cerai termasuk orang yang
berada, meskipun tidak terlalu kaya sekali. Pastas pikirku, dari dandanannya,
Bu Janah tidak terlalu seperti ibu-ibu yang lain, dalam arti
tidak memakai kebaya, melainkan memakai baju terusan hingga dengkulnya.
“Bapak kapan ngobrol dengan Bu Janah? tanya pembatuku.
“Tadi malam.” jawabku singkat.
“Wach bapak pulang kantor suka malam sich, Bu Janah kalau
siang atau sore kira-kira jam lima suka ngobrol disini dengan saya lho.” jawab
pembantuku lagi.
Och ternyata Bu Janah suka ambil air ledeng dari kantorku,
untuk air termos diwarungnya. Hm.. Kesempatan pikirku.
Singkat cerita, aku sengaja pulang agak sore, dan memang
benar Bu Janah sedang ngobrol dengan si Dadang pembantuku. Lalu aku ditegurnya
sambil berkata.
“Maaf nich Mas, ketahuan dech, sering minta air nich.”
“Nach yach.. Ketahuan, kalau begitu harus bayar nich, dengan
roti bakar.” candaku.
Tapi tiba-tiba si Dadang mau izin pulang cepat karena adiknya
mau kedokter, kebetulan pikirku he he he.
“Iya dech nanti aku bilang sama Mang Didin menyiapkan roti
bakar untuk Mas”
Lalu aku coba untuk menggodanya “Ech enggak bisa, yang ambil
air khan ibu, yang membuatkan roti bakar juga harus Bu Janah dong.”
Dia menatapku tajam sambil menggigit bibirnya yang sangat
indah dilihat, aku sudah dapat membaca pikirannya, bahwa dia sudah mengerti
maksudku. Lalu aku balas tersenyum kepadanya, diapun tersenyum kembali sambil
permisi untuk ke warungnya.
Akhirnya aku paling sering pulang sore-sore hingga suatu
waktu saat si Dadang hendak izin tidak bisa masuk, akupun izin ke kantor untuk
istirahat dirumah, padahal ada niat untuk mengencani Bu Janah, karena memang
aku sudah ada sinyal dari pandangan matanya beberapa hari yang lalu.
Siang hari seperti biasa Bu Janah datang untuk minta air,
lalu aku pura-pura menjawab meringis sambil memegang pinggangku. Dan memang
benar Bu Janah datang menyambut.
“Kenapa Mas pinggangnya”
“Enggak tahu nich, tadi pagi bangun tidur langsung pinggang
saya terasa mau patah.”
“Mau ibu pijitin” tantangnya. Wach kebetulan nich pikirku.
Singkat cerita aku sudah tiduran dibangku panjang diruang
tamuku tanpa baju, lalu Bu Janah memijit pinggangku. Setelah lima menit aku
bangkit berdiri, lalu aku tawarkan ide gilaku untuk memijitnya.
“Ach memang Mas bisa mijit, kalau bisa kebetulan nich betis
ibu suka pegal-pegal”
Aku tidak banyak bicara aku suruh Bu Janah tiduran untuk
memijit betis bagian belakang. Memang seperti kebiasaan Bu Janah hanya memakai
baju daster bercorak kembang hingga batas dengkulnya. Lalu aku mengambil body
oil dari kamarku.
Aku urut betis Bu Janah lalu pelan-pelan pijitanku aku
naikkan hingga pahanya. Dia ternyata hanya diam saja. Karena sudah ada sinyal
pikirku, aku singkapkan dasternya hingga kedua belah pantatnya yang sangat
menantang terlihat jelas di depan mataku. Aku pijat pahanya sambil kedua
jempolku aku masukan ke dalam celana dalamnya. Dia hanya mendesah.
“Och..”
Hm.. Kesempatan nich, aku tidak buang-buang waktu lagi, aku
turunkan celana dalam Bu Janah hingga batas dengkulnya, lalu aku masukan tangan
kananku ke dalam celah kedua belah pahanya, sambil memasukan jari tengahku ke
dalam lubang kemaluan Bu Janah.
“Och.. Och..” desah Bu Janah sambil mengangkat pantatnya agak
ke atas, hingga makin jelas terlihat kemaluan Bu Janah yang sudah berwarna
coklat tua. Lalu aku lumurkan body oil persis dilubang anus Bu Janah, hingga
meleleh hingga ke lubang kemaluannya.
Aku gosok-gosok lubang kemaluan Bu Janah bagian luarnya,
sedangkan jempolku aku gesek-gesek secara perlahan dilubang anusnya.
Rupanya Bu Janah tidak kuat lagi menahan gejolak napsu
birahinya. Langsung dia berdiri sambil menarik celana dalamnya ke atas kembali,
dan mencium bibirku lalu berkata pelan.
“Mas masih siang enggak enak nanti ada yang datang lagi,
nanti sore pasti saya akan ambil air lagi dech” Bu Janah seakan mengisyaratkan
aku bahwa nanti sore saja setelah hari agak gelap.
Benar saja masih seperti tadi Bu Janah berpakaian, dia datang
berpura-pura untuk minta air, kulihat mang Didin sedang sibuk melayani tamu
yang memesan roti bakar diwarung Bu Janah.
Aku menyuruh Bu Janah masuk kembali, tapi sekarang aku ajak
dia kekamar tengah tempat aku nonton TV, aku langsung mendekapnya, dia
menyambut dengan ciuman sambil melumat lidahku. Lalu aku suruh Bu Janah membuka
dasternya.
Hingga dia telanjang bulat, lalu aku suruh dia nungging
diatas bangku, secara pelan-pelan aku selusuri pahanya dengan lidahku, hingga
sampai ke lubang kemaluannya. Tampak memang Bu Janah rajin merawat tubuhnya.
Tanpa buang waktu aku buka celanaku lalu aku masukan penisku
ke dalam lubang kemaluannya dari belakang, aku genjot Bu Janah dari belakang
hingga cairan putih menetes dari lubang kemaluannya. Sedangkan dia hanya
menunduk sambil mendekap senderan bangku tamuku, sambil memejamkan matanya
menahan rasa nikmat.
Aku balikkan tubuh Bu Janah lalu aku jilat teteknya yang
sudah mulai mengendor, aku buat beberapa sedotan keras dari bibirku dibagian
pinggir teteknya hingga membekas berwarna merah kehitam-hitaman. Dia hanya
mendesah terus menerus. Aku bisikan perlahan.
“Ibu isep saya punya yach”
Tanpa disuruh lagi Bu Janah langsung duduk di bangku sambil
mengulum penisku, dan tampaknya beliau tahu persis cara mengulum yang benar.
Diputar-putarnya penisku dengan lidah serta air liurnya, hingga penisku makin
tegang dan keras.
Lalu aku pegang kepalanya dengan kedua tanganku dan langsung
kugoyangkan penisku keluar masuk ke dalam mulutnya. Lalu dijilatnya pinggiran
penisku hingga bagian paling bawah mendekati lubang anusku. Wow memang ibu yang
satu ini sangat lihai cara memberikan kenikmatan pada pria.
Lalu aku tarik bangku tamuku, aku sandarkan tubuh Bu Janah di
sandaran bangku hingga kepalanya menyentuh tempat duduk, sedangkan pinggangnya
terganjal disandaran bangku, lalu aku renggangkan kedua belah paha Bu Janah dan
kumasukan penisku ke lubang kemaluannya mulai dari perlahan hingga kugenjot
kencang.
Tampak Bu Janah hendak berteriak, tapi karena takut terdengar
tetangga, ia hanya mendesah.
“Och.. Och.. Och.. Teruskan Mas, teruskan..”
Kami berdua hingga berkeringat, karena memang sengaja aku
menahan pejuku untuk tidak muncrat dahulu. Karena aku memang benar-benar
terangsang dengan putihnya body Bu Janah, buah dadanya yang masih bulat
menantang, meskipun agak turun sedikit, serta pinggulnya sangat menantang bila
dia memakai rok maupun celana ketat.
Aku cabut penisku sambil membersihkan lubang kemaluan Bu
Janah dengan tissue, karena tampaknya Bu Janah telah mencapai puncak
kenikmatannya, sehingga tampak cairan pejunya meleleh.
Akhirnya aku angkat Bu Janah ke dalam kamar tidurku, aku
rebahkan dia, aku kecup bibirnya sambil tanganku memelintir puting susunya,
kadang-kadang aku ramas buah dadanya. Lalu ciumanku dibibirnya aku pindahkan
kekedua buah dadanya, aku jilat secara bergantian puting susu Bu Janah.
Dia tampak gelisah karena mulai terangsang kembali sambil
kadang-kadang mengangkat pinggulnya supaya vaginanya bergesekan dengan penisku,
mulai dari buah dadanya jilatanku turun ke arah pusar serta perut bagian sisi
kanan dan kirinya.
“Och..!!” tampak Bu Janah tak kuat lagi menahan rangsangan
yang aku berikan lewat jilatan lidahku. Ia pun langsung membalikkan badanku
hingga terlentang lalu diapun mulai membalas dengan menjilat kedua puting
tetekku, lalu mengangkat kedua pahaku hingga ke atas, hingga pinggangku agak
terangkat, lalu ia mulai menjilat kedua bijiku lalu lebih turun kembali
disekitar pinggiran lubang anusku, kadang-kadang ujung lidah Bu Janah menyentuh
pas ditengah lubang anusku, dan memang kenikmatan yang luar biasa yang saya
dapatkan pada sore hari ini. Karena memang service dari Bu Janah secara
bertubi-tubi tanpa henti, langsung membuat aku tidak dapat lagi menahan pejuku
untuk keluar.
Lalu aku angkat Bu Janah untuk posisi menduduki penisku,
secara perlahan dia masukan penisku ke dalam lubang kemaluannya. Langsung tanpa
diberi komando Bu Janah memacu diriku seperti kuda liar, terus dia
menggoyangkan pinggulnya maju mundur.
Kejadian ini berlangsung selama duapuluh menit dan tampak
keringat mulai menetes dari tubuh Bu Janah, langsung dia mendekap diriku,
sambil berbisik.
“Keluarkan yach Mas.. aku sudah tak kuat lagi..”
Sambil mengangguk aku cium bibirnya yang mungil. Lalu Bu
Janah kembali pada posisi menduduki aku sambil memacu goyangan pinggulnya lebih
kencang lagi, terus.. Dia memacu, akupun tak dapat menahan kenikmatan yang
sudah memuncak diubun-ubun kepalaku.
Lalu aku lepaskan pejuku didalam lubang kemaluan Bu Janah,
dan tampaknya ini juga diimbangi dengan goyangan Bu Janah yang makin lama makin
melemah sambil kadang-kadang dia menghentakkan pinggulnya, yang rupanya dia
mengeluarkan pejunya untuk yang kedua kalinya. Lalu dia tersungkur merebahkan
badannya diatas tubuhku, sambil memeluk erat tubuhku.
Setelah sepuluh menit, aku bisikan ditelinga Bu Janah.
“Bu yuck pake baju, nanti mang Didin nyariin lho..”
Lalu Bu Janah bangun dan membersihkan dirinya didalam kamar
mandiku, demikian juga aku. Setelah rapih Bu Janah berkata.
“Mas aku kedepan yach” Lalu aku menjawab.
“Terima kasih, ‘roti bakarnya’ yach bu”
No comments:
Post a Comment